Bab 02

746 Words
Langit malam di atas kota mulai dipenuhi awan, seperti ikut menggambarkan amarah yang kini membuncah dalam d**a seorang pria bernama Mario Ardani. Setelah insiden brutal di dalam klub malam, tanpa memberi kesempatan siapapun untuk protes atau menahan, Mario menarik tangan Viola keluar dari tempat itu. Tangannya mencengkeram pergelangan tangan gadis itu dengan kuat, dingin, tak peduli bahwa tangan mungil itu mencoba melepaskan diri dengan seluruh tenaganya. Viola terseret-seret di belakangnya, sepatunya bergeser tak seirama langkah besar dan cepat milik Mario. Nafasnya memburu, tubuhnya menegang, dan matanya membelalak marah. "Let me go!" teriak Viola, dengan suara tinggi bernada panik, campuran ketakutan dan perlawanan. Tangannya berusaha mencakar, menarik, menepis genggaman itu. Tapi Mario tidak bergeming. Seolah genggamannya terbuat dari baja, tidak peduli seberapa keras Viola meronta. Beberapa pengunjung yang baru keluar dari klub malam menoleh melihat keributan itu, tetapi segera mundur saat melihat tatapan tajam Mario yang membunuh dari kejauhan. "Mario, I said let me go!" Viola kembali berteriak, kali ini sambil mencoba menghentikan langkahnya. Tubuhnya membungkuk ke belakang, berusaha menahan tarikan kuat itu. Namun Mario tiba-tiba berhenti. Tubuh tegapnya membalik cepat menghadap Viola. Ia menatap gadis itu dengan tatapan yang membuat udara di sekitar mereka terasa membeku. Sorot matanya tajam seperti belati, dan rahangnya mengeras seperti hendak menghancurkan batu. “DIAM!” bentaknya, keras dan dalam. Suara itu menggema di malam yang mulai sunyi, cukup keras untuk membuat Viola terdiam sesaat. Nafas gadis itu tersendat. Ia menatap Mario dengan mata membelalak, tidak percaya lelaki itu membentaknya sekeras itu. Tapi belum sempat ia membalas, suara Mario kembali menggelegar, kali ini dengan nada penuh amarah yang dingin dan menekan. “Berhenti memberontak dan ikut aku sekarang juga, Viola. Sekarang!” katanya, dengan nada yang tidak mengizinkan bantahan. “Jangan buat aku kehilangan kesabaran!” Viola menggeleng cepat. “Tidak! Aku tidak akan ikut kamu! Kamu pikir kamu siapa bisa tarik aku seenaknya?! Aku bukan anak kecil lagi, Mario! Aku sudah dewasa! Aku punya kehidupan sendiri!” “KEHIDUPAN?” Mario melangkah lebih dekat. Matanya menajam, tubuhnya sedikit menunduk agar sejajar dengan wajah Viola yang lebih kecil darinya. “Kamu menyebut kerja di klub malam itu sebagai kehidupan? Kamu menyebut pekerjaan menjijikkan itu sebagai pilihan hidup?” “Jangan hina aku!” teriak Viola, menahan air mata yang mulai memanas di sudut matanya. “Kamu tidak tahu apa-apa tentang aku! Kamu bahkan tidak tahu kenapa aku memilih ini!” Mario menghela napas tajam, tetapi bukan karena lelah. Karena murka yang tertahan. Ia tidak peduli siapa yang mendengar, ia tidak peduli siapa yang akan menilai. Saat ini, satu-satunya yang ada dalam pikirannya adalah: menjauhkan Viola dari tempat kotor itu. Dari dunia yang menurutnya hanya pantas dihancurkan. “Kalau kamu tidak ikut sekarang, aku akan gendong kamu masuk mobilku, Viola. Jangan uji kesabaranku,” katanya pelan, namun dinginnya membuat bulu kuduk meremang. Viola mundur satu langkah. Tubuhnya gemetar. Tapi bukan karena takut. Melainkan karena campuran amarah dan sakit hati. “Kenapa kamu lakukan ini padaku, Mario? Kenapa kamu merasa kamu bisa atur hidupku?!” Mario menatapnya tajam. Napasnya berat, dadanya naik turun cepat. Lalu tanpa aba-aba, ia maju dan menarik tubuh Viola ke pelukannya. Kuat, cepat, dan tiba-tiba. Viola memukul dadanya, mendorongnya, “Lepas! Mario, lepas aku! Apa-apaan kamu?!” Tapi Mario tetap memeluknya. Ia menunduk dan membisikkan sesuatu di telinga gadis itu, dengan suara rendah dan penuh tekanan, “Karena kamu satu-satunya yang aku peduli di dunia ini, Viola. Dan aku tidak akan biarkan kamu rusak karena dunia yang kamu pilih sendiri.” Viola membeku. Tubuhnya yang tadi memberontak kini hanya berdiri diam dalam pelukan yang dingin namun begitu mengikat itu. Hatinya berdetak tak karuan. Tangannya masih menempel di d**a Mario, tapi tak lagi mendorong. Dalam kepalanya, pertanyaan-pertanyaan membanjiri benaknya. Apa arti tatapan Mario yang selalu tertuju padanya selama ini? Apa maksud dari kata-kata itu? Dan... kenapa, untuk sesaat saja, detak jantungnya seolah menyatu dengan pria yang sejak dulu selalu ia anggap terlalu dingin untuk dijangkau? Tapi sebelum ia sempat bertanya, Mario menariknya menjauh, menatap mata gadis itu sekali lagi. “Masuk ke mobil sekarang. Kita bicara di tempat yang lebih pantas.” Tanpa menunggu jawaban, Mario kembali meraih pergelangan tangan Viola, tapi kali ini genggamannya sedikit lebih pelan, meski tetap erat. Viola tak punya tenaga untuk melawan lagi. Kakinya berjalan mengikuti langkah Mario, pikirannya masih dipenuhi oleh kekacauan yang baru saja terjadi. “Kalau kau tidak memberontak aku akan lebih lembut padamu cantik.” Viola mendengar itu menatap ke arah jalanan tanpa ingin melihat pada wajah tampan menyebalkan milik Mario!
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD