> BAB TIGA <

1115 Words
Hasan membawaku ke toko pakaian terbaik di kota ini. Semua harga pakaiannya sangat mahal. Tapi yang namanya anak orang kaya, pasti uang sakunya banyak. Dia membelikan aku satu stel baju dan langsung disuruh memakai olehnya. Dia juga membeli satu stel baju untuk dirinya sendiri dan langsung memakainya juga, setelah beres dengan urusan baju, kita ke kasir dan langsung membayarnya. "Kenapa kau menyuruhku ganti baju, Hasan?" tanyaku heran. "Dasar bodoh! Kita bolos, Anak manis. Kalau kita kemana-mana pakai seragam, akan banyak orang yang negur," ucapnya sambil menarik tanganku dan keluar dari toko setelah membayar harga baju kami berdua. Sedangkan kakak yang menjaga kasir hanya mampu menatap kagum ke arah Hasan. Mungkin dia heran dan berpikir, bagaimana bisa anak sekecil Hasan bisa mempunyai banyak uang?! Entahlah, mungkin hanya perasaanku saja. "Kita akan kemana?" tanyaku setelah berada di luar toko. "Kita akan ke toko perhiasan," ucapnya santai. "Kenapa kita ke sana?!" tanyaku lagi semakin heran. "Aku akan membelikan sesuatu untukmu sebagai kenang-kenangan, Dilla. Aku tidak mau kau melupakan aku setelah berada di Arab nanti," ucap Hasan membuatku merasa sedih. Entah kenapa hati ini seperti tidak rela. Aku sangat menyayanginya. "Aku tidak akan melupakanmu, Hasan. Kau adalah pelindungku setelah yang Maha Kuasa (Allah), dan juga ... setelah kedua orang tuaku tentunya. Aku sangat menyayangimu Hasan, Justru kaulah yang mungkin akan melupakan diriku," ucapku tidak semangat. "Kemarilah!" perintahnya padaku, karna bingung, aku menurutinya. "Kenapa?" ucapku setelah dekat dengannya. Hasan merentangkan kedua tangannya dan memaksa agar aku lebih mendekat padanya lagi. "Lebih dekat lagi," perintahnya sekali lagi. Aku mendekat padanya dengan perlahan-lahan. Setelah benar-benar dekat, Hasan langsung meraih tanganku kemudian memelukku dengan erat. Aku merasa aneh. Aku tidak mau melepaskannya, Aku bahkan menangis dalam pelukannya. "Hasan--" desahku pelan, membayangkan akan berpisah dengannya benar-benar membuatku tersiksa. "Ssttt ... jangan menangis, Dilla. Sampai mati pun aku tidak akan pernah melupakanmu. Dan itu adalah sumpahku! Sumpah seorang Hasan kepada gadisnya, yaitu ... Dilla," ucapnya semakin membuatku berderaian airmata. Pelukanku semakin erat di tubuhnya. Entah kenapa? Aku merasa nyaman jika berada di dalam dekapannya dan selalu bahagia jika berada di sampingnya. Tidak mau pisah. "Benarkah?" tanyaku sembari mengelap ingus yang keluar dari hidungku. "Benar, Gadis manis. Percayalah! Apa kau pikir hanya kau saja yang sedih? Aku juga merasa sangat sedih, Dilla," ucapnya dan setelah itu menghela nafas lelah. Hasan mengusap air mataku dengan hati-hati, Dia membelai rambutku dengan pelan dan penuh kasih sayang. Dia meraih pinggangku agar dekat ke pinggangnya. Hasan menatap mataku dengan lekat. "Percayalah padaku, kita pasti akan bertemu lagi dan bersatu," ucapnya serius. Hatiku bergetar aneh. Aku malu dan pipiku bersemu merah. Tidak biasanya Hasan berkata manis seperti itu padaku. "Benarkah?" tanyaku tidak percaya. "Tentu saja, Dilla. Di dunia ini, hanya kau dan Jasmin saja yang bisa membuat hatiku bahagia," ucapnya membuatku menegang. "Jasmin!! Siapa dia?!" tanyaku kaget. "Astaga! Biasa saja kali, terkejutnya," ucap Hasan, menggodaku. "Siapa Jasmin?!" tanyaku lagi tidak sabar. "Dia sahabatku, dia putri dari Umi Nazwa dan juga Abi Umar. Dia sangat cantik dan tidak manja seperti dirimu. Dia dan aku bakal meneruskan pendidikan kami berdua di Arab," ucap Hasan entah kenapa membuat hatiku merasa sakit. Apakah aku cemburu?! Tidak! Semoga saja tidak. Hasan orang kaya sementara aku hanyalah orang miskin, putri angkat dari Bunda Tia dan ayah Irwan. "Astaga Dilla, kamu itu masih kecil, masih bau kencur. Jangan memiliki sifat buruk yang dinamakan cemburu, ok," ucapku dalam hati. "Hei, kenapa melamun?" tanya Hasan, tersenyum. "Eh! Tidak! Tidak apa-apa," ucapku salah tingkah. Aku terdiam selama beberapa saat. Aku berusaha menormalkan detak jantungku yang berdebar tidak karuan karna kaget mendengar dia akan ke Arab bersama Jasmin. "Dilla!" panggil Hasan agak keras. "I-iya," jawabku salah tingkah, hilang sudah keceriaan yang tadi sempat terasa. "Apa kau tidak mau bertanya sesuatu tentang Jasmin?" tanya Hasan sambil menatapku lekat. "Tentu saja. Apakah ... Jasmin lebih cantik? Lebih cantik mana Aku sama Jasmin?! Maksudku ... apa kau menyukainya?" tanyaku balik menanyainya dengan hati gelisah. Hasan berusaha menahan tawa, Dia semakin mengeratkan pinggangku agar mendekat ke arah pinggangnya. Hatiku semakin berdebar tidak karuan, Aku merasa gugup. "Kalau soal wajah ... tentu saja lebih cantik Jasmin. Tapi jika diandingkan denganmu--" ucapnya membuat hatiku serasa ditusuki pisau. Sakit .... "Oh," gumamku kecewa. Aku melepaskan pelukannya dan menjauh darinya dengan kesal. Ingin rasanya aku meremas mulut sialannya itu. Tapi ... harus aku tahan agar tidak terlihat emosi, Lagipula buat apa aku cemburu? Toh kita cuma berteman. Ya! Hanya teman!! "Dilla," ucapnya lagi dan entah berapa kali membuatku emosi, mengejutkan! "Iya," jawabku berusaha selembut mungkin. "Apa kau tidak mau bertanya tentang Jasmin lagi?" tanyanya pas di depan bibirku. "Tidak! Hanya saja ... apakah kau menyukainya," ulangku karna tadi dia belum menjawabnya. "Aku rasa aku sangat menyukainya," jawabnya dan kali ini sukses membuat hatiku sakit. Hasan menatapku dari jarak satu centi. "Wah ... se-semoga saja kalian bahagia?" ucapku lagi dan hampir menitikkan air mata. Hasan mencubit kedua pipiku dengan gemas. Dia juga mengacak-acak rambutku kemudian tertawa. "Dasar bocah, aku hanya bercanda, Gadis manis," ucapnya bukannya lega malah membuatku jengkel. Bahkan karna terlalu jengkel, Aku menangis. Tak cukup dengan itu aku pukuli dadanya dengan keras agar dia ikut merasakan sakitnya hati saat mendengar dia menyukai Jasmin. Bukan apa-apa, hanya saja ... untuk saat ini aku tidak mau kehilangan dirinya. "Kau menjijikkan!! Dasar tidak waras!! Aku membencimu, Hasan!" teriakku sambil memeluk tubuhnya erat. Hasan balas memelukku dengan lebih erat. Dia mengusap-usap kepalaku kemudian mengecup keningku lembut. "Kau segalanya bagiku, Anak manis," bisik Hasan dengan penuh kasih sayang. Aku hanya tersenyum dan mencubit perutnya pelan. "Sebaiknya kita segera pergi dari tempat ini. Kita harus bersenang-senang bukan?" gumamku tertawa pelan. "Kau benar! Bolos sekolah memang hal yang paling mengasikkan," godanya tak lama kemudian kita tertawa bersama. "Dasar bodoh! Yang kita lakukan adalah salah, Hasan. Aku menuruti ajakanmu karna kita akan berpisah setelah kelulusan bulan depan. Kalau bukan masalah itu, Aku pasti tidak mau," ucapku kembali sendu. "Oke, Aku salah, maafkan Hasan-mu ini, Dilla," ucapnya geli. Hasan menarik tanganku dan menaiki taksi menuju ke toko perhiasan, setelah tiba di sana, Hasan membelikan aku cincin emas putih berbentuk polos. Setelah beres dengan perhiasan, Hasan mengajakku makan siang dan langsung ke danau. Kami menghabiskan waktu sampai sore. "Hasan," panggilku pelan. "Iya." "Apa benar Jasmin lebih cantik dibandingkan, Aku?" tanyaku masih saja kepikiran, dasar! Hati wanita selalu saja merasa cemas. "Mau jujur apa bohong?" "Kalau bohong," tanyaku was was. "Dia lebih cantik." "Kalau jujur?" "Kau lebih cantik dibandingkan Jasmin, Dilla. Kau nomor satu, milikku, gadisku, selamanya. Kau adalah segalanya bagiku. Kau masih ingat perkataanku, bukan?" ucapnya sambil mencubit pipiku gemas. "Aduh! Sakit, Hasan," ujarku sambil tertawa. "Dasar bodoh." "Bodo amat," jawabku singkat. ****** Jangan lupa tekan Love and follow, Sayang ... maaf, banyak typo dan penulisan yang salah, masih belajar dan berusaha jadi lebih baik lagi. Makasih .... TBC.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD