“Ibu dan Bapak titip Jani ya, Nak Ares?”
Jani memandang kosong ke arah orang tuanya dan Ares yang sedang bicara. Jani bisa melihat bagaimana Ares menjalankan perannya dengan sangat baik sebagai ‘menantu idaman’. Lihat bagaimana Ares meyakinkan orang tuanya kalau ia akan menjaga Jani dan membahagiakannya.
Jani jadi merasa berdosa kepada kedua orang tuanya karena hanya bisa diam saja melihat keduanya diperdaya oleh laki-laki setengah iblis itu.
Saat ini mereka sedang berada di bandara mengantar kepulangan kedua orang tua Jani dan beberapa keluarganya kembali ke Solo. Sedangkan Jani mulai hari ini akan menetap di Jakarta bersama Ares dan Eyang Uti.
“Jani… sini Nak!” Ningrum--Ibu Jani—melambaikan tangan ke arah Jani, memanggil perempuan itu untuk mendekat. Setelah Jani berdiri di sebelah Ares, Ningrum menyatukan kedua tangan Ares dan Jani agar saling menggenggam. “Kamu yang nurut sama suamimu. Surgamu sekarang ada di suamimu bukan di Ibu dan Bapak lagi, jadi kamu yang patuh ya Nak?”
Jani hanya mengangguk, tidak menyahut dengan kata-kata. Karena dia tahu surga seperti apa yang dimiliki suaminya.
Tidak jauh berbeda dengan Jani, Ares yang semula tidak pernah menghilangkan jejak senyum dari wajahnya demi image menantu yang baik seketika terdiam. Sepertinya Ares juga merasa terbebani dengan kata-kata dari ibu mertuanya tersebut karena dia tahu pernikahan ini tidak dianggap serius olehnya.
Setelah itu, giliran Hendrawan yang menyampaikan nasihat-nasihatnya dan menitipkan Jani kepada Ares. Namun berbeda dengan istrinya, Hendrawan ingin bicara empat mata saja dengan Ares. “Nak Ares, saya tahu kamu dan Jani menikah tanpa cinta dan semuanya dilakukan karena perjanjian antara saya dan Eyang Uti kamu. Tapi ketika kamu dan Jani akhirnya setuju untuk pernikahan ini, saya sudah menganggap kamu dan Jani sama-sama siap mengambil tanggung jawab atas pernikahan kalian.”
Ares menyimak apa yang tengah ayah mertuanya coba sampaikan. Jujur, Ares memang tidak menganggap serius pernikahan ini. Tetapi Ares tidak bisa mengabaikan apa yang orang tua sedang katakan. Apalagi, orang tua Jani bersikap hangat kepada Ares sejak mereka setuju menjodohkan Ares dengan Jani. Bahkan kehangatan itu sama sekali tidak pernah Ares rasakan dari orang tua kandungnya. Ares jadi tidak bisa mengabaikan orang tua Jani begitu saja. Setidaknya meski tidak bisa mencintai anaknya, Ares tetap akan menghormati keduanya.
“Jani satu-satunya anak perempuan kami. Ketika Eyang Uti kamu meminta Jani untuk menikahi cucunya yaitu kamu, sangat banyak pertimbangan yang kami lakukan. Saya tidak meminta kamu untuk bisa langsung mencintai Jani karena cinta itu tentu tidak bisa dipaksakan, tetapi saya mohon—jangan sakiti hatinya.” Hendrawan menepuk-nepuk lembut tangan Ares. “Tentu saya juga akan nasehati Jani untuk tidak melakukan hal yang sama kepada kamu, tapi karena dia anak saya—saya tahu Jani seperti apa. Dibanding menyakiti orang lain, dia pasti memilih menahannya sendirian dan mengalah. Saya tidak mau dia terus seperti itu saat dia sudah memiliki suami.”
Ares berkedip. Tidak tahu harus berkata apa selain hanya mengangguk sambil memikirkan kata-kata Hendrawan.
“Kalau nanti memang anak saya juga menyakiti kamu, kamu bilang sama saya.” Hendrawan tersenyum dan mengusap sekilas puncak kepala Ares seperti seorang ayah.
Hal itu membuat Ares merasakan sesuatu yang hangat menelusup ke dadanya. Kapan terakhir kali ayahnya mengusap kepalanya seperti Hendrawan?
Ah, saat acara sungkeman di pesta pernikahannya. Tetapi usapan itu terasa kaku karena hanya bentuk formalitas. Sangat berbeda dengan usapan yang baru saja Hendrawan lakukan. Bagaimana bisa itu terasa berbeda?
“Iya…Pak.” Ares menatap Hendrawan serius. “Saya…nggak janji bisa jadi suami yang sempurna untuk Jani karena saya juga masih belajar, apalagi pernikahan ini dilakukan sebelum kami berdua sama-sama mengenal satu sama lain. Tapi saya akan berusaha untuk tidak…saling menyakiti.”
***
Ini kali pertamanya Jani untuk menelusuri rumah Ares—yang juga kini sudah menjadi rumahnya. Saat itu Jani hanya menjadi tamu dan tidak pernah benar-benar melihat sekeliling.
Rumah itu berdesain minimalis. Didominasi warna putih dan unsur kayu. Langit-langitnya tinggi, halamannya luas dan tidak terlalu banyak ruangan di dalamnya. Konsep rumah itu lebih seperti satu ruangan luas yang disekat dengan perabot saja.
Hanya ada satu kamar di lantai bawah dan itu kamar milik Eyang Uti. Karena sudah berusia tujuh puluhan, Eyang Uti sudah tidak bisa meniti anak tangga terlalu banyak. Di lantai atas ada tiga kamar. Satu kamar digunakan Ares untuk walk in closetnya, satu kamar adalah kamar tamu yang sangat jarang ditempati dan satu lagi kamar Ares.
“Res, ajak Jani ke kamar gih, istirahat.” Eyang Uti memerintah Ares begitu selesai mengajak Jani mengeksplor lantai bawah rumah mereka.
Ares yang begitu sampai langsung merebahkan dirinya di sofa langsung bangkit dari duduknya. “Iya. Eyangti juga istirahat, ya?”
Eyang Uti mengangguk, mengelus sekilas kepala Ares dan juga Jani sebelum berlalu menuju ke kamarnya. Meninggalkan sepasang suami istri itu dalam keheningan.
Sejak kembali dari bandara mengantar Hendrawan dan Ningrum, entah mengapa Ares dan Jani jadi merasa…canggung. Bahkan mereka tidak secanggung ini di hari pertama berkenalan.
Jani sendiri tidak tahu apa yang membuat atmosfer di antara mereka menjadi seperti ini. Jani hanya bersikap seperti biasanya, tetapi Ares yang mendadak menjadi diam saja—tidak seperti Ares si manusia setengah iblis yang selalu mengganggunya.
Aneh.
“Gue—hm maksudnya aku anter ke kamar.”
Jani terkejut. Apa dia tidak salah dengar? Apa Ares baru saja menggunakan kata panggil ‘aku’ untuk menyebut dirinya sendiri?
Sebelum Jani sempat menyatakan kebingungannya, Ares lebih dulu mengambil alih koper Jani dari tangannya dan membawanya ke lantai atas. Jani hanya bisa mengekori dalam diam.
Ares berjalan ke kamar yang terletak paling dekat dengan tangga. “Ini walk in closet gu—aku, baju aku semuanya ada di sini jadi lo—kamu bisa pakai lemari yang ada di kamar ki—kita. Ekhm,” Ares berdeham, seolah ada sesuatu yang menyangkut di tenggorokannya ketika menyebut kata kita. Kata itu terasa sangat asing di lidahnya.
“Kamu kenapa tiba-tiba jadi pakai aku-kamu?” tanya Jani karena sudah tidak tahan dengan kecanggungan Ares yang berusaha sekuat tenaga memperbaiki panggilannya yang selalu salah. “Ayah aku tadi minta kamu bicara kayak gitu?”
“Jangan ge-er, gu—aku ngomong gini biar kebiasa. Kita sekarang tinggal sama Eyangti, bisa dicincang kalau gu—aku ngomong pakai gue-lo sama istri sendiri.”
Jani tidak bisa menahan diri untuk tidak tersenyum. Ares memang menyebalkan, tetapi Ares benar-benar selalu menjadi cucu yang baik untuk Eyang Utinya. Ares benar-benar menyayangi neneknya itu.
Ares lalu berjalan ke kamar yang ada di tengah. Kamar itu tidak terlalu luas tetapi tidak sempit juga, sedang. Ada kasur berukuran queen size, vanity table, lemari besar yang mengisi hampir separuh dinding. Kamar itu terasa hangat dengan jendela besar yang mencapai langit-langit kamar, ditutup dengan tirai putih yang kini terbuka separuhnya.
“Ini kamar tamu. Lo—kamu bisa tidur di sini.” Ares lalu melanjutkan, “Of course kamu tetap harus taruh barang-barang kamu di kamar aku in case Eyangti tiba-tiba sidak ke atas meski gue ragu karena Eyangti udah nggak terlalu bisa naik tangga. Tapi buat jaga-jaga.”
Jani mengangguk. Tidak terlalu mempermasalahkan harus tidur di mana karena Jani menghargai Ares sebagai pemilik rumah. Dan juga, Jani sudah memprediksi soal ini sebelumnya. Ares tentu tidak ingin berbagi tempat tidur dengan Jani yang notabennya adalah orang lain. Hanya karena status mereka kini suami istri, fakta kalau mereka masih belum saling mengenal lain tidak bisa dihindari. Dan jujur, Jani sedikit lega karenanya.
Ares lalu kini mengajak Jani menuju kamarnya yang ada di paling ujung, dekat ke pintu balkon utama rumah ini yang menghadap ke kebun depan.
Kamar Ares adalah kamar terluas di rumah ini. Ada kasur berukuran king size yang menjadi pusat di ruangan tersebut. Desainnya hampir sama dengan kamar tamu yang akan menjadi kamar Jani, yang membedakan hanya di kamar Ares ada meja kerja dan komputer yang bersebelahan dengan rak buku.
Kini tidak hanya melihat dari pintu, Ares meminta Jani untuk mengekorinya masuk ke dalam kamar. Dan tanpa Jani tahu, ini adalah pertama kalinya ada orang lain masuk ke kamar Ares apalagi seorang perempuan.
Ares hampir menghabiskan seluruh hidupnya di rumah ini dengan Eyang Uti dan selama itu Ares tidak pernah membawa perempuan ke rumah mereka apalagi ke kamarnya. Tentu saja karena area rumah adalah tempat spesialnya dengan Eyang Uti yang tidak ingin Ares kotori dengan kebrengsekannya. Itu sebabnya Ares punya apartemen pribadi yang biasanya ia tempati untuk bersenang-senang atau saat terlalu mabuk untuk pulang. Biasanya Ares juga tinggal di apartement jika punya jadwal syuting stripping karena lokasi apartemennya yang lebih strategis dan mudah diakses.
“Ini meja rias kamu?” tanya Jani sambil menyentuh vanity desk yang mirip dengan yang ada di kamar tamu sebelah. Bedanya, vanity desk ini dipenuhi berbagai perlengkapan make up.
“Ya bukan lah!” Ares meletakkan koper Jani di dekat lemari lalu beranjak untuk melepaskan jaketnya, “Itu make upnya buat lo—kamu. Sekarang kamu udah jadi istri seorang Antares Pramudya, kedepannya kamu bakal banyak tampil di acara-acara penting bareng aku dan itu pasti bakal disorot media. Aku nggak mau istri aku tampil malu-maluin.”
Jani mengangguk. Tidak tersinggung dengan ucapan Ares karena Jani mengakui kalau penampilannya selama ini biasa saja. Jani bukannya tidak suka make up, tetapi Jani memang lebih nyaman dengan style make up soft, yang nyaris tidak terlihat seperti make up. Tetapi Jani sadar dia tidak bisa bergaya seperti itu jika harus mendampingi Ares di depan publik, dia bisa mempermalukan lelaki itu.
“Tenang aja, make up itu aku beli atas bantuan personal shopping assistant, aku juga nggak terlalu ngerti make up cewek jadi nggak beli itu sendiri. Kamu nggak perlu takut, kalau memang ada yang nggak sesuai sama kulit kamu, bilang aja atau nanti kamu beli aja aku yang bayar.”
“Ares, kamu nggak perlu ngelakuin semua ini.” Jani akhirnya buka suara setelah sejak tadi hanya Ares yang mendominasi pembicaraan mereka. “Ini juga udah lebih dari cukup, kalau nanti memang ada yang ingin saya beli, saya bisa beli sendiri. Dan kalau kamu nggak nyaman bicara aku-kamu saat kita berdua, jangan dipaksain. Kamu kan good actor, di depan Eyang Uti pasti kamu bisa beracting dengan baik.”
Ares yang semula sedang merebahkan diri di tempat tidurnya langsung bangkit dan menatap Jani dengan pandangan kesal. “Lo lagi nyindir gue?” Akhirnya Ares kembali menggunakan gue-lo lagi. Nada bicaranya pun kali ini serius. “Dan lagi, gue nggak suka kalau lo bawa-bawa Eyang Uti di dalam percakapan kita.”
“Kenapa?”
“Itu selalu bikin gue ngerasa bersalah!” Ares mengacak rambutnya, frustasi. “Lo lihat sendiri seberapa beliau berharap besar sama pernikahan kita, kan?”
Jani mengangguk, tidak bertanya lagi.
“Orang tua lo juga, Jani.” Ares menatap Jani yang hanya diam saja di tempatnya tidak bersuara. “Ayah lo… he trust me. Gue nggak pernah dipercaya kayak gitu, bahkan gue sendiri nggak percaya sama diri gue sendiri.”
Jani merasa tekanan dari suara Ares. Sepertinya apa yang dikatakan oleh ayahnya kepada Ares membuat lelaki itu tertekan tanpa disengaja. Jani tidak tahu apa yang ayahnya katakan pada Ares, tetapi pasti itu berkaitan dengan pernikahan mereka. Jani jadi merasa bersalah.
“Jani, let’s make a deal.”
Jani menatap Ares dengan kernyitan di dahi, “Apa?”
Ares lalu beranjak dari tempat tidurnya menuju meja kerja. Menyalakan komputer, menunggu sampai bisa digunakan dan mulai mengetikkan sesuatu di sana.
MARRIAGE AGREEMENT
ARES & ARJANI
1. Bersikap selayaknya suami istri normal di depan umum.
2. Wajib bicara menggunakan aku-kamu. Tidak boleh saya-kamu atau gue-lo.
3. Jani wajib mendampingi Ares ketika dibutuhkan untuk pergi ke suatu acara. Dengan syarat Ares harus memberi tahu minimal h-1.
4. Tidak mencampuri urusan masing-masing dan saling menjaga privacy.
5. Tidak menyakiti satu sama lain.
6. Jika ingin berhubungan dengan orang lain diperbolehkan dengan syarat TIDAK BOLEH SAMPAI DIKETAHUI ORANG LAIN. Lebih disarankan untuk tidak dilakukan.
7. Untuk kebutuhan rumah tangga semua ditanggung oleh Ares. Termasuk make up dan pakaian yang digunakan demi keperluan untuk mendampingi Ares. Selain itu, semuanya ditanggung sendiri. Tetapi Jani diperbolehkan meminta sesuatu dan Ares akan mempertimbangkannya.
8. Perjanjian ini hanya boleh diketahui oleh Jani dan Ares.
9. Jika ada yang ingin diubah dan ditambahkan harus sesuai persetujuan kedua belah pihak.