Bab 09

1176 Words
Lampu neon temaram menggantung malas di langit-langit ruangan VVIP. Musik berdentum dari lantai dansa utama, tapi di balik kaca buram, suara itu terdengar seperti dentuman jantung yang berat dan berulang. Di dalam ruangan eksklusif itu, aroma alkohol mahal dan parfum tajam bercampur, memenuhi udara. Mario duduk bersandar di sofa kulit hitam. Tangan kirinya menggenggam gelas kristal berisi whiskey, sementara tangan kanannya bertumpu di lutut. Di sekelilingnya, wanita-wanita bayaran dengan gaun minim tertawa manja, mencolek bahunya, mencoba menggodanya dengan bisikan dan sentuhan. Tapi mata Mario kosong. Pandangannya menembus kabut asap rokok, jauh ke arah panggung kecil tempat penari striptis menggeliat pelan. Tubuh-tubuh itu menari, memamerkan segalanya—namun tak satu pun bisa menggerakkan Mario sedikit pun. Wajahnya datar. Dingin. Di sisi kiri, Jack—temannya, mengenakan jas mahal dengan kemeja terbuka sampai d**a—terkekeh pelan. Ia menepuk pundak Mario, tertawa. "Bro, lo ini kenapa? Cewek segini banyaknya ngelilingin lo, lo masih ngelamun aja." Arsen, yang duduk di sebelah kanan dengan tangan dipeluk wanita berambut pirang, menimpali sambil menyeruput martininya. “Tikus kecilmu itu lagi main DJ kan malam ini? Yang lo suka intai lewat tatapan tiap malam?” Jack ikut tertawa, geli. “Viola, ya? Si keras kepala itu? Wajahnya boleh cantik, tapi otaknya keras kayak batu. Gue bilang, Mario… lo buang waktu. Cewek kayak dia nggak bakal pernah mau sama lo.” Mario mendengus pelan. “Diam.” Arsen menaikkan alis. “Serius, man. Lo itu terlalu keras. Bahkan cewek liar butuh kelembutan, bukan ancaman.” Jack ikut menambahkan. “Lo udah bikin dia takut. Sekarang lo berharap dia jatuh cinta? Itu delusi namanya.” Mario mendongak, memandang dua temannya dengan sorot mata dingin dan tajam. “Dia tidak harus jatuh cinta,” gumamnya pelan, tetapi nada suaranya tajam seperti belati. “Dia hanya harus menyerah. Dia akan bersamaku... cepat atau lambat.” Arsen dan Jack saling melirik, lalu tertawa lagi. Kali ini lebih sinis. Jack berkata sambil menepuk bahu Mario. “Lo keras kepala. Nggak semua bisa lo paksa, bro. Bahkan tikus kecil bisa gigit balik.” Mario memutar gelasnya. Cairan kuning berputar perlahan. “Aku tidak peduli,” katanya dingin. “Viola bisa membangkang, bisa melawan, bisa lari sejauh apapun. Tapi pada akhirnya… dia akan kembali padaku.” “Tapi dia nggak suka lo,” kata Arsen, jujur tanpa basa-basi. “Dia takut. Dia benci lo.” Mario tertawa pelan, tapi tidak ada humor di dalamnya. “Dia belum tahu apa yang terbaik untuknya. Aku akan tunjukkan. Dengan caraku.” Jack menggeleng sambil meneguk minumannya. “Kadang lo kayak villain di film mafia. Serius. Ini obsesi, bro. Obsesi bahaya.” Mario tak menjawab. Pandangannya kembali lurus ke depan. Bayangan Viola melintas dalam pikirannya—wajah itu, senyum sinis itu, mata yang menyala karena kemarahan dan keteguhan. Dia akan jadi milikku. Biar seluruh dunia melarang. Biar Viola menolak seribu kali. Aku tidak akan menyerah. --- Sementara itu, di ruang ganti kecil klub malam tempat Viola tampil malam itu, sang DJ perempuan sedang menghapus riasan di depan cermin. Tangan-tangan pria yang menatapnya sepanjang malam masih terasa menempel di kulitnya, walau tak satupun menyentuh. Dan di cermin, Viola melihat bayangan lelaki itu lagi. Bukan sosoknya yang nyata. Tapi kehadiran Mario seperti racun di pikirannya. Selalu membayangi. Selalu menekan. Dia menghela napas keras. “Apa sih maumu dariku, Mario?” bisiknya pada diri sendiri. “Aku bukan milikmu. Aku bukan milik siapa-siapa.” Tapi bagian terdalam dari dirinya tahu, malam ini belum selesai. --- Dan benar saja. Ketika Viola keluar dari klub menuju parkiran belakang, dia mendengar suara langkah kaki berat mengikuti. Saat dia menoleh, seorang pria berjas hitam berdiri membungkuk sedikit. "Mobil Anda, Nona. Tuan Mario menyuruh saya mengantar." Viola terdiam. Mulutnya terkatup, tangan gemetar memegang tas. Mario. Lagi. Selalu begitu. Dia menghela napas, matanya menatap gelap langit malam Angin menyentuh kulit Viola saat ia melangkah cepat menuju mobil hitam yang sudah menunggunya. Tumit sepatunya beradu dengan aspal basah yang masih menyimpan jejak hujan sore tadi. Dia lelah. Penampilannya malam ini cukup membuatnya ingin langsung tidur dan melupakan semuanya. Namun baru saja tangannya meraih gagang pintu mobil, tangan lain yang kuat menarik lengannya kasar dari belakang. “Viola,” suara itu berat, dalam, dan penuh tekanan. Bukan suara yang ia harapkan. Tapi bukan pula suara asing. Mario. Viola terkejut, tubuhnya tertarik mundur beberapa langkah sebelum ia berhasil mengimbangi dan melepaskan cengkeraman itu. Matanya membelalak, lalu dalam hitungan detik amarahnya meledak. “Apa sih MAUMU, HA?!” teriaknya lantang. “BERHENTI NGIKUTIN AKU!” Mario hanya berdiri tegak, memandang gadis di hadapannya. Rambut Viola berantakan tertiup angin, wajahnya memerah karena amarah, namun bagi Mario—gadis ini adalah satu-satunya hal yang membuat dunianya tetap berjalan. Biarpun dengan cara paling kacau. Senyuman menyeringai muncul di wajahnya. Bukan senyuman manis, tapi senyum sinis yang penuh obsesi dan kendali. “Aku ingin kamu, Vi,” katanya pelan namun mantap. “Aku ingin kau jadi wanitaku.” Viola mendengus keras. Mulutnya ternganga karena tidak percaya Mario bisa mengatakan hal sebodoh itu dengan santainya. “WANITAMU?!” serunya dengan nada menghina. “Aku bukan properti, Mario! Aku bukan mainan lo!” Mario melangkah maju, satu langkah lagi, membuat Viola mundur dan membentur mobil di belakangnya. Wajah mereka kini hanya berjarak beberapa sentimeter. “Kau pikir aku akan menyerah karena kau menolak?” Mario berkata, suaranya lebih pelan sekarang. Tapi tekanan dalam nadanya seperti belati yang menusuk. Viola menatap Mario, matanya menyalak. “Kau pikir aku akan luluh karena rayuan norakmu ini dan sikap memaksamu ini?! Nggak akan, Mario. Aku nggak sudi jadi wanita lo! Sekali pun TIDAK!” Mario tidak bergerak. Matanya tetap tertancap pada wajah Viola. Dia mendekat, tidak untuk mencium, tidak untuk menyentuh lebih jauh, tapi untuk membuat gadis itu tahu bahwa dia serius. Ini bukan lelucon. Ini keputusan. “Kalau aku tidak bisa membuatmu menyerah dengan kelembutan,” ucap Mario perlahan, “aku akan buat kau menyerah dengan kekuatanku. Aku akan buat seluruh dunia tahu, Viola… bahwa kamu milikku. Dan dunia tidak akan bisa menolongmu.” Viola menatapnya tajam. Jantungnya berdebar begitu keras, bukan hanya karena marah, tapi juga karena takut. Mario benar-benar gila. Dan dia tahu, ini tidak akan berhenti di sini. “Kau memang sudah gila Mario!” Mario terkekeh kecil mengusap wajah Viola lembut. Mendekatkan wajahnya dengan wajah Viola. “Aku memang gila sayang. Gila karena dirimu, karena aku ingin memiliki dirimu cantik dan membuat kau menjadi milikku.” Ucap Mario begitu dalam dan terdengar semakin memuakan di telinga Viola. “AKU TIDAK AKAN PERNAH MENJADI MILIKMU b******k!——” “AKH! s**t!” Mario menatap pada Viola yang menyeringai karena Viola baru saja menendang pusakanya. Oh s**t! Ini sangat sakit sekali. “Terima kasih sudah membawa mobilku ke sini Mario. Ehem! Cepat obati kejantananmu itu. Mana tahu kau impoten nanti dan tidak bisa memiliki anak. Bye. Bye. Bye. Mario si b******n!” Viola masuk ke dalam mobil melambaikan tangannya dan tertawa kecil melihat Mario masih memegang kejantanannya. “Sialan! Kau lihat saja Viola. Kau akan tahu akibatnya sialan. Oh Tuhan! Jangan sampai akh impoten. Aku masih mau memasuki v****a Viola si sialan itu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD