Episode 8

2033 Words
"Lo beneran mau resign ya, Vin? Kenapa? Bukannya lo bilang kalo gaji di sini itu gede?" Suci membisikinya saat melihatnya tengah mengajari Ruby, penggantinya di perusahaan. Ruby sebenarnya adalah staff baru di divisi II. Rajata yang memilih langsung sebagai penggantinya. "Iya, Ci. Ntar deh pas makan siang di kantin gue ceritain semuanya," Vina balas berbisik. Suci mengangguk dengan air muka yang tidak puas. Wajar saja. Suci adalah teman terdekatnya di perusahaan. Pasti ia merasa heran, karena tidak ada angin, tidak ada hujan, ia tiba-tiba saja ingin resign. Istimewa Suci mendengarnya dari mulut Putri. Setelah Aria menyobek two weeks notice resignationnya, ia memang langsung menemui Rajata, setelah ia membuat surat resign yang baru. Namun jeda waktunya berbeda. Jika sebelumnya ia membuat two weeks notice regisnation, maka kali ini ia membuat one weeks notice resignation saja. Ia berpikir, semakin cepat ia keluar dari perusahaan ini maka semakin baik. Ia sudah muak terlibat dalam drama-drama murahan seperti ini. Seperti perkiraannya, Rajata menyambut baik one weeks resignationnya. Rajata langsung menyetujuinya saat itu juga. Ia bahkan segera menunjuk Ruby, anak baru di kantor sebagai penggantinya. Rajata mengatakan, tidak perlu waktu hingga seminggu lamanya untuk mengajari Ruby. Cukup tiga hari saja. Karena ia tahu bahwa Ruby adalah fresh graduate yang cerdas. Jadi Ruby akan lebih mudah menangkap poin-poin yang diajarkannya. Vina tidak mempermasalahkan hal itu. Bahkan kalau mau jujur, ia bahagia lahir batin. Semoga saja ia bisa segera terbebas dari laki-laki yang bernama Aria dan duo Bagaskara ini secepatnya. Apalagi ia baru saja menerima beberapa email dari perusahaan-perusahaan besar yang bersedia menerimanya bekerja. Semakin cepat dirinya meninggalkan tempat ini, malah semakin baik. Ting! Sebuah notifikasi berbunyi. Dengan tidak sabar Vina membukanya. Semoga ada kabar baik lagi. Ia membutuhkan perusahaan sebagus perusahaan ini dalam masalah gaji. Ia tidak menampik kalau ia mencari perusahaan yang bisa memberi gaji yang sesuai. Apalagi biaya hidupnya kini semakin berat, karena mendapat satu tanggungan lagi, yaitu kakaknya. "Ruby cek dulu satu persatu dokumen yang harus ditandatangani setiap hari. Jangan sampai ada yang terlewat." Vina memberikan instruksi terlebih dahulu kepada Ruby sebelum ia meraih ponselnya. Kamu sudah berani melawan perintah saya ya, Vin? Vina segera menutup aplikasi percakapannya. Ternyata yang menghubunginya adalah Aria. Sekarang, kamu sudah berani terang-terangan mengabaikan perintah saya. Baik, saya akan memperlihatkan kepadamu siapa saya yang sebenarnya. Kita lihat saja, sampai berapa lama kamu tahan bekerja di luar sana. Sampai pada akhirnya kamu akan kembali mengemis pekerjaan pada saya. Percayalah! Sebenarnya Vina ingin sekali mengnonaktifkan ponselnya. Tetapi rasanya tidak mungkin. Mengingat sekarang masih jam kerja. Yang bisa ia lakukan adalah terus menghitung waktu. Notifikasi ponselnya masih terus berbunyi tiada henti. Hingga akhirnya Ruby yang pasti merasa terganggu, menanyakan mengapa ia tidak memeriksa ponselnya. Pasti ada hal penting, makanya orang tersebut terus-menerus menghubunginya. Tiada pilihan lain. Vina pun mengubah ponselnya pada mode hening. Ia tahu Aria terus menggangunya via ponsel, karena Aria tidak berani memintanya datang ke ruangannya. Tentu saja hal itu dikarenakan ruangan Rajata berada tepat di sebelah ruangannya. Curut yang sok bertingkah seperti macan ini, sesungguhnya ciut jika berhadapan dengan Rajata. Makanya yang bisa Aria lakukan adalah terus menerornya melalui ponsel. Ketika jam makan siang akhirnya tiba, barulah Vina merasa sedikit lega. Setidaknya ia bisa membagi sedikit bebannya pada Suci di kantin nanti. Ya, dirinya telah memutuskan akan menceritakan kekisruhan hubungannya dengan Aria. Selama ini ia selalu menahan beban sendiri. Ia tidak pernah menceritakan semua masalah yang dihadapinya pada siapa pun. Bahkan kepada kedua orang tuanya. Ia takut membebani pikiran mereka berdua. Kalau dengan kakaknya, sedari kecil pun mereka tidak pernah dekat. Dina tidak pernah punya waktu untuk mendengarkan keluh kesahnya. "Semua hal-hal dasar sudah Mbak ajarkan padamu ya, Ruby. Mbak rasa kamu sudah mengerti hampir sembilan puluh persen teorinya. Nanti seiring waktu kamu akan mampu menguasai seluruhnya. Tinggal prakteknya saja." Vina merapikan dokumen-dokumen dan mematikan laptopnya. Rajata benar, Ruby ini memang sangat cerdas. Ia mampu menangkap semua hal yang diajarkannya tanpa harus mengulang-ulang. Fresh graduate memang beda. Keinginan mereka untuk belajar sangat tinggi. "Baik, Mbak. Terima kasih ya sudah mau mengajari saya. Eh tapi sebenarnya usia kita nggak beda jauh lho, Mbak. Kan kita tamat kuliahnya beda setahun saja. Hehehe." "Iya, Ruby. Tapi tetap saja tuaan, Mbak. Ayo kita makan siang dulu." "Iya, Mbak. Saya duluan ya?" Pamit Ruby sembari mencangklong tasnya. Vina mengangguk. Sepeninggal Ruby, ia meraih ponselnya. Mengecek apakah ada pesan penting terkait surat lamaran pekerjaannya lagi. Emailnya tetap sama. Hanya ada tambahan chat-chat yang bertumpuk dari Aria. Ia menghapusnya tanpa berniat membaca isinya. Tidak penting. Paling hanya ocehan-ocehan gila tidak bermutu Aria saja. Satu chat lagi yang masuk adalah dari Suci. Suci mengatakan kalau ia duluan ke kantin. Vina memasukkan ponsel ke saku, dan meraih kantongan berisi bekalnya. Ia bersiap ke kantin. Lebih seru makan sembari bertukar pikiran dengan sahabatnya itu. Lagi pula dia akan segera resign. Jadi ia ingin menikmati saat-saat makan siang di hari-hari terakhir bersama sahabatnya ini. *** Tiba di kantin, Suci melambaikan tangan. Sahabatnya itu ternyata telah memesan menu makanan berikut minumannya. "Ci, gue nggak enak kalo lo terus yang nraktir gue." Seraya menghempaskan b****g, Vina meletakkan bekalnya di meja. "Ck, nggak apa-apa, Vin. Mumpung lagi ada duitnya. Lagian gue cuma mesenin lo sepotong paha ayam rendang aja. Kagak bakalan jatuh miskinlah kalo nraktir lo begini doang." Suci memutar bola mata. "Tapi etep aja itu belinya pake duit, Ci. Apapun terima kasih banyak ya? Lo baik banget sama gue, sejak hari pertama gue kerja di sini." "Ah lo terima kasih-terima kasih melulu. Jadi kagak enak gue makannya. Udah, nggak usah dipermasalahin." Suci menghempaskan tangannya ke udara. Isyarat bahwa ia tidak ingin membahas masalah terima kasih-terima kasih itu lagi. Vina nyengir seraya membuka kotak bekalnya. Hari ini menunya adalah nasi goreng bakso. Menu sehari-harinya sekarang disesuaikan dengan bahan makanan yang tersisa di dapurnya. Kemarin seharian hujan deras. Sehingga dagangan bakso keliling ayahnya masih bersisa banyak. Dan ia memanfaatkan bakso-bakso sisa itu menjadi campuran nasi goreng. Mengiris-iris beberapa buah bakso dan mencampurnya dengan telur. Makanannya ini cukup sehat dan lumayan bergizi. Sementara Suci memesan sepiring nasi sayur dan dua potong ayam rendang. Satu untuk diri sendirinya, dan satu lagi dibagikan untuknya sebagai teman nasi gorengnya. Saat ini mereka berdua tengah makan dengan lahap. Banyaknya pekerjaan benar-benar menguras energi mereka berdua. Dalam waktu kurang lebih lima belas menit, mereka berdua telah berhasil melicintandaskan piring-piring mereka. Ditambah dengan menikmati segelas teh manis dingin, lengkaplah sudah kenikmatan hari ini. Perut kenyang, pikiran pun kembali segar. "Nah, menyambung pembicaraan gue tadi, gue pengen nanya. Apa bener lo mau resign, Vin?" Suci menopang dagu dengan tangan kanannya. Ia benar-benar penasaran dengan gosip buletin pagi yang ia dengar dari Putri tadi. Vina saja baru bekerja empat bulan, masa tiba-tiba ingin resign saja? Mana jabatan yang bagus lagi. "Bener, Ci." "Lah ngapa lo mau resign, Vin? Gaji lo kurang? Sabar dong, Vin. Kapan lo baru kerja empat bulan. Ntar kan lama-lama gaji lo bakalan naik lagi, Vin." Suci tidak menyangka kalau Vina ternyata benar-benar ingin resign. Ia mengira itu hanyalah isapan jempol belaka. Bahan ghibahan Putri biasanya 'kan tidak bisa benar-benar dipercaya. "Bukan masalah gaji, Ci. Tapi Pak Aria." Dengan hati-hati Vina bermaksud memberitahu tentang hubungannya dengan Pak Ari. "Lah, Pak Aria? Emang si bos kenapa? Pak Aria mecat lo?" Kerutan di kening Suci makin menjadi. "Bukan. Aduh gue bingung harus mulai nyeritainnya dari mana?" Vina resah. Ia takut dituding yang tidak-tidak oleh Suci. "Ya udah lo mulai dengan kalimat, pada suatu hari aja kayak anak SD disuruh mengarang bebas," cibir Suci kesal. Vina ngengir. Kalimat lucu Suci ini lumayan menghiburnya. Sehingga ia menjadi tidak begitu tegang lagi. "Gini, Ci. Sebenarnya gue pacaran dengan Pak Aria tiga bulan lalu. Tapi udah dua minggu lebih ini kamu putus!" Vina buru-buru menambahkan kalimat sudah putus, ketika melihat kedua bola mata suci terbelalak. "Lo gila ya, Vin? Lo berani pacaran sama laki orang. Bener-bener lo dah!" Suci menepuk kening dengan air muka tidak percaya. "Gue nggak tahu kalo Pak Aria udah punya istri sampai sekitar dua minggu lalu, Ci. Sumpah! Pak Aria itu ngakunya bujangan. Terus doi bilang kalo gue nggak boleh ngasih tahu siapa-siapa kalau kami pacaran, karena terkait etika. Doi nggak mau ntar dianggap menganakemaskan gue, karena hubungan spesial kami. Makanya gue mingkem. Sampai pas Bu Alana datang ke kantor, baru gue tahu segalanya. Gue langsung minta putus saat itu juga!" "Tindakan lo udah bener. Tapi lo nggak usah pakai acara resign juga kali. Udah putus ya udah. Enceng, tamat, the end. Anggap aja lo nggak beruntung dalam hal hal asmara. Jangan kayak anak-anak pake resign segala." "Nah ini masalahnya, Ci. Pak Aria kagak mau gue putusin! Doi ngancem gue macem-macem. Yang akan nyebarin photo-photo gue lah. Akan membuat susah keluarga gue lah. Dan tadi aja dia nge-WA gue, bakalan buat gue balik lagi ngemis kerja di sini. Bayangin, Ci. Gimana gue nggak pengen resign coba?" "Sinting!" Suci menggebrak meja. Ia tidak menyangka kalau atasannya yang sangat berwibawa dan ia kagumi, sebegitu maniaknya. Ternyata rambut boleh sama hitamnya, tapi kelakuan minus tiada yang tahu. "Bukan itu aja, Ci. Lo tahu nggak, kayaknya Pak Rajata mulai mencurigai hubungan kami. Makanya Pak Rajata juga berkali-kali memperingati gue. Terakhir, kemarin malem Pak Rajata ngancem gue pas kami bertemu di apotik. Katanya Bu Alana sedang hamil muda. Dan kalau terjadi apa-apa dengan calon keponakannya, dia akan membuat gue membayar semuanya. Gimana gue nggak serem, Ci? Yang hamil Bu Alana, tapi yang ditakut-takutin itu gue. Masuk akal kagak?" "Fixed. Pada sinting semuanya," Suci menepuk jidat. Ketidakpercayaan masih terbias di kedua bola matanya. Vina mengelus d**a lega. Syukurlah Suci tidak menghujatnya. Ketakutannya ternyata tidak beralasan. Suci ini sungguh seorang teman yang baik. Ia lebih mengutamakan logika daripada prasangka. Alhamdullilah. "Oke, taruhlah lo emang salah karena udah pacaran sama laki orang. Lupain aja alibi lo, soal lo nggak tahu Pak Aria udah nikah. Tapi kenapa Pak Arianya jadi kayak cerita di novel-novel? Kagak mau ngelepasin lo? Urat malunya udah putus kali ya?" Suci menggembungkan pipi. Menghembuskan napas dari mulutnya. Beginilah kebiasaan Suci kalau ia merasa bingung. "Nah itu... itu yang membuat gue pengen secepetnya resign, Ci. Gue ngeri ngadepin psikopat kayak gini." Vin merasa bebannya separuh terangkat dari punggungnya, saat mendapat pembelaan dari Suci. Ia sampai ingin menangis karenanya. "Itu juga Pak Rajata. Yang hamil adiknya, kenapa lo yang diperingatin? Kalo gue jadi Pak Raja, yang gue bejek-bejek duluan itu Pak Aria. Adik iparnya yang kegenitan, eh malah orang lain yang disalahin. Pada sakit itu orang." Suci mendengkus. "Lagian ya, perempuan cantik di dunia ini buanyiakkk. Nggak ada lo, ntar Pak Aria juga bakalan kolaborasi dengan perempuan lain kalo dasarnya emang ganjen. Repot amat sih Pak Rajata ngurusin adik iparnya? Yaelah, gue jadi ikutan pusing dah mikirin masalah lo, Vin." Suci memegangi kepala dengan dua tangannya. "Ya udahlah, Ci. Nggak usah dipikirin. Toh dua hari lagi gue bakalan resign. Gue juga udah dapet dua tawaran kerja dari dua perusahaan besar. Mudah-mudahan karir gue di sana bisa bagus ya, Ci?" Vina mencoba menghibur hati Suci dan hatinya sendiri. "Aamiin. Semoga apa yang lo cita-citakan terwujud semua ya, Vin. Gue ngerasa hidup udah pas kayak kisah stasiun ikan terbang. Kumenangisss.... membayangkan," Vina tergelak melihat gaya Suci saat memperagakan Rossa bernyanyi. Dengan botol saos sambal sebagai mikrofon, Suci menanyi dengan air muka yang disedih-sedihkan. Tingkah gokilnya bahkan mendapat perhatian dari beberapa orang yang mengisi perut di sana. Mereka nyengir melihat kegokilan Suci. Beginilah tingkah Suci yang selalu membuatnya terhibur. Kebaikan hatinya, kepekaannya, bahkan gaya ceplas ceplos beraksen betawi kentalnya, tidak pernah gagal mengundang tawa. "Bagus deh lo ketawa-ketawa duluan. Karena bentar lagi lo pasti bakalan nangis-nangis di dalem sana." Vina dan Suci serentak memutar leher. Putri masuk diiringi Ruby yang menatapnya serba salah. Vina menahan napas. Seperti masalah mulai menghampirinya lagi. Ada apa gerangankah si ratu ghibah ini mencarinya sampai ke sini. "Lo ngomong apa kumur-kumur, Esmeralda? Entah kenapa setiap gue ngeliat congor lo, berasa pengen gue tampol aja." Suci bermaksud berdiri dari kursinya. "Udah, Ci. Jangan ribut di kantin." Vina menahan Suci. Mencoba kembali mendudukkannya. "Lo kalo ngomong langsung aja pada titik permasalahannya. Jangan muter-muter ke sana sini. Bingung gue, Put." "Oh, lo mau gue ngomong langsung? Oke. Lo ditunggu di ruangannya Pak Aria. Ada Pak Rajata juga di sana. Lo mau disidang soal kasus switch project dengan PT Rumahkoe Kreasindo. Lo ngelamar kerja di sana kan?" Switch project? Astaghfirullahaladzim, fitnah apalagi ini?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD