My Ice Boss – 02

1753 Words
Terbang dan Terhempas _________________________ Dinni masih menunduk lesu dengan air mata yang sesekali masih menetes pelan. Jemarinyan yang terlihat berisi itu pun tak henti-henti menyeka wajahnya. Dinni masih belum merasa tenang meskipun sosok yang sekarang duduk di sampingnya itu sudah berusaha keras untuk menghiburnya. Pemuda yang kini duduk di samping Dinni itu bernama bernama Juan Mahendra. Juan memiliki postur tubuh yang tinggi dan atletis. Dia memiliki hidung yang mancung, alis mata tebal dan juga brewokan di wajahnya. Sekilas dia terlihat seperti pria yang berasal dari Asia timur. Ya, kabarnya Juan memang memiliki darah keturunan India yang diwarisi dari kakek buyutnya. Selain itu, postur tubuh yang sempurna itu didapat karena Juan memang hobi berolah raga. Di antara jenis olahraga yang paling disukainya adalah tenis meja dan juga sepak bola. Dinni dan Juan sudah saling kenal sejak mereka masih duduk di bangku SMA, tapi keduanya baru bertegur sapa ketika melanjutkan kuliah di kampus yang sama. Dinni dan Juan sama-sama kutu buku dan kerap bertemu di perpustakaan kampus. Dari sanalah awal kedekatan mereka bermula. Sebenarnya Juan sudah pernah mencoba mendekati Dinni saat SMA. Saat itu Juan memberanikan diri menyapa Dinni yang sedang asyik membaca buku di taman sekolah, tapi Dinni malah kabur terbirit-birit. Sejak itu Dinni pun selalu melarikan diri jika berpapasan dengan Juan. Dinni memang sudah merasa insecure sejak duduk di bangku SMA. Penyebabnya sudah jelas... Berat badannya. Setelah mereka kembali dipertemukan di bangku kuliah, barulah Juan bisa meyakinkan Dinni bahwa dia benar-benar tulus ingin berteman dengannya. Akhirnya mereka pun mulai berteman. Nyatanya  Juan tidak pernah terganggu dengan fisik Dinni. Kadang Dinni merasa malu karena anak-anak yang lain mulai menertawakan Juan karena berteman dengan perempuan sepertinya. Tapi Juan tidak peduli hal itu. Dia selalu saja ada di sisi Dinni. Lama kelamaan Juan mulai merasakan sebuah perasaan yang berbeda karena Dinni. Kepribadian perempuan itu membuat Juan merasa nyaman saat berada di sisinya. Hingga kemudian Juan menyatakan cintanya dan akhirnya mereka pun berpacaran hingga detik ini.  “Udah Din... jangan nangis lagi.” Juan kembali menyeka air mata Dinni yang jatuh di pipinya. “Semua ini bener-bener nggak adil, tau nggak.” Dinni masih berkeluh kesah. Juan menghela napas, kemudian menatap Dinni dengan lembut. “Itu bukan sebuah akhir... percaya saja kalau semua yang terlewat itu emang bukan rejeki kamu. Cepat atau lambat kamu pasti bakalan dapet pekerjaan.” hibur Juan. Dinni menatapnya dengan mata yang masih sembab. “Setelah dua tahun ini? sesudah semua usaha mati-matian yang aku lakuin?” Juan terdiam. Dia tahu benar bagaimana kerja keras Dinni selama dua tahun terakhir ini untuk mendapatkan pekerjaan. Dinni memang sudah berusaha sangat keras sejauh ini. Jikalau surat lamaran miliknya dikumpul dan ditumpuk, maka sebuah menara mungkin bisa tercipta da gunungan surat lamaran itu. Ini bukanlah pertama kalinya lagi Dinni dilamun kecewa. Tetapi sepertinya ini adalah saat yang paling mengecewakan bagi Dinni sejauh ini. Karena sebelumnya dia sudah merasa terlalu yakin. Dia juga menganggap bahwa itu adalah kesempatan terakhirnya untuk mendapatkan sebuah pekerjaan. Keinginan Dinni sebenarnya sangat sederhana. Dia hanya ingin mempunyai hidup layaknya manusia yang lain. Dia ingin bekerja, mempunyai teman dan menjalani hari-harinya dengan kegiatan yang positif. “Kenapa sih, kebanyakan pekerjaan itu menjadikan ‘penampilan yang menarik’ sebagai salah satu persyaratannya?” tanya Dinni memecah keheningan Juan hanya tersenyum. Dia kembali menyeka sisa-sisa air mata Dinni yang masih melekat di pipi semoknya. Juan menyeka dengan sangat lembur seraya menatap teduh. Tatapan mata itu benar-benar melukiskan betapa tulus perasaan Juan pada Dinni tanpa peduli dengan kondisi fisik perempuan itu. “Apa aku harus nurunin berat badan dan jadi cantik dulu agar jalan hidup aku jadi mudah seperti perempuan-perempuan yang lainnya?” Dinni masih berceloteh. Juan pun masih tenang mendengarkannya. Dia hanya menghela napas seraya masih menatap Dinni lekat-lekat dengan mata teduhnya. Juan memang selalu begitu. Dia tidak pernah menyela saat Dinni menumpahkan keluh kesahnya. Dia mendengarkan dengan sabar dan akan berbicara pada waktu yang tepat nantinya. “Bener-bener nggak adil,” ucap Dinni lagi. Setelah itu Dinni pun berhenti mengoceh. Dia kini menghela napas panjang sambil merapikan rambutnya ke belakang telinga. Juan tersenyum tipis. “Udah ngeluh nya?” Dinni menatapnya dengan alis berkerut. “Emangnya kenapa?” “Semua yang kamu omongin itu ada benarnya, tapi juga nggak sepenuhnya benar. Buktinya banyak, kok orang-orang yang memiliki over weight, tapi tetap bisa survive. Ini bukan soal penampilan. Intinya, mungkin ini memang belum waktunya untuk kamu, Din. Sabar... dan usaha lagi.” Juan menasehati Dinni dengan nada yang sangat berhati-hati. Dinni terdiam. Kalimat Juan itu memang terasa menenangkan. Nasehat lembut tanpa menggurui itu membuat kegelisahan Dinni mulai menguap. “Jadi sekarang... lupainaja semua yang udah berlalu itu.” Juan merunduk agar bisa melihat wajah Dinni yang menekur menatap tanah. Dinni mengangkat wajah sambil menghela napas. Setelah itu dia menatap Juan lekat-lekat. “Kenapa kamu bisa suka sama perempuan seperti aku?” Juan memejamkan matanya sebentar. Dia sudah bosan mendengar pertanyaan itu. Dinni selalu saja menanyakan pertanyaan  yang sama berulang-ulang.“Setelah lima tahun, kamu masih nanya tentang hal itu?” Dinni tersenyum dengan mata yanh masih sembab. Sejauh ini Juan memang selalu menunjukkan ketulusannya. Dia benar-benar serius membangun hubungan dengan Dinni. Di awal-awal hubungan mereka, Dinni sempat risih karena sebagian orang mengolok-olok Juan yang memilih berpacaran dengan perempuan seperti dirinya. Dinni bahkan sempat meminta putus karena tidak ingin melihat Juan menjadi gunjingan orang lain, tapi saat mengutarakan keinginan itu, Juan malah memarahinya. Juan tidak pernah peduli pada pandangan orang lain terhadap hubungannya bersama Dinni. Bagi Juan... Dinni adalah dunianya. Dinni adalah orang yang memahaminya dan mengerti bagaimana dirinya. Saat ini Juan sudah bekerja di salah satu perusahaan swasta. Dia lulusan dari jurusan manajemen sama seperti Dinni. Bagi Dinni, Juan adalah sosok theone yang sempurna di matanya. Juan bagaikan pelita yang menerangi gelapnya kehidupan Dinni yang dikungkung oleh rasa insecure-nya. Sejak kehadiran Juan, akhirnya Dinni juga bisa merasakan apa itu bahagia. Bahkan tidak sedikit orang yang iri terhadap Dinni. Mereka semua merasa heran kenapa Dinni yang 'seperti itu' bisa mendapatkan Juan yang sangat sempurna. Bahkan di masa lalu pernah tersiar gosip yang sangat menggelikan. Ada yang mengatakan bahwa Dinni mendapatkan Juan dengan ilmu pelet mandraguna dan ada juga yang mengatakan Juan mau berpacaran dengan Dinni karena Dinni adalah anak dari seorang konglomerat. Semua gosip itu pun hanya ditanggapi oleh mereka berdua dengan tertawa. “Tiba-tiba aku ngerasa lapar,” ucap Dinni. Juan tergelak. “Hahaha. Ayo kita cari makan kalo gitu.” ajaknya. Dinni berpikir sebentar. “Eh, tapi nggakdeh... beberapa hari ini aku keseringan makan sebagai pelampiasan otak yang mumet. “Kamu sih, tapi lucu juga ya... orang biasanya kalau stress selera makannya hilang. Kalau kamu malah semakin menjadi-jadi,” ledek Juan. Dinni pun menatap tajam dari sudut matanya. “Aku juga iri sama kamu tau... makan banyak tapi badannya segitu-gituaja.” “Hahaha.” Juan tertawa pelan. “Apa aku harus coba diet lagi?” tanya Dinni. Juan lekas menggeleng. “No... aku nggak mau kamu sakit seperti waktu itu lagi. I love every pound of you.” Dinni tersipu mendengar kalimat itu. “Kalau gitu ayo kita pergi makan,” ucapnya sembari mengulurkan tangan. Juan membungkukkan badannya seraya mengayunkan tangan layaknya seorang pangeran yang sedang memberi penghormatan pada sang putri. “Ayo kita pergi.” Juan menggenggam tangan Dinni sambil tersenyum manis. “AAA...!!!” Dinni tiba-tiba meringis. “K-kamu kenapa, Din?” tanya Juan dengan wajah berubah cemas. “Kaki aku kesemutan lagi.” rengek Dinni. Juan tersenyum, kemudian langsung berjongkok di depan Dinni. “Ayo naik!” perintahnya. Dinni lekas menggelang. “Nggak ah, aku nggak mau.” “Udah naik aja.” “Kamu yakin bisa?” Dinni menatap ragu. “Aku bilang naik... sekarang!” Dinni pun mengalungkan tangannya ke leher Juan. Setelah cukup yakin, Juan pun mulai berdiri perlahan. “Satu... dua... ti... gaaaaa.” Juan berhasil mengangkat Dinni di punggungnya. Tapi, kemudian dia sempat oleng dan hampir terjatuh. “Kamu nggak apa-apa, kan?” tanya Dinni sambil menahan tawa. “A-aku nggak apa-apa, kok,” jawab Juan. “Aku turun aja, deh,” ucap Dinni. Juan menggeleng. Wajahnya kini memerah. Urat-urat di tangan, leher dan keningnya kini menyembul keluar. Tapi, matanya terlihat berapi-api. Dengan keyakinan dan tekad yang kuat, Juan pun mulai melangkah. Meski terseok-seok, tapi dia tetap mempertahankan Dinni dipunggungnya. Pemandangan itu pun menarik perhatian orang banyak. Ada yang menertawakannya, ada yang memujinya, dan ada juga yang memotret pemandangan ganjil itu diam-diam dengan kamera ponselnya. “Aku mau turun,” ucap Dinni. “Nggak.” “Turunin aku... malu tahu dilihatin orang-orang,” bisik Dinni. “Aku bilang enggak ya, enggak. Kamu bandel amat, sih. Lagian suka-suka aku dong. Yang gendong aku bukan mereka,” jawab Juan. Dinni tersenyum dan mengaitkan tangannya lebih erat. “Juan...,” bisik Dinni ke telinganya. “Iya, ada apa?” tanya Juan sembari terus melangkah. “Makasih ya, karena udah selalu ada buat aku,” ucap Dinni. Juan tersenyum, menghentikan langkah kakinya sebentar, lalu menoleh ke arah Dinni. “Aku akan selalu ada buat kamu untuk selama-lamanya." “Janji?” “Iya, aku janji.”   ***   Dinni masih senyum-senyum sendiri seiring langkah kakinya. Hari ini dia benar-benar merasa bahagia karena perlakuan manis Juan padanya. Segala resah dan gundah yang sebelumnya menghimpit dada terasa menguap. Sepertinya malam ini dia akan bisa tertidur dengan sangat lelap. Namun, begitu memasuki halaman rumahnya, Dinni terkejut. Di depan sana terlihat beberapa orang memaksa meringsek masuk ke rumahnya. Mereka mengeluarkan perabotan berupa televisi dan juga perangkat elektronik lainnya. Sang ibu terlihat sedang memohon-mohon pada seorang wanita yang bergaya cetar dengan rambutnya yang bergelombang. Wanita itu adalah Bu Mala. Setahu Dinni, ibunya memang meminjam uang berupa koperasi harian kepada wanita itu. Dinni pun bergegas mendekat. “A-ada apa ini, Buk?” tanya Dinni. Bu Mala beralih menatap Dinni. “Ibuk kamu ini nggak mau bayar hutang. Ditagih malah nyolot.” Dinni menelan ludah, sementara sang ibu kini tampak merasa malu. “Emangnya berapa hutang Ibu saya, Buk?” tanya Dinni. “Lima Juta,” jawab bu Mala ketus. Dinni membelalak kaget. Dia beralih menatap ibunya. “I-Ibuk pinjam uang lima juta? Tapi, buat apa, Buk?” Sang ibu terlihat gelisah. Dia tidak berani menatap mata Dinni dan hanya diam terpekur. “Loh... katanya uang itu buat putrinya,” sela bu Mala. Dinni terhenyak. Dia mendekat pada sang ibu sambil menatapnya lekat-lekat. “Jangan bilang kalau uang itu buat Kak Amanda?” Sang ibu membisu. “Jawab Buk...!”  suara Dinni sedikit meninggi. Hening. Tetap tidak ada jawaban. “Jadi selama ini Ibukudahtau di mana dia berada?” Ibu Dinni semakin gelisah. “Hahaha.” Dinni tertawa getir. Tanah yang dipijaknya kini terasa berputar. Setelah semua kesalahan yang dibuat oleh Amanda. Setelah semua kekacauan yang ditimbulkannya. Ternyata diam-diam sang ibu masih menyokong dan membantunya. Dinni beranjak masuk ke rumah. Dia melangkah gusar ke dalam kamar, mengambil sebuah ransel gunung yang besar, lalu memasukkan semua barang-barangnya. Sang ibu pun datang menyusul dengan wajah merah padam. Namun, Dinni tidak peduli dan terus saja mengosongkan isi lemari pakaiannya. “Kamu mau ke mana?” tanya sang ibu. Dinni bungkam dan melangkah pergi.   “Ibuk sudah sangat kesulitan dengan semua ini dan sekarang kamu juga akan membuat masalah, ha?” bentak sang ibu. Dinni menatap tajam. “Apa salahnya? Apa aku nggak boleh berbuat kesalahan seperti Kak Amanda? Toh, selama ini aku juga nggak pernah menyulitkan Ibuk... aku selalu mengalah sama anak kesayangan Ibuk itu." Ibu Dinni tersentak. Bibirnya bergerak-gerak, tapi tidak ada yang terucap. "Ibuk masih menyokong dia setelah semua dosa dan kesalahan yang dia buat... sementara aku? Ibuk bahkan ngediemin aku hanya gara-gara aku nggak mendapatkan pekerjaan.” Dinni menumpahkan segala perasaannya selama ini, kemudian segera bergegas pergi.   BERSAMBUNG....        
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD