15. Two Different World

1223 Words
“Rencananya series ini akan tayang selain di televisi swasta juga di beberapa platform streaming online dengan kualitas yang nggak kalah dari original seriesnya Netflix.” Seorang laki-laki berkacamata yang merupakan karyawan HS Entertaintment sedang berbicara di samping monitor. “Kita juga sudah dapat sponsor cukup besar untuk project ini ketika tahu kalau kemungkinan besar role ini diambil Mas Ares. Sepertinya industri hiburan tanah air benar-benar sudah menunggu kembalinya Ares Pramudya.”   Ares, yang merupakan objek utama dalam rapat hari itu justru tidak terlihat terlalu bersemangat. Selama proses meeting, Ares terlihat sesekali melamun hingga managernya harus meyenggol lelaki itu dengan siku. “Res, fokus!”   Ares mendengus, meski terlihat tidak fokus, Ares sebetulnya menyimak semuanya. Meski hanya intinya saja sih. Ares sendiri tidak terlalu ambil pusing soal project ini, hitung-hitung sebagai hadiah untuk fansnya di Indonesia saja terutama ibu-ibu yang mungkin kurang bisa menikmati film dan series yang Ares mainkan selama berkarir di Amerika. Jadi, Ares tidak terlalu ribet soal series yang akan diambilnya saat ini. Intinya, Ares setuju.   “Kita juga udah dapet tawaran langsung dari PT. Traveloveka buat jadi sponsor partner. Karena beberapa pengambilan gambar nanti rencananya bakal diambi di beberapa negara. This series will cost highly tapi tawaran sponsor yang kita dapet juga sama besarnya, saya yakin this series will be hit.”   “Sorry semuanya saya terlambat.” Bara, selaku bos dari HS Entertainment memasuki ruang rapat. Lelaki itu terlihat sedikit berantakan dan Ares meyakini kalau bos yang juga sudah ia anggap kakak kandungnya itu pasti terlambat karena mengurus Rayn, anak laki-lakinya. “Sudah sampai di mana pembahasannya?” tanya Bara sambil menempati tempatnya di sentral meja.   “Oh, untuk pemeran utama wanitanya, para sponsor kayaknya mau Mbak Gianandra yang jadi lawan main Ares. Apalagi semenjak Mas Ares berkarir di Amerika, nama Mbak Gianandra benar-benar lagi naik di sini. Kalau nggak salah sekarang masuk ke daftar actress paling laris saat ini.”   Ares tersenyum mendengar nama ‘sahabat’nya itu disebut. Lelaki itu tidak lupa menoleh ke arah Bara sambil mencoba menikmati ekspresi laki-laki itu yang langsung berubah ketika mendengarnya. Bara adalah orang yang paling menentang Ares untuk dekat-dekat dengan Jia.   “Saya rasa, untuk pemeran utama perempuan kita harus adain meeting khusus. Apalagi untuk menggunakan talent dari beda agensi seperti ini. Sekarang kita fokus buat release berita soal comeback project Ares, agar penggemar dan non penggemar juga antusias dan penasaran.”   Setelah beberapa pembahasan yang berganti fokus pada bagaimana berita soal kembalinya Ares ke industri tanah akan direlease, rapat hari itu pun selesai.   Ares yang sudah akan cabut harus mengurungkan niatnya ketika kerah bajunya ditarik Bara dari belakang. “We should talk, Res.” Bara berkata dengan nada serius, “Di kantor gue.”   Ares hanya bisa menghela napas, pasrah.   ***   “Kalau sesuai alamat yang Non Jani kasih, kita sudah sampai Non.”   Jani menatap sebuah bangunan toko dengan desain artsy yang cantik dari balik kaca mobil. Saat ini Jani memang sedang pergi diantar Pak Toto untuk mengunjungi sebuah toko dan studio tanah liat milik temannya semasa kuliah.   “I Clay U,” Jani menyebut pelan nama toko tersebut sebelum akhirnya mengucap terima kasih kepada Pak Toto karena sudah mengantarnya. “Kalau Pak Toto mau cari makan dulu tidak apa-apa Pak, karena saya juga kemungkinan agak lama di sini.”   “Baik, Non.”   Jani melangkahkan kakinya memasuki toko yang dipenuhi rak-rak berisi berbagai macam karya tanah liat. Dari benda-benda yang memiliki fungsi seperti gelas, mangkuk, piring hingga benda-benda seni abstrak yang hanya cocok menjadi pajangan semua tertata begitu rapi.   Toko tersebut berdesain minimalis. d******i warna broken white dan unsur kayu.   Seorang pegawai yang mengenakan apron hitam dengan tulisan ICU di bagian d**a menyambut Jani ketika perempuan itu memasuki toko. “Selamat datang di I Clay U, ada yang bisa dibantu, Mbak?”   “Ah, saya mau ketemu dengan Genta. Kebetulan, saya temannya.”   Pegawai perempuan dengan name tag Rani itu mengangguk. “Mas Genta lagi ada di studio Mbak. Mbak bisa tunggu sebentar, nanti saya panggilkan?”   Jani mengangguk, kemudian Rani mengarahkan Jani untuk duduk di kursi tunggu yang ada di sebelah pintu masuk toko lalu gadis itu berlalu ke belakang melalui pintu kayu dengan tulisan staff only tergantung.   Tidak lama, seorang laki-laki bertubuh tinggi dengan kulit tan khas Indonesia dan rambut pendek yang tersisir asal ke belakang muncul dari pintu. Lelaki itu mengenakan apron yang sama dengan yang digunakan para pegawai toko. Bedanya, apron lelaki itu tampak kotor oleh percikan-percikan clay berwarna abu-abu.   “Jani?” Lelaki itu, Genta, setengah berlari menghampiri Jani yang juga langsung berdiri dari duduknya. “Kamu beneran di sini!”   Jani tersenyum. “Kan aku udah janji, Ta. By the way, toko kamu bagus banget.”   Genta balas tersenyum. “Aku masih nggak percaya kamu ada di sini sekarang.” Genta menyentuh lengan Jani, “Kenapa nggak kasih kabar?”   “Sengaja, mau kasih kejutan.” Jani tertawa melihat ekspresi Genta yang sepertinya masih terkejut dengan kehadiran Jani. “Dan sepertinya kejutanku, berhasil?”   “Banget!” Genta lalu mengajak Jani ke studio keramiknya yang ada di belakang toko. Di sana juga terdapat paviliun yang Genta jadikan tempat istirahat berbentuk pantry untuk para pegawainya dan juga dirinya sendiri.   “Gimana married-life, seru?” tanya Genta sambil meletakkan dua gelas berisi jus jeruk untuknya dan juga Jani.   Jani tersenyum kecil. Genta tahu soal Jani yang menikah karena perjodohan, bahkan sebelum berita soal itu disebar luaskan media karena status selebriti Ares. Bisa dibilang, Genta adalah orang luar satu-satunya selain keluarga Jani yang mengetahui soal perjodohan ini. Hanya saja Genta tidak tahu, jika pernikahan perjodohan ini benar-benar hanya menjadi pernikahan status saja.   “So far so good, aku masih belum sepenuhnya ngerasain jadi istri. Tiga hari awal aku tinggal di hotel, sekarang aku tinggal di rumah suami dan nenek mertuaku, tapi aku benar-benar tidak dibolehkan mengerjakan pekerjaan rumah.”   Genta tertawa. Karena mengenal Jani saat sama-sama menjadi mahasiswa perantauan di luar negeri, Genta tidak menyangka kalau Jani sesungguhnya adalah putri keturunan bangsawan di Solo. Perempuan itu hidup sangat mandiri di apartemennya. Genta bahkan lebih sering melihat Jani belanja keperluan seperti bahan masakan mentah dibanding membeli makanan jadi di restoran. Tidak sekali dua kali juga Genta melihat Jani tampak terampil ketika mengurus cuciannya di laundry room apartemen mereka.   “Bagus dong, bukannya justru enak kalau kamu nggak perlu ribet ngurusin pekerjaan rumah karena semua udah ada yang kerjain?”   Jani menghela napas, “Masalahnya aku juga di rumah tidak ada kerjaan, Ta. Aku sudah terbiasa banyak kegiatan, apalagi waktu di Spitalfield aku sedang nyaman-nyamannya bekerja.”   “Ya udah, kamu kerja di studioku aja, mau?”   Jani menatap temannya itu dengan tatapan berbinar. Tentu saja Jani dengan senang hati ingin menerima tawaran Genta tersebut. Jadi poetry artist adalah cita-cita Jani. Apalagi kalau Jani bisa menjadikan passionnya itu sebagai profesi utama, perempuan itu akan melakukannya dengan penuh suka cita.   Tapi sekarang, hidup Jani sudah bukan sepenuhnya milik perempuan itu. Jani sudah bersuami, meski pernikahan mereka hanya sebatas status. Jujur, Jani tidak khawatir dengan Ares. Laki-laki itu pasti tidak peduli jika memang Jani ingin bekerja. Tapi Jani tidak yakin dengan Eyang Uti dan kedua orang tuanya. Mereka pasti hanya ingin Jani jadi ibu rumah tangga saja.   “Terima kasih untuk tawarannya, Ta, aku appreciate itu, nanti aku kabarin ya kalau aku udah punya keputusan. Kamu tahu kan, sekarang aku—”   “Sudah menikah, iya aku tahu.” Genta memutus ucapan Jani dengan cepat. Sekilas, ada sedikit nada getir pada suaranya yang sayangnya tidak tertangkap oleh Jani. Entah Jani yang tidak peka atau perempuan itu yang sengaja berpura-pura.  “Kalau suami kamu kasih izin, kabari aku ya? Banyak loh yang ngantre mau kerja di studioku,” lanjutnya.   Jani tertawa kecil sambil berucap, “Pasti, Genta.”   Tanpa tahu bahwa tawanya mampu membuat Genta rasanya semakin sulit untuk menyembunyikan perasaannya.   Iya, Genta menyukai Jani, bahkan sejak mereka pertama kali bertemu beberapa tahun yang lalu. Dan sialnya, sampai detik ini pun perasaan Genta kepada Jani belum berubah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD