Bab 2 - Kesepakatan Tak Terduga

1670 Words
Dengan wajah ceria, Gavin memasuki sebuah ruangan VIP sebuah restoran tempat dirinya dan Fiona dijadwalkan bertemu. Gavin masuk sendirian, sementara Naily menunggunya di dalam mobil. Entahlah, Gavin merasa lebih baik asistennya ikut seperti biasa meskipun pertemuannya kali ini adalah urusan pribadi. Gavin merasa lebih nyaman jika Naily ikut meskipun wanita itu sekadar menunggunya dalam mobil di parkiran. Gavin sengaja datang lima belas menit lebih awal, demi memberikan kesan yang baik sehingga Fiona tidak akan melihatnya sebagai Gavin yang dulu lagi. Pokoknya, Gavin yang Fiona temui kali ini adalah Gavin yang sempurna. "Tuan Gavin?" sapa seorang wanita berpenampilan rapi, yang merupakan staf di restoran tersebut. "Ya." "Mari saya antar ke ruangan. Nona Fiona sudah menunggu Anda." Tentu saja Gavin terkejut. Padahal ia sengaja datang lebih awal, rupanya Fiona lebih awal lagi. "Fiona datang sejak kapan?" tanya Gavin seraya mengikuti staf restoran itu. "Nona Fiona juga belum lama tiba, mungkin sekitar lima menit yang lalu. Mari Tuan." Mereka berjalan melewati lorong yang bernuansa putih keemasan, sampai kemudian staf tersebut berhenti tepat di depan sebuah pintu. "Ini ruangannya, Tuan." Sial. Kenapa Gavin jadi gugup begini? Apa mungkin karena dirinya perlu mengeluarkan jurus jitu agar Fiona terbuai dan tidak bisa membaca gerak-geriknya, karena faktanya Gavin tidak benar-benar menginginkan pernikahan ini. Gavin mau menikah demi bisnisnya lancar dan perusahaan sang papa tidak akan jatuh ke tangan pamannya yang dianggap lebih hebat darinya. Tentu Gavin tidak mau. Ia tidak rela. Pokoknya hanya dirinyalah yang berhak mewarisi semua itu. Demi semua itu, Gavin bahkan rela berhenti selingkuh dan memutuskan semua pacarnya. Untuk itu, ia harus berhasil meyakinkan Fiona kalau dirinya adalah pria terbaik untuk menjadi suami wanita itu. "Silakan, Tuan." Pintu pun terbuka, membuat Gavin spontan melangkah masuk. Ternyata memang benar, di dalam sana sudah duduk Fiona yang masih sangat cantik seperti dulu. Tunggu, bahkan menurut Gavin lebih cantik dan tentunya lebih dewasa dari terakhir kali ia melihatnya. Boleh dibilang, Fiona juga jauh lebih cantik dibandingkan para mantan dan selingkuhan Gavin dulu. Penampilan Fiona pun sangat elegan, tidak berlebihan tapi terkesan mewah dan mahal. Benar-benar mencerminkan seorang putri konglomerat yang bermartabat. "Selamat malam," sapa Gavin saat Fiona berdiri menyambutnya. "Selamat malam," balas Fiona seraya mengulurkan tangannya untuk bersalaman dengan Gavin. "Lama tidak bertemu," ucap Gavin. "Lama banget," jawab Fiona. "Mari duduk," sambungnya. Mereka pun sudah sama-sama duduk. Sedangkan makanan akan diantar sebentar lagi. “Apa kabar?” tanya Gavin. “Gimana kabar?” tanya Fiona. Ya, mereka menyebutkannya hampir bersamaan, membuat mereka tertawa ringan. Fiona lalu berkata, “Seperti yang kamu lihat, aku baik-baik aja. Kalau kamu?” “Aku pun begitu. Senang bertemu lagi denganmu, Fiona.” “Senang bertemu denganku atau senang karena kita dijodohkan?” Gavin tersenyum. “Sebenarnya dua-duanya.” “Apa itu artinya kamu setuju dengan perjodohan ini?” tanya Fiona lagi. “Tentu aku tidak punya alasan untuk menolak gadis secantik dirimu, Fiona.” Kali ini Fiona yang tersenyum. “Dasar. Apa kamu masih playboy? Ucapanmu barusan khas pria mata keranjang.” “Tidak. Aku mana mungkin jadi playboy saat diputuskan menikahimu.” “Jadi, sebelum ini kamu masih playboy?” “Astaga … bukan begitu, Fiona. Pokoknya aku sudah berubah. Aku bukan Gavin yang dulu lagi.” “Bagaimana ini? Sepertinya aku harus percaya.” “Kamu memang seharusnya percaya, karena aku jujur.” Gavin terus meyakinkan Fiona. “Baguslah. Dengan begitu kita bisa menikah.” “Kamu setuju dengan perjodohan ini?” Gavin agak terkejut mengingat dirinya belum mengeluarkan jurus apa pun untuk membuat Fiona terbuai. Namun, ternyata semudah itu Fiona mengiyakan perjodohan mereka. Padahal Gavin mulanya berpikir ia akan memohon sambil berlutut. Tenyata tak perlu berlebihan. “Apa aku harusnya menolak aja?” tanya Fiona, sengaja. “Tidak. Kamu memang seharusnya menerimaku.” “Oke, aku setuju, asalkan kamu bukan playboy lagi.” “Aku bersumpah, Gavin Romario Dinata di hadapanmu ini … bukanlah playboy.” “Mari menikah secepatnya,” balas Fiona. Bersamaan dengan itu, para pelayan membawakan hidangan yang sudah dipesan sekaligus saat mereservasi tempat ini. Setelah para pelayan itu pergi, baik Gavin maupun Fiona mulai menikmati makan malam penuh sejarah bagi mereka. Bagaimana tidak, tidak butuh waktu lebih dari sepuluh menit bahkan sebelum hidangan tersaji, mereka sudah sepakat akan menikah. *** "Setelah makan, seharusnya energi kita cukup untuk membahas sesuatu yang lebih serius," ucap Fiona saat mereka sudah sama-sama selesai makan. Gavin yang baru saja menenggak minumannya, langsung menjawab, "Apa ada hal yang lebih serius dari pembahasan kita sebelumnya?" "Tentu ada, yakni inti pembicaraan kita," jawab Fiona. "Atau mau coba dessert-nya dulu?" tawarnya kemudian. "Aku jadi penasaran inti dari pembahasan makan malam kita. Kira-kira apa, hal selain pernikahan yang perlu kita bicarakan?" "Kesepakatan pernikahan," jawab Fiona mantap. "Hmm iya juga. Itu memang penting. Tapi, apa yang perlu kita sepakati?" "Jangan sok suci, Gavin. Aku tahu kamu setuju untuk menikahiku agar Dinata Ekspres yang hampir bangkrut itu mendapatkan tempat di Starlight. Kamu pasti tahu marketplace Starlight sedang banyak digandrungi oleh berbagai kalangan di negeri ini, makanya kamu ingin memanfaatkan kesempatan itu untuk memajukan DE." Gavin terdiam. Sejujurnya ia terkejut. Apa sikapnya memang terlalu kentara? "Aku tidak paham maksud kamu." Gavin masih berpura-pura. "Gavin, kamu tidak berpikir kalau aku bersedia menikah denganmu karena serius ingin membina rumah tangga, kan?" "Memangnya apa lagi?" "Sial. Kamu masih sok suci. Padahal jelas banget kamu menginginkan pernikahan ini untuk sebuah bisnis. Ayolah, ngaku aja karena aku pun sama." Gavin terkekeh. "Kalau begitu mari ke inti pembahasan. Kamu mau kesepakatan yang bagaimana?" "Aku mau pernikahan kita hanya berlangsung satu tahun," kata Fiona. "Fiona, kamu pasti sering baca novel dan nonton film." "Aku serius," balas Fiona. "Aku punya pacar, tapi pacarku tidak bisa menikahiku untuk sekarang. Sedangkan orangtuaku mendesak agar aku menikah secepatnya. Bukankah aku tidak punya pilihan selain menyetujui perjodohan ini?" "Setelah perceraian pacarku dengan istrinya beres seratus persen, kita pun akan bercerai juga karena aku harus menikah dengan pacarku," tambah Fiona. "Oh, jadi kamu berpacaran dengan pria beristri?" Gavin mulai mengerti arah pembicaraan Fiona. "Bukan urusanmu." "Jelas urusanku. Bukankah aku ini calon suamimu?" "Gavin, jangan bilang kamu benar-benar menyukaiku." Gavin hanya terkekeh. Dalam hatinya merasa konyol. Ia sudah salah mengira. Bisa-bisanya ia berpikir Fiona ingin membina rumah tangga serius dengannya. Padahal nyatanya mereka sama saja, menjadikan pernikahan dengan tujuan lain. Gavin karena bisnis dan Fiona karena kepepet. Andai Fiona tahu Gavin sudah bela-belain memutuskan seluruh pacar dan selingkuhannya demi perjodohan ini, pasti akan sangat memalukan. "Wah, kamu juga berharap cinta lama kita bersemi kembali? Tolong jangan mimpi, Gavin," kata Fiona lagi. Kali ini Gavin tertawa. "Apakah aktingku bagus?" "Sial. Kamu membuatku takut. Aku takut kamu menginginkan pernikahan yang serius." "Mana mungkin?" kekeh Gavin lagi. "Ya, apa yang kamu pikirkan memang benar bahwa aku butuh Starlight agar menjadikan DE sebagai ekspedisi pengiriman utama." "Nah gitu dong. Mari buka-bukaan dan jangan ada yang ditutupi. Walau bagaimanapun kita akan menikah, jadi jangan ragu untuk terang-terangan," kata Fiona. "Baiklah, jadi singkatnya ... aku menikahimu karena butuh Starlight, sedangkan kamu bersedia menikah denganku karena desakan orangtua. Aku menikah agar DE tidak bangkrut, dan kamu menikah denganku sambil menunggu pacarmu bercerai dengan istrinya. Begitu, kan?" Gavin sengaja memperjelas tujuan mereka. Fiona tersenyum. "Betul. Kamu memang pintar." "Apa pacarmu setuju?" "Sangat. Justru dia yang memberi ide." "Baiklah." Gavin mengangguk-angguk. "Aku sudah menyediakan kontraknya, kok." Gavin mengernyit. "Pakai kontrak segala?" "Perlu dong. Itu untuk menjaga batasan antara kita. Selain itu, kontrak tersebut juga bisa menjadi perjanjian tertulis supaya di antara kita nggak ada yang berani macam-macam. Kita harus mematuhi peraturan yang ada sampai masa berlakunya selesai." "Aku mengerti," balas Gavin. "Tapi, apa kamu punya pacar?" Pacar? Gavin tidak mungkin jujur sudah resmi menjomlo sejak kemarin. Ia tidak mau harga dirinya jatuh jika Fiona sampai tahu apalagi mentertawakannya. Gavin tidak mau dianggap bodoh yang mengira Fiona bersedia menikah karena menerima dengan baik keinginan orangtuanya. "Ah, pasti pacarmu banyak ya? Kamu, kan, memang terkenal playboy. Dan sekarang pasti masih," kata Fiona lagi. "Sayang sekali, kamu harus memutuskan mereka dan sisakan satu wanita aja. Itu masuk dalam peraturan." Gavin terdiam, menunggu Fiona melanjutkan kalimatnya. "Maksudku begini. Aku tidak ingin jadi bahan pembicaraan orang bahwa aku menikah dengan pria tukang selingkuh. Aku mau image-mu berubah menjadi pria setia yang sangat menyayangi istrinya. Untuk itu, lebih bagus kalau kamu jomlo aja. Tapi kalau mau punya pacar silakan, aku pun tidak melarang dengan catatan satu wanita aja. Cuma masalahnya adalah ... apakah pacarmu itu bisa menjaga rahasia? Aku tidak mau ada yang tahu tentang pernikahan kita, karena tidak ada yang menjamin kalau pacarmu bisa menjaga rahasia." "Itu sebabnya kalau kamu ingin berpacaran, tolong cari wanita yang paling bisa dipercaya, yang mustahil membocorkan pernikahan kontrak kita," sambung Fiona. Gavin masih terdiam. "Seperti yang aku bilang, kalau misalnya kamu jomlo itu malah lebih baik. Tapi ingat, jangan pernah mengharapkan CLBK antara kita. Jangan pula berharap aku bisa mendadak jatuh cinta sama kamu. Itu absurd." Gavin merasa diinjak-injak harga dirinya secara tidak langsung. Jatuh cinta pada Fiona? Itu mustahil. "Tenang Fiona, aku punya pacar. Satu." Sekali lagi, Gavin tidak mungkin jujur kalau sedang menjomlo. "Oh ya? Apa pacarmu bisa dipercaya? Dia tidak mungkin membocorkan ini, bukan?" "Sangat tidak mungkin," jawab Gavin tegas. "Wah, bagus sekali. Tapi apa kamu tidak bohong? Entah kenapa aku ragu kalau kamu benar-benar hanya punya satu." "Aku serius," jawab Gavin. "Dia asistenku sendiri, mana mungkin tidak bisa dipercaya? Dia juga mustahil membocorkan ini." Ya, Gavin tidak punya pilihan selain berpura-pura memiliki pacar. Dan satu-satunya wanita yang bisa dipercaya adalah Naily. Dari banyaknya mantan pacar ataupun selingkuhan Gavin … tak ada satu pun yang ia percaya. "Kamu pacaran sama asisten kamu?" Fiona tampak terkejut. "Kenapa? Ada masalah?" Gavin terpaksa berbohong. Ia tidak mau harga dirinya jatuh lalu diinjak-injak oleh Fiona. Lebih baik ia pura-pura begini. Lagian Naily tak mungkin membocorkan rahasia, meski Gavin yakin wanita itu pasti sangat keberatan jika mengetahuinya. "Percintaan panas antara asisten dan bos bukanlah hal aneh. Jadi, baiklah. Mari sepakati pernikahan kontrak kita dengan menandatangani ini.” Fiona kemudian mengeluarkan sesuatu di dalam map. Ada dua yang harus mereka tanda-tangani bersama-sama. Akhirnya, Gavin dan Fiona benar-benar sepakat menjalani pernikahan sandiwara selama satu tahun ke depan.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD