Jani dan Ares masih akan menghabiskan satu malam lagi di hotel. Sementara kedua keluarga mereka check out hari ini.
Pagi-pagi, Jani dan Ares memutuskan tidak bergabung dengan keluarganya untuk sarapan bersama di longue hotel untuk menghindari pertanyaan-pertanyaan soal malam pertama.
Ares terlalu lelah untuk berakting sedangkan Jani memang bukan seorang pembohong yang baik. Tidak mungkin kan mereka menjawab jujur kepada keluarga mereka kalau semalam mereka bahkan tidur terpisah.
Jani bangun lebih dulu dari Ares. Perempuan itu pun sudah mandi dan berganti baju karena pasti akan menemui keluarganya sebelum mereka check out nanti. Perempuan itu pun memesan layanan kamar untuk sarapannya dan Ares. Sungkan untuk bertanya apa yang diinginkan ‘suaminya’ untuk sarapan, Jani memutuskan memesan beberapa menu sarapan sekaligus. Just in case, Ares ingin bertingkah menyebalkan dan menyalahkan Jani atas pilihan menunya, jadi Jani mencari aman.
Pukul sepuluh, pintu kamar Ares baru terbuka. Lelaki itu hanya mengenakan sweatpants abu-abu yang menggantung terlalu rendah memamerkan v-linenya yang tercetak indah di bawah absnya. Meski tubuh Ares tidak terlalu bulky, tetapi lelaki itu punya bentuk abs sempurna di perutnya yang menunjukkan bahwa lelaki itu tetap menjaga baik tubuhnya.
Dan itu… seksi.
Jani yang sadar sudah menatap tubuh Ares terlalu lama langsung mengalihkan pandangan. Pipinya memanas. Buru-buru ia menelan ludah untuk membasahi kerongkongannya yang tiba-tiba terasa kering. “Selamat pagi,” sapanya.
Ares yang sepertinya baru mencoba mengumpulkan kesadaran menguap sambil menggaruk-garuk rambutnya yang mencuat ke atas seperti sarang burung. “Eyangti tadi ke sini?” tanya Ares mengabaikan sapaan Jani sambil menuang air ke gelas sebelum menandaskannya hingga tidak tersisa.
Jani menggeleng. “Belum, tapi tadi ngechat nanya kita mau sarapan ke bawah atau nggak. Saya bilang tidak karena kamu masih tidur.”
“Bagus. Jangan biarin Eyangti atau orang tua lo tahu kalau kita semalam nggak tidur sekamar.”
“Kan kamu yang tidak mau sekamar sama saya.”
“Ya justru karena itu!” Ares kini sudah sepenuhnya mendapati kesadarannya. “Bisa dicincang gue kalau tahu kita tidur kepisah, apalagi karena gue yang mau.”
Jani tidak menyahut. Malas meladeni. “Saya sudah pesankan sarapan, tapi sepertinya sudah dingin. Kamu mau makan yang mana biar saya hangatkan.”
Ares mengerutkan kening sejenak sebelum kemudian bersiul dengan ekspresi menyebalkan. “Wow apa ini? Lo lagi main peran jadi ‘istri’ yang baik, ya?”
“Saya nggak lagi main peran.” Jani menjawab dengan datar seperti biasa. “Saya memang istri kamu.”
Ares bertepuk tangan heboh seolah Jani baru saja mengucapkan sebuah pidato memukau. “Selamat ya sudah berhasil jadi istrinya Ares,” ucapnya dengan nada sarkas yang tidak ditutupi sama sekali. “Lo patut dapet penghargaan.”
“Kamu mau sarapan atau tidak?” Jani masih enggan meladeni Ares. “Kalau tidak, saya mau siap-siap karena sebentar lagi keluarga kita akan check out dan kita harus ke bawah.”
Ares mendengus. Lagi-lagi gagal mengusik Jani, yang ada justru Ares yang kesal sendiri. Ini Jani yang tangguh atau memang Ares yang payah?
“Siap-siap aja sana. Gue bisa urus diri gue sendiri.” Akhirnya hanya itu yang Ares katakan. Moodnya sejak semalam sudah kacau dan semakin akan kacau jika berlama-lama berinteraksi dengan ‘istri’nya tersebut.
Jani tidak menyahut dan memilih meninggalkan meja makan menuju ke kamarnya untuk siap-siap. Sebetulnya Jani sudah hampir siap sejak tadi, hanya tinggal perlu merapikan rambut dan memulas make up tipis. Alasan utama kenapa Jani ingin cepat-cepat kembali ke kamarnya adalah karena Jani tidak ingin berlama-lama berhadapan dengan Ares yang bertelanjang d**a. Bahaya.
Meski sangat menyebalkan, pesona Ares sebagai laki-laki sangat kuat. Tidak heran jika lelaki itu menjadi selebriti papan atas yang digandrungi banyak sekali kaum hawa. Bahkan Jani yang sudah melihat sisi menyebalkan Ares saja tetap terbuai oleh pesonanya.
He got charm and a man with charm is a very dangerous thing.
***
Ares sudah mandi dan berpakaian. Kali ini lelaki itu tampak santai dengan kaos polo hitam dan celana chino warna khaki selutut. Rambut lelaki itu masih setengah basah ketika ia menyugarnya dengan jemari.
“Anjani—”
“Just call me Jani, jadi kamu nggak perlu salah sebut nama terus.” Jani sedang berdiri di depan cemin wastafel sambil memasang anting di telinganya ketika Ares masuk begitu saja ke kamar mandinya tanpa permisi.
Selain menyebalkan Ares juga kurang ajar dan tidak sopan.
Ares hanya mendengus cuek. “Iya terserah. Di kamar mandi gue nggak ada hair dryer, gue pinjem punya lo.” Tanpa menunggu persetujuan, Ares lebih dulu berjalan ke arah hair dryer yang tergantung di dinding marble kamar mandi Jani. Lelaki itu lalu menggunakannya sambil berkaca sehingga kini mereka berdua sedang berdiri bersebalahan dan berbagi cermin yang sama.
“Lo yakin mau pakai baju itu?” tanya Ares sambil menatap Jani lewat pantulan cermin.
Jani menunduk menatap pakaian yang digunakannya. Ia hanya mengenakan floral dress lengan pendek selutut dengan detail kerah square neck.
Kerah berbentuk persegi itu menonjolkan tulang leher Jani yang kuat dan melebarkan area d**a dan bahu agar tubuh mungilnya terkesan sedikit melebar. Dan rambutnya yang terikat ke belakang membuat lehernya semakin terekspos.
Jani tentu merasa tidak ada yang salah dengan pakaian yang ia gunakan. Masih sopan dan layak dipakai untuk bertemu keluarganya. “Kenapa?” tanyanya bingung.
Ares mematikan hair dryer menciptakan suasana hening dalam seketika. “Lo sengaja ya mau bikin malu gue dengan mempertegas kalau semalam kita nggak ngapa-ngapain?”
Jani berkedip, tidak mengerti. “Memangnya orang tahu darimana kita melakukannya atau tidak?”
“There’s nothing on your neck, baby, itu nggak wajar.” Ares menunjuk kulit leher Jani yang putih bersih tanpa noda. “Minimal harus ada satu atau dua tanda untuk meyakinkan dan bikin mereka nggak perlu nanya-nanya.”
Jani refleks menyentuh lehernya. Tanda? Tanda apa…
“Kiss mark,” Ares menjawab cepat seolah mengerti kebingungan Jani. “Meski sejujurnya kiss mark di leher itu udah old-fashioned banget buat gue, karena nggak menantang dan bikin ribet untuk ditutupin. Tapi kalau boleh milih sih gue sendiri lebih prefer buat ninggalin jejak di paha bagian dalam atau pinggul lo, pasti lebih cantik.”
Here we go again. Sepertinya sesudah sarapan dan mandi, mood Ares sudah kembali normal. Buktinya sekarang lelaki itu kembali mengganggu Jani dengan godaan mesumnya.
Jani tidak merespon. Karena jujur, ia sendiri tidak tahu apa yang Ares sebenarnya inginkan dari pembicaraan ini. Hanya ingin membuatnya kesal atau memang benar-benar menyarankan, entahlah.
“Kalau lo nggak mau gue kasih kiss mark, mending lo ganti baju yang lebih tertutup. Minimal nutupin leher.” Ares menganggap diamnya Jani sebagai penolakan. Lagipula, Ares tidak serius ingin memberikan Jani tanda. Tentu saja Ares hanya ingin mengganggu Jani saja.
Ares 1: Jani 0
Tapi yang Jani lakukan selanjutnya justru membuat Ares terkejut. Bukannya memilih berganti pakaian, Jani justru memutar tubuhnya menghadap Ares dan menjenjangkan leher ke arah lelaki itu. “Di sini, bisa?” Jani menunjuk satu titik di atas tulang selangkanya.
Shit. Ares berkedip menatap perempuan itu. Terkejut dan bingung.
Ares 1: Jani 1
Lagi-lagi reaksi Jani mengejutkan Ares karena tidak sesuai prediksi dan ekspetasinya. Hal itu membuat Ares semakin yakin kalau sejak semalam Jani memang bersikap demikian karena disengaja. Jani tahu kalau Ares sedang mengganggunya sehingga Jani kini melawan Ares dengan cara seolah menerima tantangannya sehingga membuat Ares mundur seperti semalam.
No way! Ares tidak boleh kalah lagi. Maka Ares dengan cepat mengatur ekspresinya lalu mengambil satu langkah mendekat. “Jani, kalau lo berpikir gue bakalan mundur lagi seperti semalam, lo salah. Kali ini gue bakalan benar-benar melakukan apa yang gue ucapin. Entah itu kasih lo kiss mark atau nidurin lo.”
Jani membalas tatapan Ares sama seriusnya. “Saya juga sudah bilang semalam saya tidak masalah. Kalau kamu mau kasih kiss mark, silahkan. Kalau kamu mau tidur sama aku, juga silahkan. Tapi sekarang kita nggak punya banyak waktu karena keluarga kita pasti sudah menunggu.” Jani lalu kembali menjenjangkan lehernya, “Jadi sekarang saya rasa kiss mark dulu cukup.”
What the…
Sialan. Permaianan apa yang sebenarnya perempuan ini sedang mainkan? Kenapa justru Ares yang merasa dipermainkan padahal jelas semalam Ares yang ingin memulai permainan.
“Mas Ares?”
Ares berkedip. “Apa? Kamu panggil saya apa barusan?” tanyanya memastikan.
“Mas?”
Apa Jani benar-benar berpikir untuk menjadi ‘istri’ Ares yang sebenarnya? Sepertinya ada yang bermasalah dengan bagaimana perempuan ini berpikir. Ares benar-benar kesulitan untuk menebak apa yang Jani sedang mainkan.
“Lo bakal nyesel udah nantang gue, Jani!” Lalu Ares tiba-tiba menyelipkan telapak tangannya ke tengkuk Jani, menarik perempuan itu ke arahnya sebelum kemudian menundukkan kepala agar sejajar dengan leher perempuan itu.
Sial, Ares dapat mencium aroma woods dan musky yang menguar dari leher Jani. Perpaduan aroma lembut, powdery tetapi tetap menyegarkan. Ares tidak tahu jika aroma lembut dan lebih terkesan elegant dibanding sensual bisa juga menggoda seperti ini.
Saat hidung Ares sudah menempel di leher Jani, aroma itu semakin tercium jelas dan itu terasa asing. Selama ini, tentu sudah banyak aroma perempuan yang tercium indra penciumannya. Berbagai aroma perempuan itu biasanya menggoda, sensual, seksi bahkan intim. Benar-benar mampu menaikkan rangsangan hanya dengan menciumnya saja.
Tetapi aroma ini benar-benar baru untuk Ares. Lembut, menenangkan seperti sebuah balutan bed cover lembut yang membungkus tubuh Ares ketika udara dingin menusuk.
Ares bisa merasakan tubuh Jani menegang ketika bibirnya melayangkan kecupan pada satu titik di leher Jani. Berbanding terbalik dengan keberanian yang perempuan itu coba tunjukkan dengan ekspresi datarnya beberapa waktu yang lalu, ternyata Jani tidak sepenuhnya berani.
Ares lalu membuka bibirnya, dengan sengaja menekan bibir terbukanya itu ke kulit leher Jani agar menciptakan sensasi basah. Ares tersenyum miring ketika tubuh Jani gemetar sebagai respon dari tindakannya. Ternyata perempuan di hadapannya ini hanya seorang yang bermulut besar. Sok berani meski sebetulnya hanya seorang penakut. Tapi setidaknya perempuan ini bukan pengecut, sih, karena meski takut Jani tetap pantang menyerah dan tidak mundur. Hal itu membuat Ares merasa iba dan buru-buru menjauhkan bibirnya dari leher Jani.
Ares bisa melihat bagaimana kedua mata Jani tertutup sangat rapat dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Lucu sekali. Benar-benar penakut.
Merasakan wajah Ares sudah menjauh dari lehernya, Jani perlahan membuka mata. Ia berkedip-kedip sambil menatap lehernya yang baru saja dikecup Ares pada pantulan cermin. Dan kondisinya tidak ada perubahan apa-apa.
“Lo pikir lo semenarik apa sampai gue mau bikin kiss mark di tubuh lo?” Ares bertanya dengan ekspresi mengejek. Belum sempat Jani menyahut, Ares lebih dulu menarik lepas ikat rambut Jani sehingga rambut panjangnya terurai bebas. “Kedepanin rambut lo dan sebisa mungkin sering lo pegang seolah lo nggak mau leher lo terbuka. Mereka bakalan lebih curiga kalau perempuan kaku kayak lo terang-terangan pamer kiss mark dibanding susah payah nyoba nutupinnya.”
Lalu setelah berkata demikian, Ares pergi meninggalkan Jani seorang diri di kamar mandi dengan perasaan yang sulit dideskripsikan.