Bab 10

1075 Words
Langit siang menggantung teduh di atas pusat perbelanjaan elite di jantung kota. Di lantai tiga, sebuah restoran berkelas dengan desain interior minimalis dan elegan ramai oleh para pengunjung yang menikmati makan siang mereka. Viola duduk sendiri di meja dekat jendela besar, menatap salad salmon di hadapannya dengan lesu. Wajahnya letih, matanya menyimpan sembab sisa malam panjang. Pikiran-pikiran tentang bagaimana kariernya sebagai DJ mulai dikunci satu per satu masih menghantui, namun dia berusaha tampil tegar. Sebuah tawa keras membelah udara. Tanpa sadar, Viola mengangkat wajah dan… Matanya membeku. Beberapa meter dari tempat duduknya, Mario —dengan jas mahal dan gaya santainya yang khas— menggandeng seorang perempuan berambut panjang, seksi, dan berwajah seperti model majalah luar negeri. Wanita itu tersenyum manja, menempel di lengan Mario seperti permen yang lengket. Mario terlihat mencondongkan kepala, berbisik sesuatu, lalu menertawakan sesuatu yang tidak lucu. Viola mendengus. Matanya menyipit. Cih! Lelaki itu! Baru saja mengaku cinta, baru saja mengancam akan menjadikannya satu-satunya, kini malah bersikap seperti raja harem di restoran umum? “Bajingan.” desis Viola lirih, menyendok saladnya dengan gerakan kasar. Mario tentu saja melihatnya. Bagaimana mungkin dia tidak menyadari kehadiran wanita yang selalu menghuni pikirannya? Saat matanya bertemu dengan mata Viola dari kejauhan, senyuman sinis perlahan muncul di bibirnya. Dia sengaja. Dia menggandeng wanita itu bukan karena dia butuh teman makan siang. Bukan pula karena wanita itu lebih cantik atau menarik dari Viola. Tidak. Mario ingin membuat Viola terbakar. Cemburu. Marah. Tersiksa. Dan memang berhasil. Dia melihat cara Viola menahan ekspresi, menunduk seolah tak peduli. Tapi Mario tahu betul bahasa tubuh itu. Viola terganggu. Viola terbakar. Dan itu membuatnya puas. Namun kebanggaan Mario seketika hancur berantakan dalam beberapa detik kemudian. Seorang lelaki tinggi dan gagah, mengenakan jaket kulit hitam dengan jam tangan mahal, berjalan cepat menghampiri meja Viola. Lelaki itu tersenyum lebar dan… memeluk Viola dari belakang. Tangan kuat itu melingkari pundaknya, bibirnya mengecup puncak kepala gadis itu dengan lembut. Mario terpaku. Wajahnya menegang. Jari-jarinya mengepal. Viola tidak hanya membalas pelukan itu. Dia menatap Mario sekilas— dan tersenyum. Senyum penuh kemenangan, penuh ejekan. Seolah berkata: “Lihat, kamu bukan satu-satunya lelaki di dunia.” Lelaki di sampingnya menarik kursi dan duduk, mengobrol dengan santai sambil menatap Viola penuh kagum. Tawa mereka ringan, mesra, dan natural. Mario tak lagi mendengar suara wanita di sampingnya yang masih mengoceh entah apa. Dunia seolah terdiam. Dadanya sesak. Hatinya mendidih. SIALAN. Dia mengalihkan pandangan, menyandarkan tubuh ke kursi dengan kasar, meneguk air dingin hingga habis. Wanita di sampingnya menyentuh lengannya manja. “Mario? You okay, honey?” Mario tersenyum tipis, memaksa. Tapi dalam pikirannya… Dia ingin membalikkan meja itu. Menarik Viola keluar dari pelukan lelaki itu dan mengunci dia dalam kamarnya sendiri. Lagi. Sampai dia sadar, siapa yang benar-benar memiliki dirinya. Namun kali ini… Mario yang kalah dalam permainan si lelaki b******n itu. Untuk pertama kalinya, Viola menang. Tapi ini belum selesai. --- Malam harinya… Mario berdiri di balkon apartemennya. Rokok menyala di antara jarinya. Pandangannya kosong menatap kota yang gemerlap. Dalam pikirannya, wajah Viola dan lelaki itu terus berulang. Siapa dia? Sejak kapan mereka dekat? Apa mereka sudah tidur bersama? Pertanyaan-pertanyaan itu seperti racun yang mengalir dalam darahnya. Membuatnya gila. Cemburu. Terbakar. Mario melempar rokoknya ke bawah dan masuk ke dalam. Tangannya meraih ponsel. Dia membuka kontak. Mencari satu nama. “Surya - Investigasi Pribadi.” Jarinya mengetik cepat. "Cari tahu siapa lelaki yang bersama Viola siang ini. Kirim semua datanya dalam 24 jam." *** Mario berdiri di depan jendela apartemennya. Lampu-lampu kota Jakarta berkelip di kejauhan, tapi pikirannya tidak tertuju ke sana. Tangannya mencengkram laporan dari anak buahnya, wajahnya keras, rahangnya mengeras menahan kemarahan yang membara. “Party dewasa?!” desisnya pelan, giginya terkatup rapat. “Gadis itu benar-benar keterlaluan.” Setelah semua yang ia lakukan. Setelah dia sabotase klub malam agar tidak ada yang menerima Viola jadi DJ. Setelah dia peringatkan gadis itu berkali-kali. Setelah dia lihat sendiri dengan mata kepalanya saat Viola memeluk pria lain di mall siang tadi. Dan sekarang... Viola bermain musik di pesta dewasa. Pesta yang identik dengan alkohol, narkoba, dan seks. Mario meraih ponselnya. Suaranya rendah dan penuh ancaman saat berbicara. “Surya. Kirim alamat pesta itu. Sekarang.” Beberapa detik kemudian, notifikasi masuk. Sebuah titik lokasi muncul di layar. Mario langsung bergerak. Jaket kulitnya melayang di pundak, langkah kakinya panjang dan cepat. Dia turun ke parkiran, masuk ke dalam mobil, dan menekan pedal gas hingga mobilnya melesat membelah jalanan malam. Tak ada musik dalam mobil. Hanya suara napasnya yang berat. Pikirannya penuh bayangan Viola. Di atas panggung. Dikelilingi para pria haus tubuh. Disentuh. Ditatap. Diinginkan. Tidak. Dia tidak akan membiarkan itu terjadi. Satu jam kemudian, Mario tiba di sebuah vila mewah di pinggiran kota. Lampu warna-warni menyala terang. Musik EDM menggema dari dalam. Di pelataran, orang-orang berlalu-lalang dengan pakaian minim dan gelas di tangan. Tanpa ragu, Mario masuk. Dia berjalan menembus kerumunan, dingin, tatapannya tajam. Dan di sana... Viola. Di atas panggung kecil. Mengenakan dress hitam ketat dan berkilau. Tubuhnya bergerak mengikuti dentuman musik. Tangannya lincah memainkan turntable. Dan di sampingnya, seorang pria—tinggi, muda, mengenakan kemeja putih terbuka sebagian—menyerahkan sebotol minuman pada Viola sambil tersenyum. Viola tertawa dan menerima minuman itu. Pria itu mendekat, mencium pipi Viola. Mario mendidih. “Viola!” teriaknya lantang. Musik terhenti seketika. Semua mata menoleh. Viola pun membeku. “Mario?” desisnya terkejut. “Apa yang kamu lakukan di sini?” “Turun,” perintah Mario dengan suara dingin. “Sekarang juga.” Viola menggeleng cepat. “Tidak. Aku tidak ikut kamu ke mana pun malam ini!” Pria di samping Viola turun dari panggung dan menghampiri Mario. “Bro, tenang. Jangan bikin masalah di sini.” Mario menyeringai dingin. “Masalah? Aku akan mengubur masalahmu di sini.” Dan sebelum pria itu sempat bicara lagi, tinju Mario melayang cepat ke wajahnya. Pria itu tumbang, membuat kerumunan berteriak panik. Suasana jadi kacau. Mario kembali menatap Viola. “Aku tidak peduli seberapa keras kamu menolak. Kamu tetap akan ikut denganku malam ini.” “Kamu gila!” teriak Viola. “Aku bukan milikmu!” Mario melangkah maju, napasnya berat. “Aku lebih dari sekadar sepupu jauhm—aku pria yang mencintaimu, Viola. Cinta yang membuatku mampu menghancurkan seluruh tempat ini hanya untuk membawamu pergi dari sini.” Viola menggigit bibir. Matanya berkaca-kaca. Dia benci Mario. Tapi dia juga takut. Takut pada amarahnya. Takut pada kekuasaannya. Dia turun dari panggung perlahan. Mario meraih tangannya, erat. Mereka berjalan keluar, meninggalkan pesta itu, meninggalkan kerumunan yang kembali bergemuruh.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD