|Stuck on Twins ~ Raya 9|

1179 Words
"Turunkan UKT!!!" teriakan itu begitu membahana memenuhi lapangan rektoran kampus Raga. Walau agak menulikan, tapi Raya suka hal begini. Dengan bermodalkan alameter Raga yang sempat ia jemput tadi, Raya dengan percaya maju untuk ikut demo. Bahkan dari sekian mahasiswa yang hadir, Rayalah salah satu yang memegang toa. Ia dengan percaya diri berdiri di atas mobil pick up, bergabung dengan bidang Advokasi. Raya rela panas-panasan seperti ini hanya untuk Raga. Kali aja, suara mereka di dengarkan, dan uang kuliah Raga yang sampai puluhan juta itu bisa turun sedikit. Seratus ribu juga enggak masalah, karna hanya dari uang segitu, Raya mampu makan seminggu penuh. Menyerahkan toanya kepada orang di sampingnya, Raya turun dari atas mobil Pick up, karna melihat Raga yang berada di sebelah lapangan memintanya untuk turun. Raya meringis, karna melihat wajah Raga yang sudah masam akibat perlakuannya. Salahnya sendiri sih, padahal tadi ia sudah berjanji pada adik kembarnya itu akan tetap tenang di tempat Raga meninggalkannya. Jika bukan karna abang-abang ganteng yang tiba-tiba menariknya untuk naik ke atas pick up yang membawa beberapa anggota demo untuk mengelilingi kampus, Raya pasti tidak akan kemana-mana. Orang ganteng enggak boleh di sia-siain, menurut Raya. Urusan b******k dan bajingannya bisa belakang. Raya juga bisa jauh lebih b******k dari pada mereka, jadi Raya tidak perlu takut. "Ngapain sih ikut demo? Hitam kan lo" kesal Raga, yang langsung menarik tangan Raya menuju mobilnya yang terparkir. Raya melirik kearah lengan tangannya, yang kini sudah membelang dan mencetak jelas bentuk almameter Raga yang ia gunakan. Bibirnya berdecak saat tahu hasil dari panas-panasanya benar-benar tecetak jelas. Raya butuh waktu yang lama untuk memutihkan kulitnya. Namun hanya butuh dua jam untuk menggosongkannya kembali. Selama perjalanan menuju entah kemana, Raga tidak ada henti-hentinya mengomeli Raya. Sedangkan gadis itu memilih mendengarkan keluh kesal Raga, dan akan berkomentar jika laki-laki itu sudah mempersilahkan. "Apa sih tujuan lo ikut demo begitu?" Tanya Raga tidak habis pikir. "Ga, gue demo buat memperjuangkan hak lo. Seharusnya lo berterima kasih sama gue. Walau salah satu alasan gue ikut, karna buat latihan. Soalnya gue berniat pergi ke Amerika buat ikutan demo" jelas Raya santai. "Lo gak bisa serius sekali aja ya Ray?" ucap Raga pada akhirnya. Ia benar-benar lelah melihat tingkah kakaknya yang sungguh luar biasa. Raya menggeleng. Matanya menatap Raga yang saat ini sedang mengemudi mobilnya, dengan serius. "Ga, lo yang paling tau gue bagaimana. Gue kayak orang gila aja sudah menyeramkan bagi orang lain. Apalagi kalau gue serius. Lo bisa bayangin apa yang akan terjadi selanjutnya" ucap Raya serius. Ada nada pengancaman pada ucapan gadis itu. Dan jelas, Raga yang mengerti hanya menelan salivanya pelan. Raya benar, dan Raga seharusnya yang paling tahu hal itu. Ia tidak ingin melihat Raya yang dalam mode serius, karna itu hal paling menyeramkan yang pernah ia lihat. Cukup sekali hal itu ia lihat, dan ia jelas tidak ingin mengulanginya kembali. Berdehem, Raga menarik tangan kakaknya itu. Salah satu tangannya menggenggam tangan Raya, dan satunya lagi ia gunakan untuk tetap memegang kemudi. "Maaf ya!" Ucap Raga penuh penyesalan, lalu membawa tangan gadis itu untuk ia kecup. Bukannya menjawab ucapan permintaan Raga, Raya malah lebih memilih memalingkan wajahnya dan memandang ke arah luar. Dan Raga sepertinya memang sudah keterlaluan saat ini, apalagi melihat Raya yang tidak berniat memaafkannya. Menghembuskan nafasnya pasrah, Raga melepaskan genggamannya. Namun lagi-lagi ia di kejutkan oleh tingkah gadis itu, yang sekarang sudah berbalik ke arah Raga kembali lengkap dengan senyum menggodanya. "Kenapa lo jadi kembaran gue? Tau gak, sekarang gue jadi kepengeng pacarin lo" ucap Raya tanpa pikir panjang, hingga membuat Raga menghentikan mobilnya tiba-tiba. Matanya jelas menatap kakaknya dengan ngeri. Ya ampun!!! Sepertinya kegilaan Raya sudah kembali. Bergidik, Raga berusaha menjauhkan tubuhnya dari jangkauan kakaknya. Raya terlihat seperti ingin menghabisi Raga saat itu juga. Menghabisi dalam tanda kutip maksudnya. ^^^ Cuaca ekstrim memang membuat para makhluk hidup menjadi jauh lebih cepat dehidrasi. Termasuk Raga dan Raya. Raga memutuskan untuk membawa Raya ke sebuah kafe yang terkenal di antara para mahasiswa-mahasiswa. Raya memutuskan untuk mencari meja kosong, sedangan Raga yang memesankan pesanan mereka. Mata kecil gadis itu menilai pemandangan luar yang begitu menakjubkan. Kafe ini berada di ujung bukit, dan Raya mengambil meja yang sesuai, yang menghadap ke arah bawah bukit, atau dengan kata lain, gadis itu mengambil meja yang berada di ujung kafe yang langsung berhadapan dengan pemandangan bukit. Tidak lama kemudian, Raga datang membawa pesanan mereka. Raya masih terlihat termenung, saat Raga menghidangkan pesanan mereka. "Lo kenapa?" tanya Raga tiba-tiba. "Lagi mikirin hidup gue yang kayaknya enggak ada variasi sama sekali" jawab Raya jujur. Raga mengangguk, setuju dengan ucapan gadis itu. Entahlah, terbuat dari apa kakaknya ini, hingga hidupnya terlihat sangat santai seperti ini. Raya seakan tidak memiliki beban hidup. "Ga, hidup itu kayak Angribird ya? Kalau gagal, ada aja babi yang ketawa" ucap Raya dengan wajah sedihnya. "Sama kayak lo yang baru aja marah-marah ke gue tadi. Gue yakin, pasti banyak orang di luar sana yang ngebenci gue" ucap gadis itu tiba-tiba mellow. Raga masih diam di tempatnya. Ia ingin mendengar segala hal uneg-unegkan kakaknya ini. "Dikit-dikit pasti ada yang mengkomentari. Yang tinggi badan gue lah, yang otak gue cuma sampai ipk BASKOM (bawah satu koma), yang tingkah gue lah. Gue enggak ngerti sama sekali sama orang yang selalu nyuruh gue buat berenang, biar makin tinggi, buat ngalahin tinggi Bima. Teori dari mana coba, berenang bisa buat nambah tinggi? Ubur-ubur aja berenangnya yang tiap hari, kagal tinggi-tinggi. Lembek iya yang ada" sengit Raya. "Lo kan anak kedokteran. Coba jelaskan!!" Kesal Raya. Raga jadi bingung sekarang. Benar-benar binggung, hingga hanya bisa menggaruk tengkuk belakangnya, dan bukannya menjawab pertanyaan gadis itu. "Gue enggak tau Ray! Gue enggak tau" ucap Raga putus asa, karna Raya masih mengharapkannya untuk menjawab. Mendesah, Raya menyandarkan tubuhnya ke kepala kursi. Matanya menatap jauh kearah luar. "Ga, bener ya kalau orang tuli itu bisa panjang umur?" tanya Raya random. "Ha?" Hanya itu respon Raga, karna ia belum pernah mendengar teori dari pertanyaan gadis itu. "Iyalah, kan tuli Ga! Soalnya kalau di panggil Tuhan, mereka enggak dengar Ga" jawab Raya asal, namun ada benarnya. Dan sekarang Raga benar-benar frustasi. Ia ingin memulanglan Raya secepatnya ke Jakarta, karna ia sama sekali tidak tahu, tinggal berapa stok kesabarannya. "Gue kesepian Ga! Gue pengen ada yang sayang-sayangi lagi. Hidup gue kok ngenes banget ya" tanya Raya dengan raut wajah sedihnya. Raga sampai tidak tahan dan benar-benar merasa kasihan kepada Raya. Mendesah, Raya melipat tangannya di atas meja. Kepalanya perlahan menunduk dan ditidurkannya ke atas tangannya yang terlipat. "Teruntuk jodohku, semoga cepat putus sama pacarnya. Semangat berantemnya sayangku. Karna gue lagi kepengen nikah sekarang" doa Raya sebelum memejamkan matanya. Namun tetesan air es, dan benda dingin yang berada di pipinya, membuat mata Raya seketika terbuka. Matanya terbelalak saat melihat Bima baru saja menaruh minuman dinginnya ke pipi Raya. Laki-laki itu berdiri tepat di sampingnya lengkap dengan senyum manis ala khas Bima. Raya tertegun, karna kembali melihat senyuman itu. Senyum yang sudah lama tidak pernah ia lihat. Namun seketika ia mengumpat, ketika menyadari semuanya. Benar-benar ada penghianat di sekitarannya. Menoleh, Raya menatap sengit Raga. Sepertinya kali ini, Raya benar-benar akan kabur ke Amerika dan ikut demo di sana.  
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD