Episode 7

1965 Words
"Eh, Bang Rayhan. Vina sedang menebus obat, Bang." Vina refleks berdiri. Ia kaget sekaligus rikuh. Hubungannya dengan Reyhan kini sudah berubah. Reyhan bukan abang iparnya lagi. "Menebus obat? Kamu sakit, Vin? Sakit apa?" Reyhan memandangnya prihatin. "Bukan, Bang." Vina menggeleng. Ia benar-benar gugup saat Rajata terus saja menatapnya tajam dari balik punggung Reyhan. "Bukan? Oh Bapak atau Ibu ya yang sakit?" tebak Rayhan. Vina kembali menggeleng. "Bukan, Bang. Yang sakit Mbak Di--Dina," jawab Vina gagap. Hening. Reyhan seketika tampak rikuh. Wajar, membicarakan mantan istri bukanlah topik yang nyaman untuk dibahas. Istimewa membahasnya dengan mantan adik ipar. "Oh," guman Reyhan singkat. Kalimatnya itu menginsyaratkan kalau Reyhan tidak ingin membahas masalah Dina lagi. "Bang Rey sendiri ngapain di sini? Demi membunuh Kecanggungan, Vina mengajukan pertanyaan netral. "Oh, Abang mau menjemput ibu Abang yang sedang medical check up di rumah sakit ini." "Oh. Kalau begitu usahakan ibu dan ibu Abang jangan sampai kepethuk di sini ya, Bang? Apalagi Ibu juga sedang bersama Mbak Dina. Bisa heboh nanti satu rumah sakit." Vina meringis. Semenjak Dina Dan Reyhan bercerai, hubungan kedua keluarga memang memanas. Bu Siti, ibu Reyhan, sangat marah atas kelakuan Dina. Bu Siti bahkan pernah memaki-maki Dina di rumah orang tuanya. Bu Siti berteriak-teriak di depan rumah, dan memaki-maki kakaknya sebagai istri penzina*. Akibatnya tetangga-tetangga mereka heboh. Ibunya yang tentu saja membela kakaknya akhirnya terlibat adu mulut seru dengan Bu Siti. Sejak itu hubungan kedua keluarga mereka memanas hingga saat ini. "Bukan hanya heboh, Vin. Roboh pun bisa. Perseteruan entar emak-emak itu damagenya luar biasa," kelakar Reyhan canggung. "Kalau begitu sebaiknya kita menyelesaikan urusan kita masing-masing secepat mungkin ya, Bang? Vina ngeri membayangkan kalau ibu dan ibunya Abang benar-benar bertemu bertemu." "Iya. Abang akan segera menyusul ke tempat ibu." Reyhan menghentikan kalimatnya tiba-tiba. "Oh ya, Vin. Abang hanya mau bilang, walaupun sekarang Abang sudah bercerai dengan kakakmu, tapi Abang tetap menganggapmu seperti adik Abang sendiri. Abang sudah tahu tentang segala kesulitanmu. Dan Abang ikut prihatin karenanya." Kalimat yang diucapkan Reyhan membuat ujung hidung Vina memerah. Mantan abang iparnya ini sesungguhnya baik sekali. Kakaknya sangat bodoh melepaskan laki-laki sebaik Reyhan. "Jadi kalau kamu menemui kesulitan, kamu boleh menghubungi Abang. Abang akan membantumu semampu Abang. Abang jalan dulu ya, Vin?" Mata Vina berembun saat merasakan satu usapan sayang di ubun-ubunnya. Reyhan tetap memperlakukannya seperti dulu. "Iya, Bang." "Oh ya, Abang juga mau bilang. Sebaiknya usulkan pada ayahmu agar memasang payung di gerobaknya. Jadi saat panas ataupun hujan, ayahmu akan tetap terlindung." Berarti mantan abang iparnya ini, pernah melihat ayahnya berjualan. "Ini, Abang titip amplop ini untuk ayahmu ya?" Reyhan merogoh saku dalam jasnya, dan meraih sebuah amplop putih tipis. "Apa ini, Bang? Maaf, Vina tidak bisa menerimanya." Vina gugup saat Reyhan menjejalkan amplop putih itu ke tangannya. Apalagi ia melihat Rajata memperlihatkan air muka, seolah-olah ia jijik memandang interaksi mereka, dari balik punggung Reyhan. "Jangan menolak rezeki, Vin. Lagi pula amplop ini untuk ayahmu. Bukan untukmu. Katakan pada ayahmu untuk menulis angka berapa saja yang ia butuhkan. Abang jalan dulu ya, Vin?" Vina yang bingung, masih terpaku saat Reyhan berpamitan pada Rajata. Dari pembicaraan sekilas yang ia dengar, ternyata Reyhan dan Rajata hanya kebetulan saja bertemu di rumah sakit ini. Kalau Reyhan bertujuan untuk menjemput ibunya, maka Rajata singgah karena ingin menebus obat anti depresi adiknya. "Sudah, orangnya sudah pergi. Jadi actingmu sudah bisa dicut." Suara dingin Rajata membuat Vina tersadar dari keterkejutannya. Ia lupa kalau masih ada Rajata di sini. Banyak pikiran membuatnya terkadang suka ling lung. Benaknya bercabang-cabang memikirkan masalah yang tidak ada habis-habisnya. "Manis sekali ya hubunganmu dengan Reyhan?" Vina tidak menjawab. Sebagai gantinya ia berjalan ke arah counter apotik. Menanyakan pada petugas apotik apakah resep obatnya sudah selesai. Saat apoteker mengatakan sebentar lagi, ia melipir ke sudut yang lain. Pokoknya ia ingin berada sejauh mungkin dari Rajata. Namun sialnya Rajata tetap mengekorinya. "Setelah Reyhan bukan lagi kakak iparmu, apakah kamu berencana akan menerima cintanya?" Bicara apa sih atasannya ini? "Bapak jangan berasumai yang tidak-tidak. Bang Reyhan itu sudah menganggap saya itu seperti adik perempuannya sendiri." "Kalau ia memang menganggapmu hanya sebagai adik, ia tidak akan pernah menembakmu... dulu." Mendengar kalimat yang tidak pernah ia duga ini, Vina terkesiap. Dari mana Rajata tahu kalau Reyhan dulu pernah menembaknya? Sebenarnya ia memang mengenal Reyhan terlebih dahulu dari kakaknya. Hal itu terjadi saat kampusnya mengundang Reyhan sebagai pembicara dalam acara seminar sehari mengenai pengembangan Sumber Daya Manusia. Dan dirinya yang saat itu masih berstatus sebagai mahasiswi, adalah salah satu panitia dalam acara tersebut. Setelah acara seminar itu, mereka berdua menjadi lebih sering berinteraksi. Karena perusahaan Reyhan memang sering mensponsori acara-acara di kampusnya. Reyhan kemudian menembaknya setelah mendekatinya selama kurang lebih tiga bulan lamanya. Pada waktu itu ia langsung menolak Reyhan. Karena selain ia memang tidak mencintai Reyhan, ia juga tengah fokus kuliah. Berpacaran tidak termasuk dalam agendanya. Pada saat kuliah, ia memang hanya memikirkan soal kuliah. Tidak yang lain. Ia adalah orang yang berprinsip. Mereka bertemu lagi setahun kemudian. Pada waktu itu kakaknya membawa Reyhan untuk diperkenalkan sebagai pacar kepada kedua orang tuanya. Mereka berdua sempat sama-sama kaget dan canggung. Dan setelah Dina dan Reyhan pada akhirnya menikah, mereka berdua juga sama-sama berjanji untuk tidak mengingat hal yang dulu-dulu lagi. Anggap saja kejadian tembak menembak dulu, tidak ada. Dengan begitu kecanggungan mereka akan terurai. Reyhan mengatakan hal itu tepat seminggu setelah ia menikah. Dan sejak hari itu juga Reyhan telah menganggap dirinya sebagai adiknya. Titik. Seiring waktu hubungan mereka membaik, dan akrab sebagai kakak adik. Perasaan berbau asmara yang dulu pernah Reyhan rasakan padanya, perlahan berubah menjadi perasaan sayang seperti pada adik sendiri. Reyhan telah sungguh-sungguh jatuh cinta pada kakaknya. Alhamdullilah. Tidak ada satu orang pun yang tahu bahwa mereka telah bertemu sebelumnya. Apalagi pernah ada api asmara yang tidak sempat bersemi. Mereka berdua bersikap seolah-olah tidak saling kenal sebelumnya, demi kebaikan semuanya. Namun mengapa Rajata ini tahu? Siapa yang memberitahunya? Apakah Reyhan? "Saya--" "Jangan lagi katakan bahwa saya tidak mengerti maksud Bapak. Sungguh, saya muak sekali mendengar kalimat penyangkalan tak berarti dan sikap sok innocentmu itu." Jawabannya sudah lebih dulu direbut oleh Rajata. "Saya tahu bahwa kamu ini sesungguhnya adalah tukang bohong. Semua kalimat yang keluar dari mulutmu adalah isapan jempol belaka. Kamu pikir saya tidak tahu kalau selama ini kamu telah mengelabui saya?" Rajata mendekatkan wajah dan menatapnya dalam. Untuk pertama kalinya Vina menatap Rajata dalam jarak sedekat ini. Ia sungguh-sungguh merasa ngeri. Air muka Rajata muram dan penuh dendam. Dan yang paling menciutkan nyalinya adalah sinar mata Rajata. Kedua mata hitamnya ibarat sepasang mata kobra yang mengintainya ganas. Menungggunya lengah. Jika Suci dan rekan-rekan wanita lain menganggap bahwa Rajata itu tampan, dirinya justru menganggap Rajata seperti monster. Tatap matanya begitu dingin dan kejam. Seperti menjanjikan pembalasan yang telengas. Vina ngeri melihatnya. "Kamu terlalu naif jika mengira kalau saya menelan bulat-bulat semua penyangkalan tidak berdasarmu itu. Saya bukan orang bodoh. Saya hanya menunggu waktu yang tepat untuk membinasakanmu. Tunggu saja. Saya akan mengintaimu seperti bayanganmu sendiri." Fixed, Rajata ini psikopat gila! "Untuk kamu ketahui. Saat ini Alana tengah mengandung muda. Dan saya sangat bersuka cita karenanya. Di dunia ini tiada yang lebih saya inginkan selain kehadiran keponakan saya. Namun apabila kamu merusak kebahagian adik saya. Lebih-lebih sampai menghilangkan keponakan saya, saya pastikan kamu akan membayar semuanya. Saya akan membuatmu menggantikannya, dengan cara apapun. Apapun." Rajata mengeja kalimatnya lamat-lamat. Vina tidak menyahuti lagi kalimat penuh ancaman Rajata. Ia ngeri melihat seringai licik di wajah dinginnya. Tidak bisa begini! Rajata pasti tengah merencanakan sesuatu. Sebaiknya ia tidak usah bertahan di perusahaannya lagi. Lebih baik ia resign dan mencari pekerjaan yang lain, daripada ia dikuliti hidup-hidup oleh monster ini. Selain itu, ia takut kalau harus menggantikan naudzubillah min dzaalik, keponakannya yang hilang. Sementara Alana memang mempunyai kepribadian ganda. Jadi bukan tidak mungkin kalau Alana menyakiti dirinya sendiri. Namun imbasnya dirinyalah yang dituduh atas semua kelalaian Alana itu. Ya, sebaiknya ia resign baik-baik saja daripada ia menunggu-nunggu dipecat. Kalau ia resign, setidaknya yang masih memperoleh surat rekomendasi untuk mencari pekerjaan di perusahaan lain. Sementara kalau ia dipecat, namanya akan cacat. Jadi kemungkinannya untuk bekerja di perusahaan lain akan mustahil. Tepat ketika namanya dipanggil oleh petugas apotik, Vina bergegas menghampiri dan membayar. Dan saat akan melewati Rajata, lidahnya kelu sekedar untuk mengucapkan kata pamit. Ia terlalu ngeri melihat gestur tubuh Rajata. Atasannya itu berdiri bersedekap sambil tersenyum. Namun senyumnya terasa ganjil karena tidak sampai di matanya. Ia tersenyum dengan tatapan menjanjikan sesuatu. Vina menelan kembali kalimatnya yang sudah berada diujung lidahnya. Ia merasa, tidak ada gunanya berbasa-basi dengan orang seperti Rajata ini. Vina membalikkan tubuh dan berjalan meninggalkan Rajata begitu saja. Orang ini gila. Ternyata bukan Alana saja yang membutuhkan terapi, sepertinya Rajata juga. *** "Apa ini, Sayang?" Aria menimang-nimang surat pengunduran dirinya. "Surat pengunduran diri saya, Pak," tutur Vina hati-hati. Saat ini ia berada dalam ruangan Aria untuk menyerahkan surat pengunduran dirinya. Tadinya ia telah memberikan surat pengunduran diri two weeks noticenya kebagian HRD. Namun bagian HRD memintanya untuk memberikan surat resignnya langsung pada Aria. Walaupun merasa tidak lazim, namun ia menuruti saja usul kepala bagian HRD tersebut. Setelah semalaman berpikir, ia telah mengambil satu keputusan yang menurutnya baik untuk semua. Ia akan resign dari pekerjaannya. Dengan begitu ia akan jauh dari Aria dan juga Rajata. Mengenai rezeki, ia yakin kalau ia tekun dan giat berusaha, pasti Allah akan menunjukkan jalannya. Masalah hidupnya saat ini sudah sangat banyak. Dan ia tidak ingin menambahinya dengan berseteru dengan duo Bagaskara dan Aria di kantor. "Mengapa kamu tiba-tiba ingin resign? Apa karena saya?" Aria tiba-tiba saja berdiri dan menghampirinya. Kini mereka berdiri berhadap-hadapan, dengan wajah yang hanya berjarak sejengkal. Namun Vina tidak mundur sedikitpun. Ia tahu kalau Aria ini senang mengintimidasi. Semakin terlihat takut dirinya, maka semakin senanglah ego Aria. Makanya Vina tetap bertahan dengan sikap cuek dan masa bodohnya. Ia ingin menunjukkan kalau Aria tidak sepenting itu. "Saya ingin mencari kantor yang lebih dekat dengan kediaman saya. Selain itu saya ingin mencoba pengalaman baru di perusahaan lagi." "Bohongmu boleh juga, Sayang. Namun saya tidak akan mengizinkan kamu jauh-jauh dari saya. Saya tidak mengizinkan kamu resign. Titik," dengkus Aria kesal. Detik berikutnya Aria telah menyobek-nyobek surat pengunduran dirinya, dan membuangnya ke tempat sampah di bawah meja. "Nah, surat pengunduran dirinya sudah tidak ada. Jadi kamu akan tetap bekerja seperti biasa," seringai Aria seraya mengedipkan sebelah matanya. Menjijikan! "Saya sudah melaksanakan prosedur resign dengan benar. Memberikan surat pengunduran diri two weeks notice ke bagian HRD, dan juga kepada Bapak sebagai atasan saya langsung. Saya hanya akan bekerja di sini selama dua minggu lagi, untuk menunggu orang yang akan menggantikan tempat saya. Permisi," Vina mengganguk singkat dan membalikkan badan. Ia sudah melakukan semua prosedur dengan benar. Ia tidak mempedulikan apapun tingkah Aria yang berusaha membuatnya gusar. "Kamu tidak akan bisa keluar dari perusahaan ini. Percayalah, Sayang. Saat kamu pergi dari sini dua minggu nanti, saya pastikan kamu akan kembali lagi ke sini. Saya bersumpah!" Aria telah menyebut dirinya sendiri dengan sebutan saya. Itu artinya Arya sedang marah besar. Baguslah. Memang itu yang ia harapkan. Aria marah dan akhirnya ilfeel padanya. Dengan begitu masalah akan terurai dengan sendirinya. Ketika ia membuka pintu Putri, si penguping, langsung menarik kepalanya. Putri ini memang gemar sekali menguping dan berghibah. Semua hal bisa saja diolah menjadi topik pembicaraan yang hangat untuk berghibah. "Wah, lo udah berhasil memancing ikan besar ya, makanya Pak Aria mau lo tinggalin? Ya, tapi lo bener juga sih. Ya, mending Pak Rajata ke mana-manalah dibandingkan Pak Aria. Lajang, kaya pake banget dan gantengnya absolut. Sementara Pak Aria itu laki orang. Mantan karyawan lagi. Kedudukan naik karena mendompleng istri. Lo emang cerdas, Vin. Kapan-kapan lo kenalin gue dengan dukun pelet lo ya, Vin? Siapa tahu gue akhirnya bisa dapet ikan besar juga." Sindiran Putri sama sekali tidak ia gubris. Pikirannya saat ini tengah menerka-nerka ancaman Aria. Atasannya itu mengatakan bahwa ia pasti akan kembali lagi ke perusahaan ini. Vina resah. Sebenarnya atasannya ini tengah merancang rencana busuk apa?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD