13. Cucu Menantu Keluarga Hadinata

1694 Words
Hari pertama Jani resmi tinggal di rumah Ares, Eyang Uti benar-benar mentreat Jani seperti seorang putri. Jani benar-benar tidak diizinkan melakukan pekerjaan rumah tangga apapun meski itu hanya sebatas mengambil air sendiri ke dapur.   Di rumah Eyang Uti, ada tiga orang asisten rumah tangga yang dipekerjakan. Seorang ART laki-laki yang bertugas untuk membersihkan kolam, halaman dan mengurus kebun. Satu orang ART perempuan yang khusus datang untuk membersihkan rumah dan pulang setelah semua pekerjaan selesai. Lalu satu lagi ART yang menginap, khsusus untuk mengurus urusan dapur dan pakaian. Meski Ares sendiri hanya berani mempercayakan ARTnya untuk mengurus pakaian rumahannya saja, sih, karena semua pakaiannya untuk keluar rumah lebih Ares percayakan ke jasa laundry.   Namun, ketika Jani resmi tinggal bersama mereka, Mbak Imah yang biasanya bekerja pulang-pergi kini dipekerjakan menetap seperti Bi Rominah. Katanya, agar keduanya bisa bergantian dan selalu siap jika dibutuhkan oleh Jani.   Ares benar-benar cemburu mendengarnya. Pasalnya, Eyang Uti benar-benar seperti memberikan Jani perlakuan istimewa. Bahkan Pak Toto, supir mereka yang juga biasanya hanya dipanggil jika Eyang Uti ada urusan keluar saja kini juga dipekerjakan menetap seperti Bi Rominah. Katanya, agar selalu standby jika Jani minta diantar. Padahal Jani sudah menjelaskan kalau dirinya bisa menyetir sendiri atau naik kendaraan umum jika terdesak.   Tidak hanya sampai di situ saja. Malam ini pun bukti bahwa Eyang Uti sangat mengistimewakan kedatangan Jani sangat jelas. Dilihat bagaimana meja makan mereka kini berisikan makanan yang jelas terlalu banyak untuk disantap tiga orang saja malam itu. Dan lagi, menu makanan-makanan itu bukanlah makanan yang familiar bagi Ares.   “Ih, makanan apaan nih?” Ares menyendok makanan di atas mangkuk yang berwarna kecoklatan. “Ini apa sih, Eyangti?” tanya Ares sambil menusuk-nusuk makanan bertekstur lembek itu dengan sendok.   Eyang Uti memukul lengan Ares agar menjauh dari makanan tersebut. “Ndak sopan kamu tuh, Res!” Eyang Uti setengah memelototi cucu kesayangannya tersebut. “Itu tuh gudeg nangka, masa kamu gitu aja ndak tahu,” jawabnya sambil membenarkan letak sendok yang dipakai Ares tadi.   “Ew, yang manis itu kan?” Ares memasang tampang tidak suka. “Kok tumben sih Bi Rominah masak yang nggak Ares suka?”   “Yeee Mas Ares ge-er, siapa juga yang masak itu buat Mas Ares?” Bi Rominah yang memang berada di ruangan tersebut karena sedang meletakkan hidangan makan malam terakhir keluarga itu ke meja menyahut. “Orang Bibi masakin itu buat Non Jani, kok.”   Bi Rominah bekerja di rumah Eyang Uti sejak remaja hingga kini ia sudah menginjak usia kepala lima dan tentunya masih akan setia sampai nanti tiba masa pensiunnya. Jadi tentu saja, Ares yang juga sejak kecil tinggal di sana sudah sangat dekat dengannya sehingga cara Bi Rominah menyahuti ucapan Ares tadi bukan sesuatu yang dianggap kurang ajar. Mereka bahkan sudah seperti keluarga meski tidak sedarah.   Mendengar itu, Jani memberikan tatapan tidak enak karena sudah merasa merepotkan. “Maaf Bi, saya jadi ngerepotin…”   “Woalah ndak lah Non ndak ada itu ngerepotin, Eyangti sendiri yang minta saya masakin masakan kesukaan Non!” Bi Rominah menjelaskan dengan bersemangat. “Si Mas Ares aja tuh yang lebay, sok-sok ndak suka gudeg padahal orang Jawa!”   “Emangnya sejak kapan ada undang-undangnya orang Jawa harus suka gudeg?” tanya Ares galak. Tetapi Bi Rominah sepertinya tidak terpengaruh dengan nada galak lelaki itu karena mungkin sudah terbiasa.   Ares sendiri kini sibuk memindai makanan-makanan lain yang tersaji di meja. Dan benar saja, menu makan malam mereka malam itu benar-benar bukan sesuai selera Ares. Selain gudeg, banyak menu-manu lain yang Ares tidak tahu apa namanya tetapi sudah bisa Ares pastikan tidak menyukainya. Karena hampir semuanya mengandung sayuran dan berbumbu pedas!   “Eyangti senang banget pas tahu kalau Jani suka sekali sayuran dan pedas.” Eyang Uti berkata dengan antusias, perempuan yang rambutnya sudah memutih semua itu menyendok piring berisi potongan terong yang dimasak dengan bumbu balado banyak-banyak dan menyendokkannya ke piring Jani. “Mas Aresmu ini ndak suka sayur dan makanan pedas, jadi Eyangti juga ikut jarang makan pedas karena dimasakin pun percuma ndak bakal kemakan malah mubazir. Tapi sekarang Eyangti jadi punya alasan untuk bisa makan sayur dan pedas lagi karena kamu, Jani.”   Wah apa-apaan ini. Ares menatap takjub Eyang Uti dan Jani secara bergantian. Baru satu hari saja sepertinya kasih sayang Eyang Uti sudah seluruhnya menjadi milik Jani, bagaimana kalau pernikahan mereka berusia satu tahun? Bisa-bisa nama Ares dan Jani ditukar dari kartu keluarga mereka.   Tapi faktanya Jani memang sebentar lagi akan bergabung dengan kartu keluarga mereka, sebagai istri dari Ares.   Ares tidak menyangka kalau kartu keluarga mereka akan benar-benar ditambah anggota baru yang mana adalah seorang perempuan asing yang bahkan tidak pernah Ares bayangkan akan menjadi istrinya. Mengetahui wajahnya saja bahkan hanya dua bulan sebelum pernikahan, lelucon macam apa itu.   Makan malam berlanjut dengan Ares yang hanya makan nasi dengan ayam goreng dan kerupuk karena Ares tidak bisa memakan lauk lainnya. Kepayahan Ares dalam mentolerir rasa pedas adalah di level tidak sanggup makan saus sambal MCD. Artinya, payah sepayahnya orang payah. Jadi makanan berbahan utama cabai sedikit apapun tidak akan sanggup menyentuh lidahnya.   “Memangnya Mas Ares sukanya makan apa, Eyangti?”   Ares yang sedang mencubiti daging ayamnya dengan ekspresi suram langsung memutar pandangannya ke arah Jani yang duduk di sebrangnya. Anehnya perempuan itu tidak bertanya pada Ares langsung melainkan pada Eyang Uti. Ares mengangkat sebelah alisnya, ingin tahu permainan apa yang sedang dimainkan oleh Jani.   “Ares picky sekali Jani, Bi Rominah saja pusing kalau mengikuti masakan yang dimauinya.” Eyang Uti benar-benar membeberkan tentang Ares dengan lancar seolah yang dibicarakan tidak ada di sana bersama mereka saat itu. “Kadang Eyangti biarkan dia delivery saja kalau sudah terlalu rewel dan mintanya aneh-aneh.”   “Halo Eyangtiii, kalau-kalau Eyangti lupa Ares cucu kesayanganmu masih ada di meja ini juga, lho?”   “Oh kirain Eyangti kamu sudah berubah jadi mangkuk kobokan, habis diam saja ndak ada suaranya.”   “Mana ada kobokan ganteng?”   Arjani mengulum bibirnya, tidak tahan untuk tidak tersenyum. Interaksi Ares dan Eyang Uti begitu menggemaskan. Bagaimana bisa dua manusia yang terpaut age gap dan terlahir di dua generasi yang jelas sangat jauh berbeda itu bisa memiliki interaksi begitu manis dan pas. Dan bagaimana Ares bersikap sangat manja tetapi juga tetap menghormati neneknya itu sangat terlihat jelas. Bahkan hanya dengan cara Ares menatap Eyang Utinya, seluruh dunia seolah tahu bahwa lelaki itu mencintai neneknya itu melebihi apapun.   Makan malam itu berjalan hangat tidak seperti yang Jani duga. Jani tidak tahu apakah malam-malam selanjutnya akan tetap sehangat ini atau tidak, yang pasti, Jani merasa bahwa kehadirannya bukanlah sesuatu yang merusak apa yang Ares dan Eyangti miliki di antara mereka.   ***   Selesai memakai skin care malamnya yang tidak banyak, Jani melepas bandana yang menarik poni panjangnya ke belakang. Jani lalu mematikan bulbs pada vanity mirrornya sebelum kemudian berjalan menuju tempat tidur berukuran queen sizenya ketika sebuah ketukan terdengar dari arah pintu balkonnya.   Jani sedikit terlonjak kaget, sebelum kemudian menyadari bahwa pemilik bayangan tinggi yang mengetuk pintu balkonnya adalah Ares. Suaminya.   “Ada ap—”   Ares membekap mulut Jani, mendekatkan telunjuknya ke bibir memberi isyarat Jani untuk tidak bersuara. Tanpa berkata apa-apa, Ares justru menarik Jani masih dengan posisi tangan yang membekap mulutnya. “Lompat ke balkon aku, bisa nggak?” bisik Ares ketika mereka sudah sampai di ujung dari balkon kamar Jani yang bersebelahan dengan balkon kamar Ares. Hanya saja balkon itu terpisah jarak selebar kurang lebih empat puluh senti.   Jani menggelengkan kepala. Soal bisa atau tidaknya, jujur Jani tidak tahu, yang pasti dia tidak berani. Kalau jatuh nanti bagaimana?   Ares berdecak. “Duh, dasar Puteri Solo!” Lelaki itu bisa-bisanya mengejek Jani sambil berbisik di keadaan mendesak seperti ini. Dilepasnya bekapan dari mulut Jani dengan ancaman yang tentu saja melarang perempuan itu bersuara. “Aku lompat duluan, nanti aku pegangin dari sana. Kamu injek pinggiran tembok itu, bisa?” Ares menunjuk pinggiran tembok antar balkon mereka yang mungkin lebarnya hanya seukuran telapak kaki.   Tidak menunggu jawaban Jani, Ares sudah lebih dulu memanjat pagar balkonnya dan melompat dengan mudah ke balkon kamarnya. Lelaki itu mengulurkan tangan ke arah Jani dan menunjuk ke sisi tembok yang yang harus Jani pijak. “Cepetan!”   Jani tahu bukan waktunya untuk bertanya alasan apa yang membuat Ares dan Jani harus melakukan adegan action berisiko ini di malam hari. Namun dugaan Jani, ini pasti ada hubungannya dengan Eyang Uti dan fakta kalau Ares dan Jani tidur di kamar yang terpisah malam ini.   Jani menarik napas sebelum kemudian mengambil seluruh keberaniannya untuk menyusul Ares sesuai intruksi lelaki itu. Jani tidak ingin melihat ekspresi Eyang Uti yang kecewa karenanya setelah kebaikan dan kehangatan beliau yang sudah menerima Jani menjadi bagian dari keluarga, maka Jani mengenyahkan segela ketakutannya untuk mengikuti Ares ke balkon kamarnya.   Jani berhasil melewati tembok kecil itu tanpa halangan, sayangnya baju tidurnya yang berbentuk gaun selutut tersangkut pagar balkon membuat perempuan itu hampir saja menjerit saat pakaian dalamnya tersingkap di depan mata Ares. Dan karena gerak refleks untuk menutupinya, Jani hampir saja jatuh terjerembap ke lantai kalau saja Ares tidak dengan cepat menangkap tubuh rampingnya.   Dan hal itu merupakan suatu kesalahan karena membuat hidung Ares tidak sengaja menghirup kembali aroma sialan itu lagi.   “b******k!” Ares mengumpat ketika Jani sudah menegakkan tubuhnya kembali, melepaskan diri dari pelukan Ares.   “Apa?”   Ares tidak menyahuti pertanyaan Jani dan memilih menarik perempuan itu masuk ke kamarnya. Membuat Jani berdiri menatap Ares yang kini berjalan ke arah tempat tidurnya.   “Ada apa?” tanya Jani ketika Ares sudah dudul di tepi tempat tidurnya. “Apa Eyang Uti naik untuk memastikan malam ini kita tidur sekamar?” tanya Jani lagi karena Ares tidak kunjung menjawab pertanyaannya.   Ekspresi Ares serius, kedua tangan itu disatukan di bawah dagu seperti seorang pemimpin perang yang sedang menyusun strategi. “Lebih buruk dari itu!”   Jantung Jani berdegup lebih cepat. Apa yang lebih buruk dari Eyang Uti yang mengetahui bahwa mereka tidur terpisah?   Jangan-jangan…   “Ap—”   “Menurut kamu besok aku bagusan pakai Moonlight Teddy Jacket dari Saint Laurent atau sweater hitam Paul Smith, ya, Jani?” Pertanyaan Ares yang dilontarkan secara lancar tanpa dosa itu diiringi dengan gerakan tangan Ares yang menunjuk ke pintu lemari baju yang kini digantungkan dua buah baju yang bersebelahan. Baju yang tadi disebutkan Ares dalam pertanyaannya. “Jani, jawab dong! Aku udah bawa kamu susah-susah sampai lompatin balkon supaya kamu bisa bantu aku milih!”   Jani membuang napasnya yang entah sejak kapan tertahan dengan perlahan. Seolah dalam kandungan karbondioksida yang keluar dari mulutnya tersebut ikut serta kumpulan emosinya yang entah sejak kapan terkumpul.   Jani adalah sosok yang selalu tenang, jarang sekali emosional dan bahkan terkesan selalu datar. Namun sebulan belakangan mengenal Ares benar-benar mampu menaik turunkan emosi Jani yang selama ini selalu ia simpan rapi. Lelaki itu sudah berhasil membuatnya kesal dan marah, lalu menangis.   Dan kini, Jani tidak berbohong jika dia sangat ingin menjambak rambut hitam Ares hingga mencapai ke akarnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD