> BAB TUJUH <

1051 Words
"Lepaskan aku Hasan!" desisku emosi. "Tidak akan, kau tidak akan kemana mana." ucapnya membuatku ketakutan. "Kurang ajar kau!! Lepas." ucapku berusaha mendorongnya. Hasan semakin erat memelukku. Dia menenggelamkan kepalanya di leherku. Aku memukul punggungnya berulang ulang kali. Tapi Hasan tetap saja memelukku dan tidak mau lepas. Karna jengkel, aku menendang perutnya dengan keras hingga membuatnya meringis kesakitan dan jatuh pingsan. Aku mendenguskan nafasku kesal. "Tidak perlu berpura pura Hasan! Aku tahu kau hanya bercanda." ucapku sinis. Aku mendiamkannya selama beberapa saat. Satu menit.... Dua menit.... Tiga menit..... Empat menit.... Lima menit..... Tapi Hasan tetap saja tidak mau bangun dan keringat sudah membasahi dahinya. Rasa khawatir mulai datang menghampiriku."Astaga! Apakah dia benar benar pingsan??" Bathinku cemas. Aku menghampirinya dan mulai memegang dahinya."Hasan! Bangunlah. Hasan!" panggillku pelan."astaga! badannya panas sekali!" seruku panik. Aku berdiri dan berlari ke arah pintu. Tapi pintu itu sama sekali tidak bisa di buka dan sudah terkunci. "Sial! Bagaimana ini??" gumamku sambil menggigit kuku dengan gelisah. "Hasan! Bangun." panggilku sambil mengguncang guncangkan tubuhnya. Tapi sama seperti tadi, Hasan tidak terbangun dan tetap saja memejamkan mata. Tak berapa lama kemudian HP nya berdering. "Astaga! Siapa yang menelpon?" ucapku dan langsung meraih HP nya di meja. Aku melihat layar yang sedang menyala itu dan tertera nama Umi Nur di sana. "Aduh. Bagaimana ini? Umi menelpon." gumamku ketakutan. Aku berusaha menenangkan diriku dan mulai mengangkatnya."Hallo Umi," jawabku lembut. "Dilla! Kau bersama Hasan nak?" tanya nya kaget. "Iya," jawabku sambil tertawa. "Syukurlah. Suruh Hasan minum obat sayang, dia belum makan dari kemaren katanya tidak nafsu sebelum bertemu denganmu, berhubung kau bersamanya, umi merasa lega. Rawat dia ya nak, dia sedang sakit dan tetap memaksa buat bekerja," "Tapi umi..." Tut.. Tut..... "Astaga! Pantas saja. Bagaimana ini?" ujarku gelisah. Aku menghampirinya dan berusaha buat mengangkat tubuh lemahnya ke ranjang yang ada di ruangan kantornya. "Uh, berat sekali sih?! Kau makan apa Hasan!!" seruku kesal. Aku berusaha buat memindahkan tubuhnya dengan sekuat tenagaku. "Apakah berat?" tanya nya tiba tiba. "Hasan!! Kau bercanda?!" Bentakku emosi. "Menurutmu?" tanya nya geli. "Sialan." desisku dengan nafas ngos ngosan. Hasan mendorongku ke ranjang dan aku jatuh terlentang di bawahnya dengan d**a naik turun menahan amarah. "Kau lelah?" tanya nya lembut. "Minggir kau dari badanku," ucapku tajam. "Tidak mau. Setelah bersusah payah aku mendapatkanmu aku tidak akan pernah melepaskanmu." ucapnya sambil mendekatkan wajahnya ke wajahku. "Hasan, jangan lakukan ini," ucapku gelisah. "Apa kau masih marah, soal kejadian beberapa tahun yang lalu?" tanya nya datar. "Menurutmu?! Apa kau pikir aku akan mengucapkan terima kasih karna kau sudah menodaiku!! Begitu?!" sungutku kesal. "Maafkan aku dilla, aku terlalu berat buat meninggalkanmu saat itu. Makanya aku menuntaskan kerinduanku dengan cara menodaimu, setelah aku berangkat ke Arab, bukannya melupakanmu, aku justru semakin mengingatmu dan saat saat kita bersama. Aku tahu kau mungkin hanya menganggapku seorang sahabat. Tapi aku sangat mencintaimu jauh dari dalam lubuk hatiku dilla, bahkan sampai sekarang." ucapnya sarat akan penyesalan. "Aku tidak percaya," desahku kesal. "Apa kau mau bukti?" tanya nya nakal. "Tidak!!" jawabku singkat. "Sssttt... Kurasa kau memang butuh bukti," ucapnya dan langsung melumat bibirku dengan lembut. Aku berusaha memberontak tapi pelukan Hasan benar benar membuatku semakin mendekat ke arahnya. "Buka mulutmu," perintahnya tegas. Aku menggeleng, karna kalau aku bilang tidak, otomatis mulutku akan terbuka dan langsung dia lumat. Aish.... "Aku mohon," pintanya memelankan suaranya. Aku tetap menggeleng dan berusaha keluar dari tindihannya. Hasan menatap mataku tajam. Dia terdiam seperti sedang memikirkan sesuatu. Tak berapa lama kemudian, dia mengaduh. "Oh, Astaga! Kepalaku sangat pusing. Badanku serasa mau di bakar. Panas sekali, minggirlah dilla. Aku tidak akan mengganggumu lagi." ucapnya kesakitan. Aku teringat kata kata umi Nur dan baru menyadari kalau dia sedang sakit."Apa kau belum makan?" tanyaku khawatir. "Aku tidak nafsu makan sejak kemaren," ucapnya lemah. "Astaga! Jangan mati di sini. Kau harus makan." ucapku cemas. "Tidak mau." "Ayolah Hasan, Aku tidak mau kau sakit." ucapku lagi sambil memeriksa dahinya. "Aku tidak nafsu dilla, kau bisa memijat badanku dulu kalau kau mau nafsu makanku bangkit." ucapnya dan berguling kesamping tubuhku. "Jangan bodoh Hasan. Aku tidak...." "Auwh... Perutku sakit sekali, Astaga! Kepalaku rasanya mau pecah." rintihnya mengehentikan ucapanku. "Baiklah. Ayo," ucapku kesal. "Tidak perlu. Nanti tanganmu lelah," ucapnya lirih. "Jangan berdebat!! Ayo." ajakku emosi. "Baiklah kalau kau memaksa." ucapnya sambil tersenyum menyerigai. Hasan melepaskan pakaiannya dan bertelanjang d**a. Aku yang menatapnya langsung saja salah tingkah karna malu. Badannya yang dulu kecil sekarang sudah membesar, kekar dan sangat menggoda. Perutnya terpahat sempurna dan otot ototnya, Astaga! "Sadar Dilla! Kau tidak mengaguminya, sama sekali tidak!!" umpatku dalam hati. Hasan mulai menurunkan Resleting celananya. "Stop! Apa yang kau lakukan bodoh?!" teriakku emosi. Hasan menatapku seperti anak kecil yang tidak berdosa. "Kau harus memijat kaki serta perutku juga bukan? Kalau kau tidak rata memijatnya, mana mungkin aku bisa sembuh," ucapnya sedih. "Astaga! Terserah kau saja. Tapi hilangkan mimik menyebalkan itu dari wajahmu." ucapku muak. Hasan melepas celananya dan hanya meninggalkan boxer saja. Jantungku berdetak lebih cepat jika terus menatapnya. "Mengapa besar sekali sih?" gumamku lirih. "Kau mengatakan sesuatu?" tanya nya pelan. "Tidak. Tidurlah, aku akan segera memijatmu," sungutku kesal. Aku mengambil minyak yang biasa aku gunakan buat memijat kepala abi Yusuf. Aku menghampiri Hasan dengan kaki gemetar tidak karuan. Hasan terlentang di ranjang dan menatapku seperti orang kelaparan. Aku hanya mampu berharap semoga semua akan baik baik saja. Jika saja bukan karna dia sakit, maka aku akan dengan senang hati memukul kepalanya itu hingga membiru. Aku mulai menuangkan minyak itu di tubuhnya dan mulai mengurutnya. Tubuhnya benar benar sangat gagah hingga tanganku terlihat seperti cicak yang sedang merambat. "Sekarang pijat bagian perut sayang, perutku rasanya tidak nyaman jika buat makan," ucapnya memelas. "Tidak!! Aku tidak mau," desisku geram. "Kalau kau tidak mau, bagaimana bisa sembuh?" ucapnya pelan. "Tapi..." "Ayolah Dilla, sebentar saja." ucapnya dan langsung menaruh tanganku di perutnya. Aku menggosokkan minyak dan mengurut perutnya dengan cemas. Hasan dengan nakalnya memelorotkan boxernya hingga bulu bulu di area pribadinya terlihat. "Oh... Nikmat sekali sayang, tapi tanganmu terlalu ringan," ucapnya menggodaku. "Diam kau! Jangan banyak bicara," jawabku kesal. Hasan sengaja menggerakkan tubuhnya ke atas dengan sentakan kasar dan tanpa sengaja boxernya tersangkut tanganku dan memelorot ke bawah. "DASAR BODOH!! APA YANG KAU LAKUKAN?! HAH!!" tanyaku emosi sekaligus malu bukan main. Tanganku berada pas di area sensitifnya yang sangat besar panjang dan berurat itu. Hasan tertawa dengan keras. Dia menekan tanganku semakin kebawah. Aku merasa geli. Astaga!! Bulunya, Kerasnya. Aaakkkhhhh. *
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD