16. Di Sore Hari

929 Words
Setelah berhasil melepaskan diri dari Bara dan ultimatumnya agar Ares tidak lagi berhubungan dengan Jia, lelaki itu merebut kunci mobil dari tangan Hendrik yang merupakan road manager dari Ares.   “Res! Mau ke mana?” tanya pria bertubuh berisi itu sambil mengikuti langkah lebar Ares dengan susah payah. “Hari ini jadwal lo cuma meeting aja, nggak ada yang lain!”   “Justru karena nggak ada jadwal lain, gue mau cabut!”   Hendrik membelalakan mata, panik. Ia sudah mendapat mandat langsung dari Bara untuk menjaga Ares secara ketat. Karena lengah sedikit, laki-laki itu pasti akan mendatangi Jia. Yang tentu saja dilarang keras oleh Bara. Apalagi status Ares yang saat ini sudah bukan lagi seorang pria lajang.   Hendrik setengah berlari mengejar Ares yang dengan gesit sudah duduk di balik kemudi mobil range rovernya. Sebetulnya Ares lebih suka pergi menyetir sendiri, rasanya lebih gagah saja, tapi semenjak menjadi actor dengan jadwal super padat, Ares lebih suka menjadi penumpang dan menghabiskan waktu di perjalanan dengan tidur. Kecuali kalau mau berbuat nakal seperti saat ini.   “Lo mau gue tabrak, Drik?” tanya Ares saat managernya itu merentangkan tangan di depan mobil Ares, berniat untuk menghalangi. “Minggir!”   Hendrik menggeleng. Dia lebih takut kena omel Pak Bara dan gajinya dipotong dibanding melawan Ares. “Nggak, Res! Kalau mau pergi, harus gue yang anter!”   “TAPI JADWAL GUE UDAH KELAR!” Ares berteriak. Dengan kesal ia menekan klakson agar Hendrik mau menyingkir. “Bodo amat ya, kalau nggak mau minggir gue tabrak!” Ares mengancam, dengan sengaja memainkan pedal gas agar Hendrik menciut.   Sayangnya, managernya itu ternyata bernyali besar. Ketakutan potong gaji sepertinya lebih besar dibanding ketakutan kehilangan nyawa sendiri.   “Fine!” Ares benar-benar menarik rem tangan sebelum kemudian kembali menginjak rem ketika bumper depan mobilnya dan perut buncit Hendrik hanya tersisa jarak dua jengkal lagi. “Dasar gila!” Ares berseru saat Hendrik benar-benar tidak goyah oleh gertakannya.   Hari itu, Ares pun mengurungkan niatnya.   ***   Ketika Jani kembali ke rumah sore hari, kedatangannya bersamaan dengan range rover milik Ares yang memasuki pekarangan. Lelaki itu turun dari mobil dan membanting pintu dengan sangat keras membuat baik Jani dan Pak Toto yang juga baru selesai memarkir mobil di garasi menatapnya bingung.   Hendrik turun dari balik kemudi setelah selesai parkir, lelaki itu memasang senyum canggung ke arah Jani. “Sore Mbak Jani,” sapanya.   “Sore juga.” Jani memberikan senyum tipis kepada manager suaminya itu. “Mau masuk dulu, Pak Hendrik?” tawarnya.   Hendrik menggeleng, bukan karena tidak ingin tetapi malas kalau harus menghadapi emosi Ares yang meledak-ledak saat ini karena gagal mendapatkan yang diamuinya. “Terima kasih, Mbak Jani, lain kali saja mungkin soalnya sudah kesorean.”   Jani mengangguk mengerti, lalu mereka pun berpisah ke dua arah yang berlawanan.   Sesampainya di dalam ruang keluarga, Jani melihat Ares sedang duduk di sofa dengan wajah tertekuk. Kepalanya berada di pangkuan Eyang Uti yang sedang nonton televisi sambil menikmati teh dan camilan sorenya.   Menyadari kehadiran Jani, Eyang Uti yang sedang mengusap-usap kepala cucu kesayangannya itu segera menepuk bahunya untuk menyingkir. “Jani sudah pulang. Sini sayang, istirahat dulu!” Eyang Uti menggeser kepala Ares agar lelaki itu menyingkir dari pangkuannya. Dan tentu saja hal itu mengundang protes dari Ares.   Jani mengangguk dan menghampiri keduanya di sofa. Jani menyalami Eyang Uti sebelum kemudian dengan ragu mengulurkan tangannya ke arah Ares.   Sedetik, dua detik…   “Mau minta duit?” tanya Ares polos. Seketika itu juga, sebuah pukulan mendarat di tengkuknya, spesial dari Eyang Uti. “Aduh, Eyangti! Kok Ares dipukul?”   “Itu istri kamu mau cium tangan!” Eyang Uti setengah mengomel.   Ares berkedip, menatap wajah Jani dan tangannya yang masih terulur secara bergantian. Seketika kesadaran menghantamnya. Oh iya, lupa dengan kebiasaan orang Indonesia yang mengharuskan istri mencium tangan suaminya.   Bukan karena Ares tinggal lama di luar negeri, tetapi hal itu memang jarang ia lihat di kehidupannya. Karena orang tua Ares tidak melakukan hal-hal seperti itu. Sudah bisa makan bersama di satu meja makan tanpa saling melempar pisau saja sudah sukur, melihat Maminya cium tangan Papi? Itu sih hanya mimpi!   Ares dengan setengah hati memberikan tangannya pada Jani untuk dicium.   Kemudian Eyang Uti menyikut pinggang Ares. Matanya melotot menatap Ares, mencoba memberikan kode yang sayangnya tidak dapat Ares pahami. Eyang Uti berdecak kesal. “Dicium juga dong Ares itu dahi istrinya!”   Apa-apaan!   Jani dan Ares sama-sama saling menatap. Jani dengan tatapan datar sedangkan Ares dengan tatapan yang seolah mengatakan, ‘ngapain, sih?’   Tidak mau Eyang Uti semakin rewel, akhirnya Ares menuruti perintah neneknya tersebut. Saat Ares bangkit dari sofa, Jani pun secara korperatif menundukkan kepala dan mengarahkannya kepada Ares.   Seketika bulu kuduk Ares meremang. Adegan cheesy ini bahkan tidak pernah Ares praktekan di dalam film ataupun serial yang pernah ia mainkan. Kalau bukan demi Eyang Uti, Ares pasti sudah gatal-gatal!   Ares menangkup kedua pipi Jani sebelum kemudian mencium dahi istrinya dengan cepat. Padahal mereka hanya berdekatan dalam beberapa detik, tetapi Ares bisa mencium kembali aroma Jani yang mirip seperti malam itu. Sialan!   Sebuah cahaya flash berkedip, membuat Ares dan Jani seketika memisahkan diri. Atau lebih tepatnya, Jani yang setengah terlonjak karena terkejut. Ares sendiri sudah biasa dengan kilatan kamera yang tiba-tiba karena profesinya, jadi lelaki itu lebih terliht santai. Tetapi apa yang dilakukan Eyang Uti membuat Ares tidak bisa santai lagi.   “Eyangti ngapain?” tanya Ares kepada Eyang Uti yang mengarahkan kameranya ke arah Ares dan Jani.   “Kalian manis banget, patut diabadikan di status w******p!” Eyang Uti berujar dengan bangga. Belum sempat Ares protes, perempuan paruh baya itu langsung mengenakan kacamatanya yang selalu terkalung di leher untuk kemudian mengetikkan sesuatu di ponselnya. Membuat status lebih tepatnya.   Ares hanya bisa geleng-geleng kepala. Melihat senyuman lebar Eyang Uti ketika fokus dengan ponselnya membuat hari Ares menghangat. Suasana hatinya yang buruk karena Bara juga Hendrik perlahan lenyap. Hanya karena senyuman Eyang Utinya.   Diam-diam, Jani mengamati semua yang terjadi di depan matanya dengan sebuah senyum kecil. Lagi-lagi, Jani kembali melihat interaksi antara nenek dan cucu itu dengan hati yang ikut menghangat.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD