Lampu-lampu kota menyala temaram di bawah langit malam yang kelam, bayangan tinggi gedung apartemen menjulang di hadapan Viola Yarsani. Ia berdiri terpaku di depan pintu masuknya, dengan jantung yang berdegup cepat. Langkah-langkah Mario yang mendahuluinya berat dan pasti, sementara Viola menahan napas dalam, hatinya penuh penolakan.
Dia tahu ke mana Mario membawanya.
Apartemen lelaki b******n itu.
Tempat yang baginya bukan sekadar bangunan, melainkan jerat. Penjara tak kasat mata dari lelaki yang selama ini menjadi bayang-bayang gelap dalam hidupnya.
“Aku tidak mau masuk,” desis Viola pelan tapi tegas, matanya menatap pintu masuk seolah itu gerbang ke dalam neraka. “Kamu tidak bisa seenaknya menyeret aku ke tempatmu, Mario. Aku bukan milikmu!”
Langkah Mario terhenti. Ia menoleh dengan bahu tegap dan ekspresi datarnya yang menakutkan. Wajahnya tidak menunjukkan emosi, tapi sorot matanya cukup tajam untuk menusuk jantung siapa pun.
Tanpa berkata-kata, tangannya kembali meraih pergelangan tangan Viola. Gadis itu dengan panik menepis, mencoba menarik dirinya mundur.
“Lepaskan aku!” teriaknya. “Aku bilang, aku gak mau masuk, Mario!”
Namun genggaman Mario justru menguat. Suara bentakannya menggema keras dan tajam di udara yang semula hanya diisi suara lalu lintas malam.
“Masuk, Viola! Sekarang juga!”
Viola terkejut oleh kerasnya nada itu. Namun meski begitu, dia tetap berusaha melepaskan diri. Tubuhnya menegang, wajahnya merah oleh amarah dan takut yang bercampur jadi satu.
“Aku benci kamu!” seru Viola, berusaha menarik tangannya kembali. “Kamu gila! Sakit jiwa! Kamu gak waras!”
Namun Mario tak mendengar. Atau pura-pura tak peduli.
Dengan kasar, ia menarik Viola hingga tubuh mungil itu terhuyung ke depan. Viola kehilangan keseimbangan dan hampir tersungkur ketika pintu apartemen terbuka. Mario mendorong tubuhnya masuk dengan dorongan yang cukup keras hingga punggung Viola terbentur sofa kulit hitam yang ada di ruang tengah.
Brakk!
Suara tubuhnya bertemu furnitur terdengar nyaring di ruangan yang hening.
Viola meringis pelan, menahan nyeri di tulangnya. Ia menatap Mario dengan penuh kebencian. Napasnya naik turun, dadanya sesak oleh amarah yang tak lagi bisa ditahan.
“Kamu b******n, Mario!” teriaknya lantang.
Mario, yang baru saja menutup pintu apartemennya, berdiri di depan pintu sambil menatap Viola. Lalu ia tertawa. Tawa dingin dan berat, tanpa jejak kehangatan, tanpa niat baik.
“Aku memang b******n,” jawabnya pelan, menyeringai. “Tapi b******n yang cuma kamu yang bisa bikin kehilangan kendali.”
Viola terdiam sesaat. Bukan karena takut. Tapi karena bingung dengan logika lelaki itu.
“Apa maksud kamu?” gumamnya penuh getir. “Kenapa kamu selalu memperlakukanku seperti ini? Seolah aku bonekamu. Aku bukan mainanmu, Mario.”
Mario perlahan berjalan mendekat. Setiap langkahnya menggema di lantai kayu, seperti dentang lonceng kematian. Viola menelan ludah. Ia tidak bergeser, tetapi matanya memandangi setiap gerakan Mario dengan waspada.
“Aku memperlakukanmu seperti ini karena kamu membuatku gila,” ujar Mario dengan suara rendah, namun penuh tekanan. “Kamu pikir aku tidak tahu apa yang kamu lakukan selama ini? Berdiri di atas panggung sialan itu. Menggoyangkan tubuhmu. Menerima tatapan jorok dari lelaki-lelaki sialan yang tidak pantas melihatmu!”
“Terserah aku, Mario!” bentak Viola. “Itu hidupku! Kenapa kamu harus mencampurinya?!”
Mario berjongkok di hadapan Viola, menatap gadis itu lurus dari bawah. Wajah mereka kini sangat dekat. Nafas panas Mario terasa di pipi Viola, membuat gadis itu semakin menegang.
“Karena aku sudah terlalu lama menahan, Viola,” bisik Mario. “Terlalu lama pura-pura bisa melihatmu tanpa menginginkanmu. Tapi malam ini, ketika lelaki itu coba menyentuhmu, aku tidak bisa diam lagi.”
“Kamu gila,” bisik Viola, matanya mulai memerah karena emosi. “Kamu itu sepupuku, Mario…”
“Sepupu?!” potong Mario tajam. “Kamu pikir itu membuatku bisa berhenti? Aku tidak pernah melihatmu sebagai sepupu. Tidak sejak kamu dewasa dan mulai mengenakan pakaian yang—”
“Cukup!” Viola berdiri tiba-tiba, menatap Mario dengan penuh kemarahan. “Kalau kamu pikir kamu bisa menahanku di sini, kamu salah besar. Aku akan keluar dari tempat ini, dan kamu tidak bisa menghentikanku.”
Ia berbalik menuju pintu.
Namun sebelum tangannya menyentuh gagang, tangan besar Mario sudah menahan pintu lebih dulu. Lelaki itu kembali berdiri di belakangnya, begitu dekat hingga tubuh mereka nyaris bersentuhan.
“Kamu tidak akan ke mana-mana malam ini, Viola,” kata Mario dengan suara dalam yang menakutkan tenang. “Dan kamu akan dengar semua yang ingin aku katakan.”
Viola menatapnya lewat pantulan cermin kecil di dekat pintu. Mata mereka bertemu dalam pantulan itu. Mata gadis itu bergetar karena takut dan amarah, sedangkan mata Mario… penuh obsesi, dingin, dan tak tergoyahkan.
Malam itu belum selesai.
Dan satu-satunya hal yang pasti bagi Viola… adalah bahwa lelaki di depannya bukan lagi sepupu yang ia kenal dulu. Ia kini menjadi seseorang yang tak terhentikan. Seorang pria yang dikuasai oleh rasa kepemilikan dan obsesi yang mengerikan—dan sayangnya, obsesi itu terarah padanya.