19. Maaf dan Penawaran

1556 Words
“Mulai besok, kamu berhenti jadi aktor!”   Seperti kilat menyambar di siang hari, Ares menatap Eyang Uti dengan mata melebar. “Apa?” Tatapannya menyorotkan rasa tidak percaya, atau lebih tepatnya menolak untuk percaya bahwa kata-kata tersebut baru saja keluar dari mulut neneknya. “Eyangti, please, Eyangti tadi nggak serius kan?”   “Biar Pak Andi yang kasih tahu kamu seberapa seriusnya Eyang kali ini.” Pak Andi sendiri adalah kuasa hukum keluarga Hadinata dan juga pengacara kepercayaan Eyang Uti. “Dia yang akan urus pemutusan kontrak kamu dengan HS Entertainment.” Eyang Uti berkata final sebelum kemudian meninggalkan meja makan.   Kini hanya tersisa Ares dan Jani di ruang makan. Ares masih berdiam di tempat, seluruh ucapan dan kata-katanya seolah tertelan begitu saja tidak bisa dikeluarkan. Kepala Ares benar-benar sedang bekerja keras untuk mencoba memahami apa yang sebenarnya baru saja terjadi. Sedangkan Jani, perempuan itu memilih menghabiskan sisa sarapannya tanpa suara.   “Argh! Semuanya b******k!” Ares mengumpat. Sepertinya lelaki itu baru saja menyadari bahwa masalah yang ia hadapi lebih gawat dari yang ia perkirakan. “Sialan, Jia, sialan!”   Jani tersentak ketika Ares tiba-tiba menarik kursi di hadapannya dan duduk. “Lo nggak terlibat, kan?” tanya Ares tiba-tiba. Suaranya benar-benar terdengar frustasi, “Kalau sampai gue tahu lo—”   “Aku tidak tahu apa-apa, apa untungnya juga aku melakukan ini semua?” Jani memutus ucapan Ares. Perempuan itu tahu apa yang akan Ares tuduhkan padanya dan Jani jelas tidak terima.   “s**t, sorry, gue cuma…bingung. Nggak nyangka damagenya segede ini.” Ares mengacak rambutnya sendiri. “Seharusnya gue dengerin kata Bang Bara. Jia b******k!”   Jani tahu bahwa perempuan bernama Jia itu memang memiliki andil besar dalam masalah yang menimpa Ares. Tetapi Jani juga tahu kalau hal itu tidak lantas membuat Ares menjadi tidak bersalah. Lelaki itu punya andil yang sama besarnya dalam masalah ini. Dan jujur, Jani tidak menyangka kalau dampaknya akan seperti ini.   “Akting itu sebagian dunia gue, Jani, sama kayak Eyangti.” Ares berkata pelan. Baru kali ini Jani melihat Ares tidak berdaya di hadapannya. “Mereka berdua sama-sama dunia gue. Gue nggak bisa milih salah satunya.”   Jani menatap Ares iba. Ia sendiri baru tahu soal fakta ini. Meski Jani tahu bahwa Ares sangat mencintai dan bangga akan profesinya sebagai aktor, Jani tidak tahu kalau Ares begitu mencintai pekerjaannya dan bukan hanya menganggap pekerjaannya itu sebagai mata pencaharian. Maknanya benar-benar lebih tinggi daripada itu.   Sekarang Ares dihadapkan pada dua pilihan yang mustahil. Yaitu mengikuti Eyang Uti dan meninggalkan dunia akting yang dicintainya atau mempertahankannya dan melawan Eyang Uti.   Suara ponsel Ares di kantong celananya memecah keheningan. Nama Bara terpampang di layar. Eyang Uti pasti sudah menghubungi Bara perihal pemutusan kontrak kerja Ares sehingga lelaki itu menghubunginya saat ini.   Ares pun mengangkat panggilan tersebut sambil berlalu dari hadapan Jani.   ***   Eyang Uti berada di dalam kamarnya sore itu ketika Jani mengetuk pelan pintu berbahan jati tersebut. Wanita yang tahun ini memasuki usia tujuh puluh tahun itu pun mempersilahkan cucu menantunya untuk masuk.   Kamar Eyang Uti semua didominasi unsur kayu jati. Mengingatkan Jani akan rumah joglonya di Solo yang semuanya terbuat dari kayu jati. Terasa sejuk dan nyaman.   “Ada apa, Jani?” tanya Eyang Uti yang sedang duduk di tempat tidur entah melakukan apa. Yang jelas wanita paruh baya itu mengenakan kacamata bacanya yang mengindikasinya bahwa ia sedang membaca sesuatu. Tetapi saat Jani mendekat, Eyang Uti dengan segera membereskan kertas-kertas yang ada di tangannya.   “Ah ini Eyang, Jani bawakan s**u jahe dan brownies.” Jani mendekat dengan nampan berisi dua cangkir s**u jahe dan sepiring brownies yang baru diangkat dari oven. “Jani buat sendiri browniesnya.”   Eyang Uti tersenyum, lalu bangkit dari tempat tidur sambil melepas kacamatanya. “Kita minum dan makan di sana, yuk?” tawarnya sambil menunjuk ke kursi yang ada di beranda kamarnya. Meski kamar Eyang Uti ada di lantai satu, kamarnya memiliki beranda yang mengarah ke kebun samping. Di sana biasanya digunakan Eyang Uti sebagai spot minum teh sore hari.   Jani mengangguk sambil membawa nampan tersebut ke arah yang ditunjuk Eyang Uti. Keduanya lalu duduk bersisian sambil menikmati kudapan sore mereka dalam keheningan.   “Kamu pasti mau ajak Eyangti ngobrolin soal masalah Ares, kan?” tanya Eyang Uti to the point setelah bermenit-menit dilalui tanpa ada suara sama sekali selain dentingan sendok teh yang bertemu cangkir. “Omong-omong, brownies buatanmu enak, kamu pintar memasak ternyata ya?”   Jani tersenyum. Baik untuk pujian dan ketepatan Eyang Uti menebak maksud dan tujuan Jani sore itu mengunjungi kamarnya. “Dibilang pintar juga ndak begitu kok Eyangti, masih banyak belajar. Tapi jujur… Jani suka memasak. Suka coba-coba resep karena sudah dibiasain juga sama Ibu buat masuk dapur sejak SMA.”   “Pantas saja kata Bi Rominah kamu berkali-kali minta izin supaya dibolehkan memasak. Tapi Eyangti belum kasih izin kamu, bukan tidak boleh, tapi kan kamu belum ada satu minggu di sini. Eyang Uti mau treat kamu dengan baik dulu agar kamu nyaman.”   Jani lagi-lagi tidak bisa menahan perasaan haru dan bahagianya atas penerimaan Eyang Uti terhadapnya. Jani benar-benar merasakan kasih sayang Eyang Uti padanya begitu tulus. Tetapi hal itu juga membuat Jani merasa bersalah karena telah diam-diam menyembunyikan kesepakatannya dengan Ares di belakang Eyang Uti. Sedikitnya, Jani juga memiliki peran dalam masalah Ares. Seharusnya sejak awal Jani tidak mengizinkan Ares untuk menemui Jia.   “Eyangti…”   “Maafin Eyangti, Jani, Eyangti sudah gagal mendidik Ares.” Suara Eyang Uti terdengar bergetar. Wanita paruh baya itu menangis. “Eyangti benar-benar malu sama kamu, Jani. Eyangti sudah membuat kamu menikahi cucu Eyangti yang tidak tahu diri itu, padahal kamu jelas sangat-sangat pantas mendapatkan lelaki yang jauh lebih baik dari Ares!”   Jani dengan segera meletakkan cangkirnya ke meja dan menghampiri Eyang Uti. Perempuan itu berlutut di hadapan Eyang Uti yang sudah menundukkan kepalanya karena tidak kuasa menahan luapan emosi. “Eyangti… jangan minta maaf. Eyangti ndak salah,” ucap Jani sambil menyentuh kedua tangan Eyang Uti yang masih memegang piring berisi potongan brownies buatannya. Jani pun mengambil alih piring itu dan meletakkannya di meja.   “Ini semua salah Eyangti. Eyangti terlalu memanjakan Ares hingga dia menjadi seenaknya. Dan dengan segala kekurangan yang Ares miliki, Eyangti justru dengan tidak tahu diri menikahkannya dengan kamu, Jani.”   Jani meremas kedua tangan Eyang Uti, namun Jani memilih tidak mengatakan apa-apa karena ingin Eyang Uti mengeluarkan segala keluh-kesahnya lebih dulu sebelum ia bisa bicara.   “Hanya karena Eyangti sangat menyayanginya, Eyangti malah mengorbankan kebahagiaan anak orang lain demi cucu Eyangti. Seharusnya sejak awal Eyangti nggak meminta ayah kamu menjodohkan kalian. Seharusnya kamu bisa menikah dengan laki-laki yang lebih baik dari cucu nakal Eyangti, Jani!”   Eyang Uti akhirnya menyatakan segala keluh kesahnya. Dan semuanya selalu bermuara pada kata maaf yang entah sudah berapa puluh kali terucap sore itu. Hati Jani ikut sedih mendengarnya. Meski apa yang Eyang Uti katakan benar, Jani tetap tidak ingin melimpahkan kesalahan pada Eyang Uti. Karena biar bagaimanapun, wanita paruh baya itu tidak memaksa Jani untuk berada dalam keadaan ini. Pernikahan ini juga atas keputusannya dan bukan hanya keinginan Eyang Uti atau orang tua Jani saja.   “Eyangti, izinin Jani bicara, ya?” Jani mengusap pelan punggung tangan Eyang Uti yang sudah berkerut tetapi tetap terasa lembut di genggamannya. Posisi Jani yang berlutut di hadapan Eyang Uti membuat Jani sedikit mendongak untuk menatapnya. “Eyangti, pernikahan ini bukan salah atau tanggung jawab Eyangti. Jani dan Mas Ares juga punya peran di sini, kami yang setuju untuk dijodohkan dan menikah. Jadi Eyangti jangan menyalahkan diri sendiri.”   Jani berhenti sejenak sebelum melanjutkan, “Dan soal Mas Ares, kemarin Jani ada di tempat itu Eyangti. Jani tidak tahu masalahnya akan seperti ini, padahal Mas Ares pergi menemui Mbak Giandrani bersama Jani. Tapi sepertinya media ndak mengenali Jani, karena itu mereka salah paham.”   Eyang Uti berkedip menatap Jani. Pipinya masih basah oleh sisa air mata tadi. “Kamu ada di sana?” tanya Eyang Uti bingung. “Jadi kamu sudah tahu soal ini?”   Jani mengangguk. “Jani tidak tahu kalau masalah ini akan begitu membuat Eyang Uti kepikiran. Tadi pagi, Mas Bara datang ke sini untuk bicara dengan Mas Ares soal masalah ini. Jadi Jani pikir, mereka akan menyelesaikan masalahnya sebelum sampai ke telinga Eyangti. Jani tidak tahu kalau Eyangti malah mendengar beritanya lebih dulu dari televisi.”   “Tapi tetap saja, Jani, walau semua ini hanya salah paham, masalah seperti ini akan sangat mungkin terjadi lagi. Dunia entertaintment kita itu tidak pernah sepenuhnya bersih, Eyangti tidak mau masalah seperti ini terjadi lagi dan pastinya akan menyakiti kalian nantinya. Apalagi kalau nanti kalian sudah punya anak, lebih baik kita menghentikannya sejak dini!”   Jani terkejut ketika mendengar bagaimana Eyang Uti membawa-bawa soal anak. Karena Jani bahkan tidak tahu apakah dia dan Ares akan menjalani kehidupan rumah tangga seperti apa ke depannya. Bagaimana kalau Eyang Uti sampai tahu jika Ares dan Jani membuat surat perjanjian pernikahan dalam menjalani kehidupan rumah tangga mereka.   “Jani, Eyangti tahu kamu dan Ares belum saling mencintai. Tapi cinta itu datang karena terbiasa, Nak, dulu Eyangti dan Eyang Kakungnya Ares pun begitu. Bapakmu juga cerita kalau dia dan Ibumu juga dulunya dijodohkan. Jadi, Eyangti yakin kalau kamu dan Ares akan berakhir sama seperti kami. Bahkan bisa lebih bahagia.” Eyang Uti mengulurkan tangannya mengusap pipi Jani, “Kalau benar masalah semalam murni hanya salah paham, Eyangti justru semakin yakin untuk mengeluarkan Ares dari dunia entertainment. Biar Ares nanti Eyangti pekerjakan di perusahaan milik teman Eyangti.”   Jani tahu bukan soal pekerjaan yang dipermasalahkan oleh Ares melainkan dunia akting yang tidak bisa ditinggalnya. Tetapi Jani tidak tahu bagaimana cara merubah keputusan Eyang Uti karena ini adalah urusan antara nenek dan cucunya, bukan ranah Jani lagi untuk ikut campur.   Tetapi Jani kemudian mendapatkan sebuah ide. Ide spontan yang begitu saja tercipta yang bahkan tidak pernah terpikirkan oleh Jani sebelumnya. Ide yang mungkin akan membuat Ares menggila jika mendengarnya tetapi mendapat peluang besar untuk bisa menyelamatkannya juga.   “Eyangti,” Jani berujar sambil menggenggam tangan nenek mertuanya tersebut. “Jani punya sebuah penawaran.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD