> BAB DUA <

1194 Words
Percikan air dingin membasahi wajahku. Aku berteriak memanggil nama ayah dengan malas karna memang masih mengantuk. "Ayah!! Coba cek genteng di atas. Dilla kehujanan nih, pasti bocor!" teriakku sambil menarik selimut dan kembali tidur dengan nyenyak. Air itu kembali membasahi wajahku, dan karena jengkel, Aku akhirnya melompat dari tempat tidur sambil mengumpat. "Astagaaa!! Dasar air kurang aj--" ucapku terhenti. Bunda Tia berdiri di hadapanku sambil melotot. "Bukan gentengnya yang bocor. Tapi otak kamu yang bocor!! Lihatlah, sudah jam berapa ini?! Apa kau tidak sekolah? Hah?! Hasan sudah menunggumu di bawah. Cepat mandi dan segera bersiap lalu sarapan!" ucap Bunda Tia keras terdengar di telingaku. "Astaga ... kejam sekali. Aku tahu aku anak tiri, Bunda. Tapi bagaimanapun juga, aku sangat mencintaimu," ucapku memprotes. "Persetan dengan rayuanmu!! Cepat mandi, atau aku akan menyuruh Hasan buat memandikan dirimu," Ucap bunda Tia membuatku lari ke kamar mandi. "Dasar gadis pemalas," gumam Bunda samar-samar terdengar oleh telingaku. Bunda Tia membuka lemari buku dan menyiapkan tas sekolahku seperti biasanya. Aku sengaja menggodanya dengan lagu IBU TIRI dan bernyanyi dengan keras di dalam kamar mandi. "Suaramu sangat buruk, Anak manis. Cepat selesaikan mandimu!! Sarapanmu keburu dingin. Kalau kau masih lama, Ibu tirimu ini akan masuk dan menyiksa dirimu dengan kejam!!" teriaknya sambil menggedor pintu kamar mandi ku. Aku memakai handuk dan segera keluar. Ayah Irwan masuk sambil melotot ke arah bunda. "Kau benar-benar sangat cerewet, Tia!! Kau memarahi Dilla terus. Aku tidak suka," ucap ayah Irwan, kesal. Ayah Irwan menghampiriku dan memeluk tubuhku dengan penuh kasih sayang. "Ayah kerja dulu ya, Sayang. Jadilah anak yang pintar. Ayah sangat menyayangimu," ucap ayah sambil mengecup keningku lama. "Aish ... dasar manja," ucap bunda Tia, sambil menjitak kepalaku pelan. "Ayah! Lihatlah!! Bunda menyiksaku lagi," gumamku merajuk pada ayah. "Tia!! Awas, Kau!!" marah Ayah Irwan, tajam. "Kau terlalu memanjakannya, Irwan!! Ya sudah! Kerja sana!! Cari uang yang banyak buat bayar sekolah putri kesayangmu ini!!" ucap bunda Tia, sambil mengacak-acak rambutku yang basah. "Pasti!! Semua akan aku berikan asal bisa membuat putriku bahagia," ucap Ayah Irwan sambil mengusap kepalaku dan sekali lagi mengecup keningku pelan, sebentar lagi beliau mau berangkat kerja. "Kau tidak menciumku?!" tanya bunda Tia, tajam. "Aku tidak mau mencium ibu tiri kejam seperti, Dirimu!" ucap Ayah Irwan sengaja menggoda bunda Tia. "Irwan! Awas kau!!" seru Bunda Tia, emosi. Ayah Irwan dan aku sama-sama tertawa dengan keras, tak lama kemudian Ayah mencium bibir bunda Tia dengan gemas. "Aku hanya bercanda, Sayang," bisik Ayah, mesra. Bunda Tia tampak malu dengan ucapan Ayah. "Tapi tetap! Aku lebih mencintai Dilla dibanding denganmu!" ucap Ayah dan tak berapa lama kemudian mengelus kepalaku pelan, kelakuannya membuatku tersenyum geli. "Dasar bodoh! Aku juga sangat mencintai Dilla, Suamiku sayang. Dia nafasku," ucap bunda Tia membuatku terharu. "Bagus kalau begitu," ucap Ayah Irwan dan berlalu pergi meninggalkan kamarku. "Cepat bersiap gadis malas. Bunda tunggu di bawah," ucap Bunda sambil tersenyum. "Iya bunda," jawabku pelan. Aku bergegas dan memakai seragam dengan cepat. Aku juga merias wajahku agar tidak terlihat pucat. Aku membiarkan rambutku terurai panjang karna kondisinya memang masih basah. Setelah di rasa cukup. Aku menyambar tas sekolahku dan berlari ke bawah. "Bunda, mana sarapanku?" tanyaku tidak sabar. "Di meja, Anak manis, masak di jalan," jawab bunda Tia kesal. "Oh. Maaf," gumamku sambil tertawa. Aku melihat ke arah meja makan. Sudah ada Hasan di sana sambil memainkan ponselnya. Dia melihat ke arahku karna mendengar suaraku. Dia menatapku sambil membulatkan matanya. Aku yang di tatap seperti itu langsung saja salah tingkah. "Kenapa?! Apa ada yang salah?" tanyaku heran. "Tidak. Kau kelihatan sangat manis dan seksi," ucapnya membuatku tertawa. "Benarkah?!" seruku geli menatapnya. "Memangnya kau bisa menilai wanita itu cantik atau tidak? Kau kan homo," ejekku sambil geleng geleng kepala. "Aku bisa, Dilla. Dan aku sangat serius. Kau benar benar sangat cantik," ucapnya mulai mendekatiku dan menatapku dari jarak yang sangat dekat. "Astaga, Kau membuatku malu Hasan," ucapku salah tingkah. "Kenapa harus malu? Kau kan memang cantik," ucapnya di depan bibirku. Aku menjadi malu dan semakin salah tingkah. Aku menoleh kesana dan kemari dengan gugup. "Tapi sayang--" ucap Hasan ragu-ragu. "Sayang, kenapa?" tanyaku heran. "Tapi sayang aku berbohong," ejeknya dan tak lama kemudian tertawa keras. Aku menjadi jengkel dan menimpuk badannya menggunakan Tas sekolahku. Dia tertawa pelan sambil mengacak acak rambutku. "Dasar tidak waras!! Sudahlah, aku mau makan!" dengusku kesal. Bunda Tia geleng-geleng kepala melihat tingkah laku kami berdua. Aku mengambil piring dan memakan nasi dengan cepat. Bunda Tia memasak Sup dan juga telur dadar. Rasanya sangat enak hingga sedikit demi sedikit mengurangi kekesalanku pada Hasan. "Kau tidak makan, Hasan?" tanya Bunda Tia, ramah. "Hasan sudah sarapan, Bunda, jadi masih kenyang," ucap Hasan, pelan. "Baiklah! Bunda mau mencuci pakaian dulu, dan kau, Dilla, langsung saja berangkat. Tidak perlu mencari Bunda. Paham?" ucap Bunda menatap mataku. "Iya Bunda. Cium dulu," pintaku manja. Bunda mencium pipiku dan mengusap kepalaku pelan. "Jadilah anak yang cerdas, Sayang. Buatlah prestasi agar kau bisa naik satu kelas lagi," ucap Bunda, menasehati. "Iya, Bunda. Pasti," jawabku penuh keyakinan. Hasan memang kelas enam sedangkan aku seharusnya berada di kelas empat. Tapi karna aku tidak mau berpisah dengannya. Aku berusaha dengan keras dan berhasil membuat prestasi sehingga kelasku menjadi sama dengan Hasan. Umi Nur yang sejatinya adalah ibunya Hasan, juga menyuruhku datang ke rumahnya setiap hari dan belajar bersama dengan guru les pribadi Hasan. Aku selalu menyimak dengan seksama setiap pelajaran demi pelajaran. Dan hasilnya benar-benar membuatku merasa bahagia. Di kelas satu, karna aku sudah menguasai semuanya, maka kepala sekolah langsung menaikkan aku ke kelas dua. Sedangkan saat di kelas empat aku berusaha mati-matian buat menguasai pelajaran kelas lima dan syukurlah aku berhasil melompati kelas lima dan naik langsung ke kelas enam bersama Hasan. Sedangkan Hasan, aku paksa agar jangan terlalu cerdas. Aku tidak mau dia naik satu kelas lagi dan berpisah denganku. Dia menurut karna sejatinya dia juga tidak mau berpisah denganku. Tapi sekarang .... Aku hanya bisa pasrah karna setelah lulus nanti, dia akan meneruskan pendidikannya di Arab sekaligus belajar bisnis dari kakeknya. Kakek Ayyub. "Astaga! Kalau kau melamun terus, kapan selesai makannya?" ucap Hasan, membuyarkan lamunanku. "Eh maaf! Aku sudah kenyang kok. Berangkat yuk!" ajakku malas. Hasan menarik tanganku agar mendekat padanya. Dia seperti tahu apa yang sedang aku rasakan. "Kenapa kau gelisah, Dilla?" tanyanya menyelidik. Aku menghela nafas dengan pelan. Aku menunduk dan memainkan kancing seragam Hasan. "Sebentar lagi kita lulus, Hasan, Aku berharap agar kau selalu bersamaku di dalam setiap sekolah. Tapi sayangnya kau bakal ke Arab dan meninggalkan diriku. Siapa yang akan melindungiku nanti, Hasan? Kau tahu kan? Hidupku bergantung pada dirimu. Aku selalu percaya diri jika bersamamu. Tapi setelah kau pergi ... Aku pasti akan selalu merasa ketakutan," ucapku sedih. Hasan memelukku dengan erat. Dia mengusap-usap punggungku dengan pelan. Aku menjadi kalut dan akhirnya menangis. "Sssttt ... ayo kita berangkat! Nanti Bunda Tia marah. Kita bolos saja! Oke!" ajaknya membuatku terkejut. "Tapi, Hasan--" "Hari ini saja, Dilla. Aku mau menghabiskan waktu denganmu sebelum berangkat ke Arab," ujarnya sambil menarik tanganku dan menaiki mobil mewah miliknya menjauhi rumah. Dia meminta supir menghentikan mobilnya di gerbang sekolah. Setelah supirnya pulang, Hasan mengajakku naik taksi dan kabur ke tempat lain. ****** Flashback masih belum kelar. Sabar ya..... Voment di tunggu. Love jangan lupa ditekan, Bebh .... Papay. TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD