> BAB EMPAT<

1022 Words
Kami pulang ke rumah dengan hati berdebar tidak karuan. Hasan menggenggam tanganku dan berusaha membuatku tenang. Dia mengantarku pulang lebih dulu. Kami kembali mengenakan seragam agar tidak ketahuan kalau bolos sekolah. "Hasan, bagaimana kalau Bunda Tia tahu? Aku bakalan di cincang," ucapku tidak tenang. "Jangan khawatir. Ada aku kan? Aku akan berusaha membantumu, Dilla." Hasan bersikap santai. "Membantu apa?" tanyaku bingung. "Membantu bunda Tia mencincangmu," jawabnya lagi, tersenyum geli. "Astaga! Aku serius, Bodoh." Aku marah karena jengkel. "Sssttt ... diam! Kau cerewet sekali," jawabnya kesal. Aku berdiri di depan pintu rumah sambil mengucapkan berbagai doa agar selamat dari amukan bunda Tia. Sedangkan Hasan hanya menatapku sambil tertawa geli. "Penakut," ejeknya dan langsung mengetuk pintu rumah. Karna tidak ada yang menjawab, Hasan menarik tanganku dan membawaku masuk ke rumah setelah membuka pintunya pelan-pelan. "Kalian sudah pulang?" tanya seseorang dengan suara lembut, menyapa kami berdua. Aku menoleh ke arah sumber suara dan merasa bahagia karna ada umi Nur di sana. "Umi!" seruku lega. "Umi? Kenapa ada di sini?" tanya Hasan, lebih terkejut dariku. "Umi mencarimu, Hasan sayang. Makanya Umi datang ke sini," ucap umi Nur, tersenyum manis sekali. "Ayo duduk, Sayang," perintahnya pada kami berdua. Tapi belum sempat kami duduk, tiba-tiba ada yang menjewer telinga kami berdua dengan keras dari belakang. "Um, bagus ya! Kalian bolos sekolah dan baru pulang sekarang! Darimana saja, Kalian?! Katakan! Hah?!" bentak bunda Tia, membuat jantungku serasa mau copot. "Aduh, Bunda. Sakit ... " Rintihku pelan. Sedangkan Hasan .... "Astaga! Bunda Tia menjewer atau mengelus, sih? Tidak ada rasanya?" goda Hasan, membuatku emosi. "Dasar bodoh! Kamu tidak ada rasa! Tapi aku kesakitan, Hasan!" gerutuku sambil memegangi tangan bunda Tia yang sedang menjewer telingaku dan tangan bunda yang satunya lagi menjewer telinga Hasan. "Apa bunda pernah memgajari kalian berbohong?! Hah?!" marah bunda Tia, emosi. "Astaga bunda! Nafasmu bau. Sudah sikat gigi apa belum sih?" Ucap Hasan semakin membuat bunda Tia murka. "Kau!! Kau mengejek bunda, Hasan?!" tanya Bunda geram. Aku mencubit pinggangnya Hasan dengan kesal. "Dasar bodoh. Diamlah," teriakku frustasi. Umi Nur menghampiri kami bertiga dan melepaskan tangan Bunda Tia dari telinga kami berdua. "Kau ini jahat sekali. Mereka berdua berprestasi. Apa salahnya jika membolos satu hari," ucap Umi Nur menarik tangan kami berdua dan duduk di sofa. "Kau terlalu memanjakan mereka berdua Nur!" seru bunda Tia kesal. "Diam. Kau membuat mereka berdua kesakitan." Ucap umi Nur sambil memeluk kepalaku dan menaruh di bahunya sebelah kanan, dan kepala Hasan di sebelahnya. "Dasar nyonya Brewok." gumam bunda Tia kesal. "Biar Brewok tapi jantan. Tidak seperti Irwan yang hanya berkumis itu." balas Umi Nur tajam. "Oh, sombong sekali kau. Kalau bukan karna aku, kau tidak mungkin dapat Yusuf dan mempunyai putra yang bandel seperti Hasan mu itu." ejek Bunda Tia sambil berlalu ke dapur. "Astaga. Mulutmu sangat manis Tia. Aku suka," jawab Umi Nur sambil tersenyum. Beliau menatap mataku dan berkata dengan lembut. "Dia memang cerewet dari dulu. Biarkan saja, anggap angin lalu." Ucap umi Nur sambil tertawa. "Umi, bukan aku yang salah. Tapi Hasan yang mengajakku bolos sekolah." ucapku sambil menelusupkan wajahku di leher mulusnya itu. Umi Nur adalah ibu kedua bagiku. Kasih sayangnya mungkin melebihi ibu kandungku. Dia sangat mencintaiku. "Benarkah? Biar Umi yang hajar Hasan nanti," ucap Umi Nur sambil tersenyum. "Umi! Aku adalah putra kandungmu. Dan kau lebih percaya Dilla di banding denganku?" tanya Hasan tidak terima. "Dasar bodoh. Uh," ucap Umi Nur sambil menimpuk pipi Hasan menggunakan tangan lembutnya itu. "Kau lebih tua di bandingkan dengan Dilla Hasan. Usiamu terpaut dua tahun dengan usianya. Dia lebih kecil darimu tampan, dan kau sudah mengajari dia hal hal yang tidak baik." tanya Umi Nur membuatnya terdiam. "Hanya tinggal satu bulan lagi Hasan di indonesia umi. Hasan ingin menghabiskan waktu bersama Dilla sampai puas. Apakah Hasan salah?" tanya nya datar. "Kau tidak salah sayang, tapi situasinya yang salah. Kau boleh menghabiskan waktu mu bersama Dilla. Tapi harus sepulang dari sekolah, jangan waktu jam sekolah. Apa kau paham?" tanya Umi Nur lembut. "Paham umi, maafkan Hasan," ucapnya lembut. "Anak manis," bisik Umi Nur lirih. Bunda Tia keluar sambil membawa minuman dan satu toples kue kering. Setelah menaruh nampan di meja beliau duduk di sebelahku dan meraih kepalaku dari bahu Umi Nur. "Apakah bunda tadi menjewernya terlalu keras nak?" tanya nya khawatir. "Iya bunda," Rengekku manja. "Maafkan bunda sayang, dan jangan di ulangi lagi." ucapnya membuat hatiku tenang. Bunda meraihku kedalam pelukannya. "Rupanya kau bisa lembut juga Tia," ejek Umi Nur sambil tersenyum. "Dasar bodoh! Aku tidak sejahat itu Nur," ucap Bunda kesal. "Halah, bilang saja takut sama Irwan." goda Umi Nur kepada Bunda Tia. "Kau membosankan!! Persetan dengan Irwan." ucap Bunda Tia sambil mengusap kepalaku. "Aku tidak mau putri kesayanganku sedih." ucapnya dan langsung mengecup keningku mesra. Tak berapa lama kemudian dua orang laki laki masuk. "Assalamu alaikum," ucapnya pelan. "Waalaikum salam," jawab kami berempat secara bersamaan. Rupanya Abi Yusuf dan Ayah Irwan baru pulang dari kantornya. Ya, Ayahku Irwan bekerja pada perusahaan Abi Yusuf sebagai sekretaris pribadinya dan sekretaris yang satunya adalah perempuan. Abi Yusuf memiliki dua sekretaris. "Sayang, ayo kita pulang, Batangku lapar," ucap Abi Yusuf membuatku bingung. "Batang?! Batang apa Abi?" tanya ku penasaran. "Aish, Dasar Brewok. Sudah kubilang, jangan berkata m***m seperti itu." Ucap Umi Nur kesal. "Mau bagaimana lagi sayang, aku merasa pusing karna tadi banyak sekali rapat yang menguras otak," Ucap Abi Yusuf sambil tersenyum. "Ehem. Baiklah, sebaiknya kalian cepat pulang. Aku tidak mau omongan kalian mempengaruhi anak anak." ucap Bunda Tia kesal. "Baiklah, ayo pulang Nur jannahku sayang, Sahabatmu telah mengusir kita." ucap Abi Yusuf sambil menarik tangan Umi Nur dan juga Hasan. "Bentar Abi!" seru Hasan pelan. "Kenapa?" tanya Umi penasaran. Hasan menghampiriku dan membisikkan sesuatu di telingaku. " Aku menyayangimu Dilla." ucapnya dan langsung mengecup bibirku dengan kilat. Aku yang di cium seperti itu, Sontak marah dan mengusap bekas ciumannya dengan kesal. "Umi. Hasan kurang ajar. Aku tidak suka." ucapku menangis. Sedangkan Umi,Abi, Bunda dan juga ayah cuma bisa melotot karna tidak percaya dengan apa yang barusan mereka lihat. "Hasan kau?" Ucap Umi Nur sambil menepuk jidat. "Ehem. Hasan putraku. Dia mirip denganku." ucap Abi Yusuf sambil tertawa. Sedangkan aku berlari masuk kamar dengan amarah yang membuncah. "Dasar kurang ajar." desisku pelan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD