> BAB ENAM <

1076 Words
Handphone ku berdering, aku segera mengangkatnya meskipun mata sudah sangat mengantuk. Aku jualan jamu seharian ini dan syukurlah laris manis. Bunda Tia selalu saja protes karna aku tidak mendengar setiap perintahnya. "Sudah bunda bilang! Jangan jualan jamu dilla! Percuma bunda mengkuliahkan kamu kalau jadinya hanya jualan jamu. Ikut Abi mu dan bekerja padanya. Beliau sudah memaksamu berkali kali bukan?!" protesnya kesal. Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya. Bunda memang benar, seharusnya aku ikut Abi Yusuf dan bekerja di kantornya. Tapi karna ada sosok Hasan di sana, aku tidak sudi, ck. Handphoneku kembali berdering, aku segera mengangkatnya meskipun berat. "Hallo, Assalamu alaikum," ucapku malas. "Waalaikum salam, apa kau belum tidur?" tanya seseorang di sana dengan suara beratnya. "Kalau aku sudah tidur, tidak mungkin mengangkat telpon tuan." jawabku kesal. Aku menguap dan mulai memejamkan mataku karna lelah. "ini siapa? kalau tidak ada yang penting sebaiknya aku tidur." ucapku lelah. "Kau tidak mengenali suaraku? Aku Hasan." ucapnya dan membuatku langsung terlonjak kaget. "Hasan!! Berani sekali kau menelponku?! Kurang ajar. Darimana kau tahu nomorku? Ingat ya! Jangan hubungi aku lagi. Aku sangat membencimu." ucapku dan langsung mematikan HP ku. "Astaga, lama lama aku bisa sakit jantung kalau Hasan terus seperti ini? Lagipula apa dia tidak merasa sih?! Aku malas berbicara dengannya. Astaga." gumamku kesal. Aku menarik selimut dan mulai memejamkan mataku dengan damai. Tapi.... Tak berapa lama kemudian, kudengar seseorang sedang membuka pintu kamarku. "Sayang, kau sudah tidur?" tanya bunda pelan. "Hem, ada apa bunda?" ucapku lelah. "Ayahmu sakit nak, kepalanya pusing, dia tidak bisa pulang sendiri. Maukah kau menjemputnya? Aku takut dia kenapa kenapa kalau menyetir dalam keadaan sakit." ucap bunda cemas. Aku yang mendengarnya langsung saja bangun dan pergi ke kamar mandi. Setelah mencuci muka, aku segera keluar dan bersiap. "Bunda tidak usah khawatir, Dilla akan menjemput ayah. Dilla tidak mau ayah kenapa kenapa, aku sangat menyayanginya bunda." ucapku dan langsung menyambar tas di meja. "Sayang, hati hati. Kau memang putriku yang paling aku sayang. Asal kau tahu, bunda sangat beruntung karna telah membesarkanmu." ujar nya dengan mata berkaca kaca. "Bunda mulai deh, Dilla nangis nih, bagaimanapun juga, aku yang sangat beruntung karna sudah menjadi anak dari ayah Irwan dan bunda Tia." jawabku dan langsung mengecup pipinya kemudian kabur dengan menahan air mata haru. Huh. Bunda Tia lagi lagi membuat mataku meneteskan air mata. Aku menaiki taksi dan melaju menuju kantor abi Yusuf. Aku terus mengucapkan doa di dalam hati, dan berharap semoga saja Hasan sudah pulang dan aku tidak harus berjumpa dengan wajahnya itu. Hari sudah mulai gelap, jalanan semakin padat dengan kendaraan, lampu lampu sudah menyala dengan begitu indahnya. Aku melihat jam di HP dan sudah menunjukkan pukul 21.00 malam. "Astaga! sudah jam sembilan, ayah pasti sudah lelah menunggu kedatanganku." gumamku khawatir. Banyak sekali pekerjaan ayah bulan ini dan menyebabkan beliau sering lembur dan pulang malam. "Nona, anda sudah sampai," ucap pak supir membuyarkan lamunanku. Aku segera turun dan membayar ongkos taksi. Aku menuju pintu gerbang dan pak satpam dengan begitu mudahnya membuka kan gerbang untukku. "Nak dilla, masuk nak," ucap pak satpam dengan ramahnya. "Selamat malam pak, dilla mau masuk sebentar ya," jawabku pelan. "Iya nak, silahkan," ucapnya sambil tersenyum. Aku memang sering ke kantor abi Yusuf saat Hasan belum kembali ke indonesia. Aku sering mengantarkan jamu buat Abi Yusuf dan kadang kadang di suruh memijat kepalanya. Ayah hanya bisa geleng geleng kepala dan tersenyum saat aku menerima upah dari Abi yang jumlahnya tidak sedikit itu. Selain itu beliau juga sudah menganggapku seperti putrinya sendiri. Bahkan umi Nur sering membelikan aku pakaian bagus dan memberiku uang saku. Aku memasuki pintu utama dan langsung berjalan menuju ke ruangan ayah. Suasananya benar benar sudah sepi. Para karyawan sudah pulang jam 3 sore tadi. Hanya ayahku saja yang lembur karna menyiapkan berkas buat rapat abi Yusuf besok. Biasanya kalau ayah sudah lembur hari ini esoknya di suruh libur sama abi Yusuf. Aku membuka pintu ruangan ayah dengan perlahan takut mengagetkan beliau. Tapi justru aku yang terkejut karna ruangannya kosong. "Hah, di mana ayah?" Bathinku cemas. Semua pintu ruangan sudah di kunci bahkan hanya beberapa lampu saja yang masih menyala. Aku membuka pintu kamar mandi tapi juga tidak ada. Aku terdiam selama beberapa saat. Aku keluar dan menuju ruangan Abi Yusuf. "Pasti ayah di sana," gumamku pelan. Aku melihat lampu di dalam ruangan abi Yusuf masih menyala dengan terang. Aku memasuki ruangannya karna tidak terkunci dan samar samar kudengar suara seseorang sedang berada di dalam kamar mandi. "Ayah, cepatlah aku sudah datang," ucapku sambil mengetuk pintu kamar mandi pelan. Karna tidak ada jawaban, aku duduk dan menutup pintu ruangan abi Yusuf karna AC dari luar masuk dan terasa sangat dingin. Setelah pintu tertutup aku mematikan AC di dalam ruangan abi Yusuf dan membuka jendela. "Wah, pemandangan kota jakarta sangat indah jika di pandang pada malam hari," ucapku sambil merentangkan kedua tanganku dan memejamkan mata menikmati sejuknya udara malam. Kurasakan seseorang tengah memelukku dari belakang. Aku tersenyum dan mengelus tangan yang melingkari perutku dengan lembut. "Ayah, kata bunda kau sakit, maka dari itu aku kesini dan menjemput ayah, apakah ayah sudah selesai?" tanyaku dengan penuh kasih sayang. Aku masih memejamkan mata dan menikmati udara malam dengan jiwa yang sangat damai. Tapi.... Mengapa pelukannya terasa aneh? Tangan ayah juga tidak sekekar dan secoklat ini, Apakah dia bukan ayah? Astaga! Siapa dia? Aku ingin menoleh buat melihatnya, tapi belum sempat aku melakukannya, HP ku berdering dan aku segera mengangkatnya. "Hallo Assalamu alaikum," ucapku pelan. "Sayang, kamu di mana? Pulanglah. Ayahmu sudah sampai di rumah karna sudah di antar oleh abi mu, Yusuf." ucap bunda membuatku kaku seketika. Jantungku berdegup dengan kencang. Aku merasa takut sekaligus gelisah. "Siapa yang sedang memelukku ini?" Bathinku was was. Di tambah suasana kantor sudah sangat sepi dan hanya tinggal kita berdua. "Dilla! Kau dengar bunda?" tanya bunda membuyarkan lamunanku. "I.. Iya bunda, dilla dengar kok," jawabku gugup. "Kau di mana?" tanyanya lagi mulai panik. Seseorang itu merebut ponselku dan berkata. "Dilla aman bersama Hasan bunda. Kami ingin menghabiskan malam bersama. Bunda tidak perlu khawatir. Aku akan menjaganya. Dia aman bersamaku." ucap Hasan membuatku menegang. Hasan semakin mengeratkan pelukannya. Kali ini aku benar benar terkejut dan jatuh lemas kedalam pelukannya. Hasan menaruh ponsel itu kedekat telingaku. "Ya sudah nak, berbahagialah, Aku tahu kau pasti sangat merindukan teman masa kecilmu itu. Ya sudah, jaga dirimu baik baik." ucap bunda dan langsung menutup telpon. "Bunda!" seruku tertahan. Bunda sudah memutuskan sambungan telpon. Aku gugup setengah mati. Ingin rasanya aku memberontak. Tapi apalah daya. Aku terlalu terkejut dan badanku terasa lemas. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD