Ares dan Jani melangkahkan kaki mereka gontai ke dalam suite room yang akan mereka tempati untuk malam ini. Jani menghela napasnya lalu mendudukan tubuh di tepi kasur guna mengistirahatkan tubuh yang lelah setelah menjalani rangkaian acara pernikahan seharian ini.
Jani memang sudah ingin cepat-cepat menuju ‘kamar pengantin’ mereka begitu acara usai. Tentu saja bukan karena ingin berduaan. Jujur, Jani masih kesal dengan ucapan dan tingkah Ares di acara pernikahan mereka tadi, tetapi sepanjang acara Jani harus terus berada di sebelah lelaki itu, membiarkan Ares dengan segala kepura-puraannya sebagai pengantin paling bahagia dan baik sedunia di ruang publik. Setidaknya jika di ruang tertutup, Jani bisa menjaga jaraknya dengan Ares.
Well, sepertinya kesalahan besar orang tua Jani dan Eyang Uti dalam memilihkan ‘kamar pengantin’ untuk mereka jelas salah. Di executive suite room yang mereka pesan, Jani dan Ares memiliki kesempatan untuk tidur di kamar terpisah karena di dalam sana terdapat dua buah kamar dan ruang keluarga yang cukup luas dengan sofa-sofa empuk sehingga mereka punya banyak pilihan untuk tidak tidur di satu tempat tidur yang sama.
Tetapi anehnya, Ares justru mengekori Jani hingga masuk ke kamar utama dan kini tengah berdiri di sisi lain dari tempat tidur menatap Jani.
“Gue udah ngantuk dan mau langsung tidur jadi gue mandi duluan.”
Suara Ares membuat kedua mata Jani terbuka dalam sekejap. Perempuan itu langsung bangkit dari posisinya yang semula telentang menjadi duduk. “Ya sudah silahkan.”
Ares memandang Jani seolah perempuan itu baru saja menelan seekor kadal. “Hello nona, gue barusan bukan lagi minta izin lo.” Ares mengarahkan sebelah tangannya seperti seorang petugas yang tengah menunjukkan arah untuk warga yang tersesat. “That’s mean lo harus keluar dari sini karena ini kamar gue, ngerti?” That’s it. Ares telah kembali menjadi Ares yang menyebalkan. Sepertinya begitu kakinya melangkah memasuki kamar hotel mereka, Ares benar-benar sudah langsung menanggalkan topengnya.
Jani masih memandang Ares dengan datar seolah Ares adalah tembok yang tidak penting untuk diperhatikan. “Ok.” Tanpa banyak kata lagi, Jani langsung berdiri dari tempat tidur dan meninggalkan Ares yang menatapnya dengan mulut terbuka.
Ares terbelalak, mata membulat sehingga terlihat lebih lebar. “Wait, what?” Jelas bukan seperti ini yang Ares mau.
Ares sengaja melakukan itu terhadap Jani karena ingin membuatnya kesal. Reaksi kesal Jani yang tertahan ketika Ares ‘menciumnya’ di pesta tadi benar-benar menjadi kepuasan tersendiri.
Setelah hari di mana Ares meminta Jani untuk menolak soal pernikahan mereka di taman kota waktu itu, Ares benar-benar memutuskan untuk membenci Jani. Perempuan itu tidak bisa diajak berkompromi. Kalau Ares jelas, tidak bisa menolak perjodohan karena ia memang tidak pernah sanggup mengatakan tidak pada Eyangti. Tapi Jani? Alasannya sangat… bodoh.
Kembali ke hari itu. Ares ingat jelas saat Jani menolak permintaannya dengan tegas.
”Saya tidak bisa dan juga tidak mau.”
Ares menatap Arjani dengan kesal. “Kenapa? Lo memangnya mau merelakan hidup dan masa depan lo buat nikah sama cowok yang nggak lo kenal ini? Kalau gue psikopat atau tukang KDRT, gimana?”
“Orang tua saya nggak mungkin seasal-asalan itu. Meski saya nggak bisa menampik kalau perjodohan kita juga pasti ada hubungannya dengan urusan bisnis mereka, tapi saya yakin orang tua saya sudah banyak mencari tahu.”
“Apa lo baru aja bilang kalau orang tua lo ngestalk gue?”
“Background check, bukan stalking. Saya yakin Eyang Uti kamu juga melakukan hal yang sama dengan saya. Apa kamu tahu kalau Eyang Uti kamu itu lebih dulu kenal saya dibanding orang tua saya?”
“What?” Ares menatap Jani terkejut. “Maksud lo?”
“Eyang Uti kamu menjodohkan kita bukan karena keluarga saya tapi karena saya. To make it simple, bukan karena siapa keluarga saya kita jadi dijodohkan tetapi karena saya lah Eyang Uti kamu memilih keluarga saya untuk dijadikan besan.”
Ares memijat pelipisnya pening. Jujur, otaknya tidak sampai dengan penjelasan Jani yang membingungkan itu. Ares jadi tahu jelas kalau perempuan di hadapannya ini memang betul-betul perempuan pintar seperti yang Eyangti bangga-banggakan. “Penjelasan lo masih kurang simple.”
Jani menghela napas. Ares jadi merasa tersinggung, sedikit. Dia tahu dia memang kurang pintar tapi jangan diperjelas begitu segala!
“Intinya, kalau kamu mau menolak perjodohan ini silahkan lakukan sendiri.” Jani memutuskan untuk tidak memberikan penjelasan lagi kepada Ares dan kembali ke pembahasan utama mereka. “Saya nggak akan melawan perintah orang tua saya.”
“Gini ya nona Anjani—”
“Arjani.” Jani meralat.
Ares mendengus dan memilih melanjutkan ucapannya. “Gue akuin gue ganteng dan siapa yang nggak mau menikah sama gue, gue ngerti. But, gue juga yakin perempuan kayak lo—” Ares menghentikan ucapannya karena itu sedikit terdengar kurang baik. Di sini posisi Ares adalah orang yang membutuhkan Jani, jadi seharusnya ia bisa merayu Jani untuk memenuhi keinginannya. “Sorry maksud gue, lo itu bukan perempuan biasa, nona. Lo manis, pinter dan berasal dari keluarga terpandang. Lo bisa cari another cowok baik-baik dari keluarga lain yang lebih sepadan dibanding keluarga gue. Gue tanpa embel-embel ‘Hadinata’ bakal cuma jadi laki-laki b******n kayak cecunguk di luaran sana.”
Ares memang sering sekali merasa overproud dan nyaris terlalu percaya diri akan dirinya sendiri. Tetapi Ares tidak pernah menampik fakta kalau dia bukanlah laki-laki baik. Dia b******k, dia sadar dan mengakui itu.
Jani tidak bersuara. Dan Ares berharap Jani benar-benar memikirkan ucapannya.
“Gini, gue ngomong kayak gini bukan hanya untuk kepentingan pribadi gue. Iya gue memang menolak perjodohan ini juga tapi selain itu, gue beneran mikirin lo. I mean, such a waste buat lo ngabisin waktu dan masa depan lo buat nikah sama cowok kayak gue.” Ares kembali meyakinkan, “Oke lah kalau ujung-ujungnya kita tetap maksain nikah. Tapi kita nggak saling cinta dan ujung-ujungnya kita bakal tetap hidup sendiri-sendiri. Pernikahannya hanya status dan kamuflase di depan publik. Terus misalnya setelah ini kita dituntut punya anak sama keluarga kita, kita bakalan nyiksa anak kita nanti. Membesarkan anak tanpa cinta itu kejahatan.”
“Saya nggak akan besarin anak saya tanpa cinta. Walaupun orang tuanya tidak saling cinta, saya tidak akan biarin anak saya ikut merasakannya. Saya akan kasih seluruh cinta saya kalau perlu.”
Jawaban Jani menyentuh sesuatu di dalam diri Ares yang tidak dimengertinya. Tetapi bukannya merasa lebih baik, Ares justru…marah. Entah untuk apa.
“Gue bener-bener capek ngomong sama tembok kayak lo!” Ares berdiri dari duduknya, menatap Jani dengan tatapan super-duper kesal saat ini. “Fine. Let’s get married dan gue bakal jamin hidup lo akan kerasa seperti di neraka dengan menjadi istri gue.”
Kembali ke masa kini, Ares benar-benar ingin membuktikan ucapannya hari itu pada Jani. Seperti saat di pesta Jani, Ares sudah berhasil membuat Jani akhirnya menunjukkan kekesalannya dibanding ekspresi datar seperti yang biasa perempuan itu tampilkan. Hal itu membuat Ares jadi semakin bersemangat untuk mengganggu Jani lagi, menyiksanya dengan cara menyebalkan.
Ares bergegas ke kamar mandi untuk berganti baju dan membersihkan diri, sebelum kemudian berjalan mengendap menuju kamar yang ditempati Jani.
Permainan ini akan benar-benar dimulai.