Ketika Ares masuk ke kamar dengan kasur berukuran queen bed tersebut, Jani tidak ada di sana. Tetapi Ares bisa mendengar suara dari arah kamar mandi, sepertinya istri Ares itu tengah berada di sana untuk membersihkan diri.
Tanpa merasa ragu, Ares berjalan penuh percaya diri menuju kamar mandi. Ares tersenyum miring menatap sosok perempuan bergaun pengantin berwarna broken white dengan detail Swarovski yang dicarinya itu tengah memunggungi Ares saat ini.
Jani sedang kesulitan membuka resleting gaun pengantin yang sepertinya macet dan menyangkut pada korset yang dikenakannya.
Ares dapat melihat jelas ekspresi Jani yang kesulitan dari cermin tinggi wastafel di hadapannya. Mungkin perempuan itu tidak menyadari bahwa Ares sudah selesai membersihkan diri dan tengah bersandar pada pintu kamar mandi sambil menikmati kesulitannya. "Hey Anjani—"
"Nama saya Arjani, bukan Anjani." Jani menjawab pelan. Ternyata Jani telah menyadari kehadiran Ares, namun anehnya tidak bereaksi apa-apa.
Tetapi ketika Ares masih asyik memandangi punggung Jani yang setengah telanjang, perempuan itu pun berbalik badan. Tidak ingin laki-laki itu melihat punggungnya lebih lama lagi.
"Iya siapa aja deh nama lo, Anjani atau Arjani terserah!” Ares melempar handuk yang semula bertengger di lehernya itu ke sembarang arah, lelaki itu kini bersedekap tangan dan menatap Jani, “Mau dibantuin buka risletingnya, nggak?" Ares bertanya dengan ekspresi menggoda. Ditatapnya tubuh Jani dari atas ke bawah dengan tatapan mata lapar yang terlalu dibuat-buat. Sengaja untuk membuat kesal dan risih perempuan di hadapannya.
Jani menatap Ares dengan tatapan datar. Seolah menunggu kalimat selanjutnya yang akan Ares katakan. Entah kenapa, seolah tahu bahwa lelaki itu pasti akan meminta imbalan untuk tawarannya.
"Gue bukain risleting lo tapi abis itu lo tidur sama gue, gimana? Tidurnya bukan bobo doang ya, tapi have s*x. Gue mau bikin lo mendesah di bawah kungkungan gue, gimana?" Ares tersenyum puas saat melihat Arjani hanya menatapnya lurus. Dalam hati berseru dengan sombongnya, Yes, pasti dia mau marah!
"Iya."
Sedetik. Dua detik.
"HAH? Kok ‘Iya’, sih?" Ares menatap Arjani tidak terima. Keduanya berkedip-kedip cepat. “Harusnya lo tuh nolak dong!”
"Memangnya kenapa? Kan sudah sewajarnya suami istri melakukan hubungan badan." Jawaban datar Jani seolah pukulan telak untuk Ares. Jani bahkan menambahkan, “Lagi pula kata Ibu, tidak boleh menolak permintaan suami.”
Shit. Di zaman seperti apa sih perempuan ini hidup dan tinggal? Bagaimana pemikiran seperti itu masih tertanam di kepalanya? Bukan hanya datar dan membosankan tetapi Ares sepertinya baru saja menikahi jelmaan kanebo kering. Alias, kaku banget!
Pertama Jani menerima perjodohan hanya karena tidak ingin melawan orang tuanya. Dan kini Jani setuju untuk ditiduri laki-laki yang baru dikenalnya hanya karena status mereka suami istri dan ajaran Ibunya seorang perempuan tidak boleh menolak keinginan suami.
That’s f*****g old-school. Untuk laki-laki yang hidup bebas dan sempat tinggal lama di luar negeri jelas pemikiran Ares sangat terbuka. Meski Ares sendiri laki-laki, Ares menyetujui bahwasannya budaya patriarki patut ditinggalkan. Ares tidak memikirkan soal urusan lain sih, tetapi setidaknya dalam urusan ranjang, Ares menganut paham consent. Dalam suami istri pun yang namanya berhubungan badan harus ada persetujuan kedua belah pihak. Jadi s*x tidak seharusnya dilakukan hanya karena ‘suami minta’ tetapi karena istrinya juga ingin.
Dan Ares tahu Jani jelas tidak benar-benar menginginkan s*x dengan Ares. Demi Tuhan soal urusan s**********n, kalau dalam game mungkin Ares sudah mencapai lever master alis tertinggi. Ares tahu mana perempuan yang ingin dan tidak.
Seketika keinginan Ares untuk mengganggu Jani malam ini hilang. Menguap tanpa sisa. Yang Ares inginkan adalah segera pergi kembali ke kamar dan melompat ke tempat tidurnya. Sepertinya tanpa Ares berusaha merusaknya, pernikahan ini benar-benar akan menjadi kacau dengan sendirinya.
***
Selepas kepergian Ares, Jani menghela napas. Ia kembali berbalik badan menatap pantulan dirinya di cermin. Jani langsung memeluk tubuhnya sendiri, menggigit kecil bibir bawahnya dan ia dapat melihat wajahnya memerah di cermin.
Jani malu. Ini pertama kalinya ada laki-laki yang melihat Jani dalam keadaan yang terbuka. Meski secara teknis Jani masih berpakaian, tetapi Ares sudah melihat sebagian pakaian dalamnya. Dan itu sangat memalukan.
Jani tidak tahu memiliki keberanian dari mana untuk bisa menatap Ares dengan tenang bahkan membalas ajakan bercintanya.
Jujur, Jani tahu kalau Ares hanya mengatakan itu untuk menggoda Jani dan jawaban Jani barusan seolah caranya menantang Ares balik. Tetapi Jani tidak sepenuhnya berniat demikian. Jika memang Ares menginginkan tubuhnya, Jani akan memberikannya meski hatinya tidak ingin.
Biar bagaimanapun, Ares sudah menjadi suaminya.
Meski pernikahan mereka tanpa dilandasi oleh cinta. Bahkan Ares terang-terangan menyatakan ketidak sukaannya terhadap Jani. Tetapi ketika kata sah dari penghulu beberapa belas jam yang lalu diucapkan, tanpa Ares tahu, Jani sudah sepenuhnya menyerahkan dirinya pada takdir bahwa mereka sudah menjadi suami istri.
Jani memang tidak mencintai Ares, apalagi sebaliknya, tetapi Jani akan tetap menjalankan perannya sebagai seorang istri yang semestinya. Jani tidak peduli jika Ares tidak mengisi perannya sebagai seorang suami, tetapi Jani memutuskan untuk melakukan sebaliknya.
Melawan takdir hanya akan membuat Jani kelelahan jadi Jani memutuskan untuk menerimanya.
Selalu begitu. Jani yang pasrah dan hanya bisa merelakan.
Sama seperti Jani yang pasrah ketika harus merelakan Ariano tanpa berusaha mempertahankannya.
Jani benar-benar bukan seorang pejuang.