|Stuck on Twins ~ Raga 8|

1015 Words
"Taruh semua barang saya ke kamar!" perintah Raga kepada pelayan di rumahnya, saat laki-laki itu baru saja pulang dari kampus. Kegiatan kampus yang semakin berat membuat kepalanya sakit. Apalagi jurusan kedokteran bukanlah jurusan yang mudah untuknya, karna semua ilmunya akan diterapkan kepada manusia. Salah sedikit, sebuah nyawa yang akan menghilang. Ia jelas iri dengan kakaknya yang memilih jurusan Menajemen keuangan. Kakaknya terlihat lebih rileks, memiliki banyak waktu untuk berkumpul dengan teman dan bahkan keluarganya sendiri. Tidak seperti Raga, yang waktunya hanya di habiskan dengan belajar. Ia juga bahkan cuma bertemu keluarganya hanya empat kali dalam sebulan. Menghembuskan nafasnya pelan, Raga memijit pangkal hidungnya. Kepalanya mulai pusing kembali lantaran baru sempat tidur dua jam. Ujian lab benar-benar menguras energi dan pikirannya. "Dorr!!!!" kejut seseorang dari belakang tubuhnya. Raga yang tidak siap akibat dorongan keterkejutan itu akhirnya terjungkal kedepan, dan keningnya dengan sempurna menabrak ujung meja. Sang tersangka hanya tertawa, dan sama sekali tidak berniat membatu Raga yang keningnya sudah berdarah karna ulah orang itu. "Ya ampun, itu kening cemen amat. Masa keantuk aja udah berdarah" ejek orang itu, yang langsung mengambil langkah untuk duduk di tempat Raga tadi duduk. "Lo ngapain disini?" kesal Raga pada akhirnya. Raya hanya tertawa, memandang adiknya itu dengan wajah khas tengilnya. "Kabur lah, ngapain lagi" jawab gadis itu santai. "Kabur? Lo gak kuliah?" tanya Raga bingung. Pasalnya, sebelum ia berangkat ke Jogja, kakaknya ini sudah meminta izin terlebih dahulu kepada orangtuanya untuk kembali ke kos, karna harus masuk pagi. Raga bahkan melihat Raya pergi ke kampusnya menggunakan truck kuningnya, dan di ikuti Mas Zo di belakang truck. Jadi bagian mananya Raya di katakan kabur? Raga jelas tidak mengerti akan hal itu. Raya menggeleng menjawab pertanyaan Raga. "Ambil jatah dong" jawab gadis itu santai. Di perkuliahan memang ada sistem jatah absen tiga kali dalam setiap kelas. Tapi bagi kakaknya, jatah tiga kali itu sama dengan cuti kerja, yang harus di ambil, agar tidak rugi. Raga hanya geleng-geleng kepala melihat tingkah kakaknya itu. Jika bagi Raya, absen 24 kali itu terlalu banyak, beda hal dengan Raga yang merasa jadwal masuk 24 kali itu terlalu sedikit. "Tadi lo bilang kabur? Kabur dari mana? Mama papa tahu lo disini?" tanyanya beruntun. Raya kembali menggeleng. Wajahnya kini berubah menjadi serius, "kayaknya ada penghianat di sekitaran gue" ucap gadis itu serius. Raga menaikkan salah satu alisnya, mempertanyakan maksud dari omongan gadis itu. "Gue rasa, ada orang yang selalu ngelapor tentang gue ke Bima. Jadi dimanapun gue berada, selalu ada Bima disana. Gue ngelihat Bima sudah kayak lihat malaikat Izrail, bawaanya ngeri-ngeri sedap" jelas Raya. "Maka dari itu, gue kabur kesini. Kali aja Bima tau kan, berati penghianatnya ya yang di depan gue" ucapnya melanjutkan, sekaligus menyindir Raga. Raga hanya memutar bola matanya malas, lalu pergi berlalu ke kamarnya. Ia ingin istirahat, karna masih ada kelas sore. Meladeni Raya sekarang sama aja nyari penyakit. Sakit kepala bukanya sembuh, yang ada semakin darurat. ^^^ Penghianat adalah hal yang paling di benci oleh Raya, dan Raga ingin sekali berhianat sekarang, dan melaporkan keberadaan gadis itu kepada papa mereka. Pasalnya, kedatangan Raya ke tempatnya, sungguh merepotkan. Apalagi saat gadis itu minta ikut ke kampusnya, dengan alasan bosan di rumah. Raga ke kampus itu mau belajar, dan bukannya main kelereng. Bagaimana bisa ia bawa kakaknya ini masuk ke dalam kelasnya. Yang ada, Raya akan memilih tidur selama jam mata kuliah berlangsung. Namun, bisa apa Raga, jika Raya sudah meminta sesuatu. Gadis itu terlalu jarang meminta sesuatu dan selalu mengerjakan segala halnya dengan sendiri. Termasuk ke biaya kehidupannya sehari-hari. Jika Raya memilih untuk tinggal di kos-kosan murah dengan harga 500K per bulan, beda hal dengan Raga, yang saat ini tinggal di panthouse, milik papanya. Sama halnya seperti kemarin, saat mereka berulangtahun, Raga di hadiahi mobil Lamborghini Aventador, sedangkan Raya harus mencari hadiah sendiri, yang ternyata hanya dapat truck kuning. Maka dari itu, sifat Raya yang dikit-dikit otaknya langsung terconnec dengan kalkulator. Segala hal ingin di jual kakaknya itu. Termasuk Raga yang mungkin akan di jual ke tante-tente suatu hari nanti. "Lo tungguin di depan kelas gue. Jangan kemana-mana! Kelas gue cuma sejam lagi" peringat Raga kepada gadis itu. Raga seperti memperingati anak kecil, yang tidak bisa di bilangin. Dan Raya hanya mengangguk kalem. Bibirnya menyunggingkan senyum manis, layaknya anak kecil. Dan itu jelas membuat Raga gemas. Bagaimana bisa ia meninggalkan kakakya yang gemesin ini di depan kelasnya? ^^^ Raya hilang. Dan itu menjadi mimpi buruk bagi Raga, karna tidak berhasil menemukan kakaknya itu dimanapun. "Raga!!!" panggil seseorang dari belakangnya. Wajahnya kini penuh kekawatiran, karna tidak bisa menemukan seseorang. Raga menoleh, dan mendapati seorang perempuan dengan kemeja belelnya, berjalan kearahnya. "Kenapa?" tanya Raga dengan wajah ngerinya. "Lo nyariin perempuan yang disini tadi ya?" tanya gadis itu. Raga seketikan mengangguk, kakinya berjalan mendekat kearah gadis itu. "Dia dimana?" tanyanya kawatir. Gadis itu mentelengkan kepalanya kekiri. "Dia pacar lo ya?" tanyanya tanpa sungkan. Raga mendesah keras, karna bukanya menjawab pertanyaanya, gadis yang di depannya ini malah bertanya privasinya. "Dia dimana?" tanya Raga dengan suara dinginnya. Gadis itu mulai terlihat gugup. Raga bisa melihat gadis yang di depannya ini sedang menelan salivanya pelan. Raga bahkan melihat mata gadis itu berkaca-kaca seakan sedang menahan tangis. "Dia di rektorat, ikutan demo sama yang lain" jawab gadis itu. Raga ingin pingsan rasanya saat mendengar kakaknya sedang demo di kampusnya. Apalagi setau dia, demonya kali ini berkaitan tentang penurunan UKT. Tanpa mengucapkan sepatah kata, Raga berbalik dan hendak pergi mencari kakaknya itu di rektorat. Bisa-bisanya Raya ikut demo di kampus Raga, sedangkan gadis itu bukanlah mahasiswi disisni. Tapi langkahnya terhenti, saat merasakan sebuah tarikan di lengannya. Berbalik, ia melihat gadis yang baru saja menginfokan keberadaan Raya tadi, menangis. Raga jelas bingung. Ia sama sekali tidak melakukan apa-apa, namun gadis itu malah menangis tepat di depannya. Kini mereka berdua menjadi bahan pandangan orang-orang, dan Raga tidak tau hendak melakukan apa-apa. Karna satu-satunya pengalamana perempuan menangis di depannya hanyalah Raya. Itupun kakaknya hanya menumpang bahunya, tidak mengatakan apa-apa, dan hanya menangis sampai ketiduran. Saat bangun, Raya sudah kembali segar dan menjadi gadis yang menyebalkan seperti sebelumnya. Dan sekarang, apa yang harus Raga lakukan? Ia bahkan tidak mengenal gadis yang berada di depannya ini.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD