Bab 11

1254 Words
Langit malam menggelap saat mobil Mario berhenti di depan sebuah rumah mewah dua lantai di kawasan elit Jakarta Selatan. Lampu-lampu di pekarangan menyala temaram, menyambut keheningan malam yang sebentar lagi akan disambut oleh subuh. Viola duduk di kursi penumpang, wajahnya keras, rahang mengatup, dan kedua tangannya terkepal di pangkuan. Sepanjang perjalanan dia tidak mengatakan sepatah kata pun. Tapi di dalam dadanya, amarah bergejolak seperti bara yang siap meledak. Mario turun lebih dulu, lalu membukakan pintu untuk Viola. Gadis itu enggan melangkah, namun tatapan tajam Mario membuatnya akhirnya bergerak juga. Mereka berjalan menuju pintu depan. Mario menekan bel. Tak lama, suara langkah tergesa terdengar dari dalam. Pintu dibuka oleh seorang wanita paruh baya yang mengenakan daster satin dan wajah yang penuh kekhawatiran. Rihana. “Mario? Viola?” katanya, matanya menyipit penuh curiga. Di belakangnya, Kevin muncul, masih mengenakan kemeja tidur. “Ada apa malam-malam begini?” tanya Kevin, nada suaranya pelan tapi tegas. Mario tidak menjawab. Ia langsung melangkah masuk tanpa diundang. Viola mengekor dengan wajah muram. “Kita harus bicara,” ucap Mario dingin. “Sekarang.” Rihana dan Kevin saling pandang sebelum akhirnya mereka duduk di ruang tamu. Mario berdiri di tengah ruangan, sementara Viola berdiri di pojok dengan tangan menyilang di d**a. “Ada apa, Mario? Apakah ada hal perlu” tanya Kevin. Mario menarik napas panjang. “Saya minta maaf karena harus mengatakan ini, Om, Tante… Tapi saya rasa ini sudah melewati batas. Viola… malam ini… dia jadi DJ di sebuah pesta dewasa.” Rihana mengerutkan dahi. “Pesta apa maksudmu?” Mario menatap lurus ke arah mereka. “Pesta liar. Penuh narkoba. Alkohol. Seks bebas. Dan Viola berdiri di atas panggung, menjadi pusat perhatian semua p****************g yang hanya melihatnya sebagai objek.” “APA?!” bentak Kevin, berdiri dari kursi. Wajah Rihana memucat. Dia menoleh ke putrinya, matanya penuh kemarahan dan kekecewaan. “Viola! Apa benar yang dikatakan Mario?” Viola mendesah keras, menggulung lengan bajunya seolah sedang bersiap bertarung. “Itu pekerjaanku! Aku DJ, Ma! Apa masalahnya? Hanya karena tempatnya begitu, bukan berarti aku ikut dalam semua itu!” “Jangan berdalih!” bentak Kevin. “Kau pikir kami bodoh?! Pesta seperti itu tidak pernah lepas dari hal-hal jorok!” “Aku tidak pakai narkoba! Aku tidak tidur dengan siapa pun! Aku hanya main musik!” “Di tempat orang telanjang saling b******u?! Itu yang kau sebut kerja?” Rihana berdiri, air matanya mulai membasahi pipi. “Viola, kau anak perempuan satu-satunya kami! Kami menyekolahkanmu tinggi-tinggi! Kami percaya padamu!” Viola mengepalkan tangannya. “Kalian tidak pernah benar-benar percaya padaku. Kalian hanya percaya pada bayangan yang kalian ciptakan sendiri tentang aku. Aku ini bukan robot! Aku ingin bebas! Aku mau hidup dengan cara aku sendiri!” “Dengan menjual harga diri?!” seru Kevin. “AKU TIDAK MENJUAL APA PUN!” jerit Viola, matanya basah. “Kenapa kalian tidak pernah mau mendengarkan?! Kenapa kalian semua—termasuk Mario—menganggap aku perempuan hina?! Hanya karena aku DJ di tempat yang kalian tidak suka?!” Mario mendekat, suaranya menahan emosi. “Aku tidak pernah anggap kamu hina, Viola. Aku marah karena aku peduli. Karena aku... aku mencintaimu. Tapi kamu justru menginjak-injak semuanya.” Viola menoleh cepat, menatap Mario dengan mata menyala. “Kau tidak mencintaiku, Mario. Kau mengendalikan aku. Kau ingin aku tunduk! Kau ingin aku lemah. Itu bukan cinta. Itu obsesi!” Rihana menutup mulutnya, menangis dalam diam. Kevin menatap Viola, napasnya memburu. “Kau tidak tahu lagi mana yang baik, Viola. Mulai besok, kamu tidak boleh ke luar rumah. Tidak ada DJ, tidak ada pesta, tidak ada kehidupan malam. Kamu akan tinggal di sini, di rumah ini, sampai kau sadar!” Viola tertawa getir. “Penjara, ya? Bagus. Sangat modern. Kalian benar-benar orang tua hebat.” “Kau pikir kami akan membiarkanmu rusak?! Tidak!” sahut Kevin keras. Mario menatap Viola yang kini mulai menggigil karena marah dan sedih yang bertabrakan. “Aku lakukan ini bukan untuk menyakiti kamu, Viola,” ucapnya pelan. “Aku hanya ingin kamu selamat. Tidak tenggelam dalam dunia yang akan menghancurkanmu.” Viola melangkah mundur. “Selamat dari apa, Mario? Dari dunia... atau dari kamu?” Lalu Viola berlari menaiki tangga, masuk ke dalam kamarnya dan membanting pintu. Pintu yang tertutup itu menjadi batas antara satu dunia dengan dunia lainnya. Di baliknya, Viola menangis dalam diam. Di luar, tiga orang dewasa terdiam dalam kebisuan panjang. *** Suasana ruang tamu mulai mereda dari rasa emosi yang sebelumnya begitu membakar. Kevin duduk kembali dengan napas berat, sementara Rihana mengusap air mata di pipinya. Mario masih berdiri, tubuhnya tegap namun sorot matanya sedikit surut. Ia menatap tangga tempat Viola menghilang barusan. Tidak ada lagi suara dari atas. Keheningan yang mencekam. Kevin mengalihkan pandangannya pada Mario, menghela napas panjang. “Mario… terima kasih, Nak. Terima kasih sudah membawa Viola pulang.” Mario mengangguk pelan. “Saya cuma melakukan apa yang saya bisa, Om. Saya nggak tahan melihat dia terjerumus lebih dalam.” Rihana mendekat, menggenggam tangan keponakannya itu dengan erat. “Kau sudah seperti anak kami sendiri, Mario. Kami tidak tahu harus bagaimana jika tanpa bantuanmu.” Mario hanya tersenyum tipis. Dalam hatinya ada rasa getir. Karena sebanyak apapun dia membantu, Viola tetap menganggapnya musuh. Tapi dia tidak mengucapkan itu. “Saya pulang dulu, ya, Tante, Om. Sudah malam.” Namun Rihana buru-buru menahan pergelangan tangan Mario. “Tunggu. Menginaplah di sini saja malam ini. Sudah terlalu malam untuk pulang.” Mario sedikit ragu. Ia menoleh ke arah tangga. Rihana membaca kegelisahan itu dan berkata, “Viola tidak akan turun lagi malam ini. Biarkan dia menenangkan diri. Kamu bisa pakai kamar tamu, ya?” Kevin mengangguk, memberikan dukungan. “Kau aman di sini. Kami senang kau tinggal malam ini.” Akhirnya, Mario mengangguk. “Baiklah. Kalau begitu, saya menginap.” Rihana pun memanggil salah satu ART rumah itu untuk menyiapkan kamar tamu. Mario berjalan mengikuti ke arah kamar tersebut. Namun di atas, di balik pintu kamar yang tertutup rapat, Viola mendengar semuanya. Ia duduk di lantai dengan punggung bersandar pada daun pintu, matanya masih sembab. Mendengar bahwa Mario akan menginap membuat jantungnya berdebar tidak karuan. Antara takut, marah, dan bingung. Dia tidak tahu apa yang akan Mario lakukan besok, atau lusa, atau seterusnya. Tapi satu yang ia tahu pasti—ia harus keluar dari rumah ini. Viola berdiri dan berjalan ke cermin. Wajahnya tampak kacau. Mata sembab, rambut berantakan. Namun di balik semua itu, tekad mulai berkumpul kembali dalam dirinya. Tidak akan ada yang bisa mengatur hidupnya. Tidak ayah, tidak ibunya, tidak juga Mario. Sementara itu, Mario masuk ke kamar tamu, duduk di ranjang dengan punggung membungkuk. Kamar itu sunyi, hanya diterangi lampu temaram. Ia membuka ponsel dan membuka pesan-pesan dari anak buahnya yang masih melaporkan soal klub dan pesta. Namun dia tidak membalas satu pun. Pikirannya hanya pada satu nama. Viola. Wajahnya yang keras kepala. Suaranya yang selalu melawan. Matanya yang menyala-nyala saat menentang Mario. Semua itu membuatnya gila. Tapi entah mengapa dia tidak bisa berhenti memikirkannya. Mario bangkit dan berjalan menuju jendela, menatap keluar. Hujan gerimis mulai turun. Lampu-lampu kota tampak redup di kejauhan. Ia mengepalkan tangan. "Aku akan membuatmu sadar, Viola," gumamnya. "Aku tidak akan menyerah." Dan malam pun berlanjut dalam ketegangan yang menggantung di udara. Di bawah atap yang sama, dua hati yang saling bertentangan mulai merancang jalan mereka masing-masing. Satu ingin bebas, yang lain ingin memiliki. Namun keduanya tidak menyadari, jalan yang mereka pilih akan membawa mereka ke arah yang jauh lebih gelap dan berbahaya dari sebelumnya. “Atau aku perkosa kamu saja Viola? Biar kau menjadi milikku selamanya!”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD