"Gue sudah siap nikah sekarang kok Beb!" ucap Bima membuka suara, di saat Raya dan Raga yang masih terdiam karna melihat kedatangan Bima.
Senyum Bima masih bertahan di wajahnya.
Lain hal dengan Raya, yang kini menatap laki-laki itu tanpa ada ekspresi sedikitpun.
"Sama siapa ke sini Bim?" tanya Raga basa-basi.
Mengalihkan tatapannya dari Raya, Bima memundurkan kursi yang berada di depannya, lalu duduk di atasnya, tanpa permisi terlebih dahulu.
"Sendiri. Mau jemput Raya" jawab laki-laki bertubuh besar itu kalem.
Menggaruk kepalanya dengan canggung, Raga kembali berucap, "lo bukannya sudah putus ya sama Raya?" tanyanya.
Bima menaikkan bahunya acuh, "gue enggak merasa hubungan kami sudah selesai" jawab Bima kembali masih dengan nada santainya.
Sedangkan Raya, berusaha tidak mempedulikannya.
"Gue enggak ngerti" ucap Raga pada akhirnya. Bibirnya tersenyum kecil.
"Mbak Rayy!!" sapa seseorang dari arah belakang mereka.
Raya berbalik, karna merasa namanya baru saja di panggil. Dan ia mendapati Mike, orang yang mengajak dirinya tadi untuk ikut demo.
Dengan gerakan kecil, Raya meminta Mike menunggunya. Gadis itu kembali berbalik ke arah Raga dan bima.
Dengan senyum kecil manisnya, Raya mengelus lengan berotot Bima. "Sory Bim, gue sudah move on. Rasa itu sudah lama pergi." ucap gadis itu tulus.
"Gue duluan Ga, sampai ketemu di rumah!" pamit Raya begitu saja, dan berbalik.
Raya berjalan menuju tempat Mike berdiri, yang sekarang memandang ke arah Bima dan Raga dengan aneh.
"Yuk jalan!" ajak Raya yang langsung menarik tangan Mike.
"Bentar deh mbak, aku kayak kenal sama laki-laki baju hitam itu deh" ucap Mike saat mereka sedang berjalan menuju parkiran.
Raya mengangguk, "anak kampus lo kok" jawabnya jujur.
"Trus itu siapanya mbak? Mas Rafa kenal?" tanya Mike penasaran.
Kali ini Raya menggeleng. "Jangan bilangin sama mas Rafa kalau aku habis ketemu cowok" pinta Raya.
Walau tidak mengerti dengan kejadian sebenarnya, Mike hanya bisa mengangguk patuh.
"Mas Rafa sudah di mana sekarang?" tanya Raya sambil membuka pintu kemudi. Ia berniat yang membawa mobil Mike sendiri, karna tidak terbiasa di supirin oleh orang lain.
"Sudah di bandara tadi katanya mbak. Mas tungguin di sana buat makan siang sekalian" jawab Mike.
Raya mengangguk mengerti.
Kedatangan Raya ke Jogja bukanlah seperti perkataan gadis itu pad Raga, yang hanya ingin kabur dari Bima. Raya memiliki alasan sendiri hingga rela terbang ke Jogja. Dan jelas, Raya mengenal Mike dengan baik, orang yang katanya mengajak gadis itu untuk ikut demo.
Entah apa maksud Raya, hingga tidak ingin mengucapkan kejujurannya kepada Raga.
^^^
Seperti perkataan Mike saat di parkiran tadi, Rafaelo atau yang kerap di panggil dengan Rafa terlihat sudah menunggu kedatangan mereka berdua, di sebuah resto sup yang berada di kawasan bandara.
Rafa tersenyum saat matanya melihat kedatangan Raya dan Mike. Laki-laki dewasa itu langsung berdiri agar Raya dan Mike bisa melihat keberadaanya.
Bibirnya semakin tersenyum, saat pandangan matanya dan Raya bertemu. Begitu juga dengan gadis itu, Raya tersenyum saat melihat Rafa yang terlihat senang dengan kehadiran mereka.
Merentangkan kedua tangannya, Rafa meminta Raya masuk ke dalam pelukannya. Dan tanpa canggung, gadis itu masuk ke dalam pelukan Rafa.
"Makasih ya Mike, sudah antarin mbak mu" ucap Rafa, yang masih setia dengan posisinya berpelukan dengan Raya.
Mike menggangguk, "santai kali mas. Buat calon kakak ipar sendiri sih ya gak masalah" jawab laki-laki itu sekenaknya.
Mendengar jawaban Mike, Rafa terkekeh kecil.
Laki-laki dewasa itu segera memundurkan kursi yang berada di sampingnya, dan mempersilahkan Raya untuk duduk.
"Makan dulu ya Mike!" Ajaknya mempersilahkan Mike untuk ikut makan siang dengan mereka.
Mike terlihat menggeleng canggung, tangannya dengan sungkan menolak permintaan mas-nya. "Aku harus cabut sekarang mas. Demonya masih belum selesai soalnya" ucapnya.
Selesai mengatakan hal itu, Mike pamit permisi dan langsung pergi meninggalkan kedua insan itu.
"Tadi habis dari mana saja?" tanya Rafa memulai introgasinya.
Mendesah, Raya menaruh kembali sendok yang baru saja ia pegang. Matanya menatap manik mata Rafa dengan penuh perhitungan.
"Sudah enggak ada siapa-siapa lagi di sini pak!" Tekan Raya serius.
"Kenapa kamu enggak mau balikan sama saya lagi Ray? Saya sudah punya segala hal" ucap Rafa dengan putus asa.
"Bapak punya segala hal-nya, tapi saya tidak pak. Saya tau betapa tersiksanya harus bersama dengan orang yang tidak memberikan kita kebebasan. Dan seperti dari awal saya tekankan, saya bukanlah orang yang suka di kukung. Seperti perjanjian, saya mau dia sudah ada di tempat saya" sinis Raya dengan rahangnga terkatup keras.
Seperti perkiraannya, Raya memang tidak bisa terkalahkan. Dan ia memilih menyerah, karna satu-satunya jalan agar mereka tetap bisa bertemu adalah mengikuti perkataan gadis itu.
Keheningan meketup-letup di antara mereka. Raya memilih berkonsentrasi memakan makan siangnya dan Rafa terlihat sibuk dengan ponselnya.
Seperti yang pernah di katakan, Rafa adalah salah satu mantan pacar Raya, yang saat ini menjadi dosen muda di kampus mereka.
Putusnya hubungan mereka secara sepihak membuat Rafa tidak terima. Namun seperti perkataan orang-orang yang mengenal Raya, gadis itu adalah gadis keras kepala. Kekerasan kepalanya sungguh tidak tertandingin.
Bermodalkan dengan sebuah ancaman yang sungguh pengecut, Rafa meminta Raya menemaninya ke Jogja, untuk memperkenalkan gadis itu kepada keluarganya. Dan berharap, dengan itu, Raya mau kembali berbaikan dengannya dan hubungan mereka kembali seperti semula.
Namun siapa sangka, ancaman itu jelas membuat Raya semakin membenci Rafa. Dan masalah pertemuan Raya dengan keluarga laki-laki itu bukanlah hal yang memusingkan bagi gadis itu. Ia sudah terlalu terbiasa untuk berpura-pura.
^^^
"Lo dapat sayur beginian dari mana sih Ray?" Kesal Alan saat gadis itu dengan seenaknya menarik tangannya, dan membawanya entah kemana.
Lihatlah betapa mengenaskan dirinya saat ini, duduk lesehan di tanah tepat di depan gerbang kampus mereka, lengkap dengan beberapa ikat sayur yang berjejer rapi di depan mereka.
Raya yang saat ini sedang menipas-nipas dirinya menggunakan kertas kardus yang entah dari mana ia dapat melirik singkat ke arahnya sebentar.
"Gue curi dari lahan anak pertanian" jawab Raya, yang masih terlihat santai memandangin jalan raya.
Gadis itu sama sekali tidak terganggu dengan orang-orang yang melewati mereka akan melirik ke arahnya.
Dan Alan bisa menebak isi hati orang-orang yang melirik ke arah mereka.
Alan dan Raya masih memakai pakaian kampus dengan lengkap, namun pemandangan beberapa ikat sayur lengkap dengan sebuah tulisan 'di obral' yang di tulis di atas kardus, jelas membuat semua orang yang melewati mereka dengan bertanya-tanya.
Alan jelas malu. Seumur hidupnya, ia tidak pernah melakukan hal ini. Namun semenjak bertemu dengan gadis itu, segala hal yang tidak pernah Alan lakukan, pasti kini sudah pernah ia lakukan. Contoh salah satu kasusnya adalah menjual sayur di depan gerbang kampus.
Ia jelas menyesal mengenal Raya. Hanya karna satu doaa yang pernah ia lakukan, Alan menjadi terksisa seperti ini agar dosa-dosanya bisa di maafkan oleh Raya.
"Ray, alesan lo ngelakuin beginian buat apa sih?" tanya Alan tidak habis pikir.
"Buat cari uang lah. Ya kali buat ngejual diri" dengus Raya.
Berdecak, Alan menjitak kening lebar gadis itu. "Seriusan kenapa sih. Emang bapak lo kagak ngehidupin lo?"
Raya menggeleng, "gue di kasih uang saku sih. Cuma enggak pernah sampai di gue. Jadi, biar gue bisa makan, ya harus begini dulu"
"Kok bisa enggak sampai?" tanya Alan penasaran.
"Iya, uangnya sudah habis buat menebus dosa-dosa gue" jawab gadis itu sekenanya, yang Alan tidak tahu, apakah itu kejujuran atau seperti biasa, hanya candaan semata oleh Raya.
Berdecak, Alan kembali berucap, "hidup lo kayak enggak ada makna gini ya"
Raya mengangguk setuju. Bukankah kemarin ia sudah mengatakan bahwa Raya sedang memasuki fase bosan hidup, tapi enggak mau mati.
"Lo gak malu? Noh di lihatin sama anak-anak selebgram" ucap Alan, berusaha membuat Raya untuk berpikir ulang tentang mereka yang harus berjualan di pinggir jalan.
Raya memutar tubuhnya. Tepat di belakang mereka merupakan taman kampus yang biasa di gunakan oleh mahasiswa mahasiswi untuk nongkrong.
Seperti perkataan Alan tadi, memang dari banyak orang yang berada di sana, ada sekumpulan perempuan yang menurut Alan bahwa mereka merupakan selebgram, yang saat ini sedang memandang Raya dan Alan sambil cekikikan.
"Mereka selebgram? Kok gue gak kenal?" tanya Raya yang kini sudah membalikkan tubuhnya ke posisi semula.
"Iya selebgram. Lo kagak tau ya, kalau mereka sering masukin lo ke story-story mereka. Jangan bilang lo gak tau?" tanya Alan heran, karna cerita tentang Raya selalu hits di kalangan kampus.
Raya menggeleng, matanya menatap polos ke arah Alan.
"Story apaan emang?" tanya Raya penasaran.
Alan yang di tanyai seperti itu menelan salivanya pelan. Ia jadi gugup sendiri. Dan ia jelas bingung, akan mengatakan kebenarannya atau tidak.
"Apaan? Jangan buat gue menunggu" desis Raya tidak sabar.
"Enggg mereka buat story tentang percintaan lo Ray. Masalahnya bukan di bagian itu, tapi bagian lo yang murahannya" jujur Alan pada akhirnya.
Raya terdiam di tempatnya.
Tubuhnya menegang.
Kasus percintaannya? Bagian murahannya?
Mengapa Raya tidak tau dan tidak pernah mendengar hal itu.
Tapi apa-apaan orang-orang sana yang seenaknya menyebarkan berita bohong.
Sebar-barnya Raya, ia tidak akan pernah melakukan hal itu.
Maka dari itu, Raya bangkit berdiri.
Tubuhnya berbalik menghadap kearah seleb-selebgram yang masih tertawa entah menertertawakan apa sambil memandang kearah Raya.
"Bungkus sayur gue! Sepertinya, ada yang perlu pengenalan Esa Garuda ini" ucap Raya menyeringai, lalu melangkah ke arah taman dan meninggalkan Alan.