Ares sedang merebahkan tubuhnya di gazebo yang menghadap ke kolam renang saat Mbak Imah menghampirinya dengan nampan berisi piring berisi nasi beserta lauk pauk dan juga segelas air putih.
Ares yang sedang melamun sambil mencoba menghalau setiap nyamuk yang berusaha menggigiti kakinya segera bangkit dari posisinya yang telentang menghadap ke langit-langit gazebo. “Ngapain, Mbak?” tanya Ares pura-pura tidak paham.
Ares tersenyum menyadari bahwa Eyang Uti ternyata tidak pernah betul-betul tega padanya. Padahal tadi Eyang Uti sendiri yang tidak mengajak Ares makan malam, bahkan neneknya itu memilih makan di dalam kamar membuat Ares pun kehilangan selera makannya dan kabur ke gazebo untuk merenung. Alhasil saat ini perutnya keroncongan karena siang tadi pun Ares tidak makan apa-apa.
“Nih Mas, makan malem.”
Ares masih memasang tampang sok cuek, tidak ingin terlalu terlihat senang. “Siapa yang minta? Kan tadi bukannya Eyangti nggak mau aku makan, ya?”
“Siapa bilang ini dari Eyangti? Orang ini dari istrinya Mas Ares.”
“Hah?”
Mbak Imah tertawa. “Bersyukur tuh Mas, punya istri yang mana udah cantik, lembut, pintar, wangi, perhatian pula!” Asisten rumah tangganya itu memeluk nampan setelah meletakkan piring makan malam Ares ke meja. “Padahal saya sama Bi Iroh udah dilarang Eyang buat kasih Mas Ares makanan, tapi Non Jani nggak tega akhirnya dia yang masakin ini semua buat Mas.”
Ares terdiam. Ia menatap piring berisi nasi, telur dadar dan potongan ayam fillet crispy di hadapannya. Jadi Jani yang menyiapkannya? Sederhana sih, Ares yakin ayam fillet itu mungkin hanya frozen food yang tinggal goreng saja, tetapi bukan di situ pointnya. Jani… peduli padanya, bahkan setelah apa yang Ares lakukan kemarin kepada perempuan itu.
“Mas tahu nggak, Non Jani tadi dimarahin Eyang Uti?” tanya Mbak Imah lagi karena Ares tidak kunjung bersuara.
Tatapan Ares kini teralih ke arah Mbak Imah. “Apa, Mbak? Dimarahin? Kenapa?” tanyanya menuntut.
Eyang Uti sangat menyayangi Jani, mana mungkin neneknya itu memarahi Jani. Lagipula apa yang Jani perbuat sampai bisa membuat Eyang Uti marah padanya, itu mustahil.
“Kayaknya sih ya, kayaknya loh, Mbak Imah juga belom pasti nih. Non Jani kayaknya nyoba belain Mas Ares.” Mbak Imah lalu menceritakan bagaimana Jani yang dengan effort membuat brownies sebelum kemudian pergi ke kamar Eyang Uti untuk bicara. “Mbak Imah juga nggak yakin sih Mas, tapi pas keluar dari kamar Eyang tuh pas banget Mbak Imah lagi lewat eh terus abis Non Jani keluar, Eyang langsung banting pintu. Kayaknya marah, terus ekspresi Non Jani juga kelihatan kayak gimana gitu.”
“Mbak nggak lagi bohong, kan?”
“Yeee tanya aja gih sama istrinya kalau nggak percaya!” Mbak Imah menggeleng-gelengkan kepalanya. “Lagian kalau memang baik-baik aja, Eyang pasti makan malam bareng Non Jani dong. Ini tumben-tumbenan minta makan di kamar.”
Setelah mengatakan informasi tersebut, Mbak Imah pamit dan meninggalkan Ares sendiri dengan pikirannya yang berkecamuk. Di dalam kepalanya, Ares mencoba menebak-nebak sebenarnya apa yang Jani bicarakan dengan Eyang Uti.
***
Keesokan harinya, pagi-pagi sekali Ares sudah bangun dan mandi. Sebetulnya Ares bahkan baru bisa tidur jam empat pagi, lalu setengah enam lelaki itu sudah terbangun lagi dengan keadaan yang anehnya sangat-sangat segar dan tidak bisa tidur lagi. Akhirnya Ares memutuskan untuk pergi jogging beberapa putaran mengitari komplek dan mandi begitu selesai.
Saat Ares turun lagi ke lantai bawah dengan keadaan sudah rapi, Eyang Uti dan Jani sudah duduk di meja makan untuk menikmati sarapan mereka. Pagi itu Bi Rominah memasak nasi uduk untuk mereka.
“Selamat pagi!” Meski ragu, Ares tetap mencoba menyapa kedua wanita yang saling berhadapan di meja makan itu.
“Pagi.” Hanya Jani yang menyahuti sapaannya, sedangkan Eyang Uti sepertinya masih terlihat cuek meski Ares yakin Eyang Utinya itu sudah tidak seemosi kemarin.
“Ares boleh ikut sarapan nggak. Eyangti?”
“Terserah.”
Jawaban Eyang Uti membuat Ares menghela napas. Tetapi meski terkesan masih marah, Ares nekat untuk tetap bergabung bersama keduanya. Ares ingin mencoba memperbaiki keadaan. “Ares gabung, ya?” Meski tidak dijawab, Ares tetap menarik kursi di sebelah Jani dan duduk di sana. Mencoba bersikap biasa saja ketika mengambil piring dan menyendok nasi uduk ke piringnya.
Ares menyuap nasi uduknya dengan bersemangat. Berusaha benar-benar tidak canggung dan bersikap seolah keadaan sedang baik-baik saja. “Wuih nasi uduk Bi Rominah emang paling juara, deh!” Ares menatap Eyang Uti dengan senyum lebar, “Iya kan, Eyangti? Eyangti suka banget kan sama nasi uduk buatan Bi Rominah?”
Eyang Uti tidak menyahut. Wanita paruh baya itu memilih fokus menyantap sarapannya, menganggap Ares hanyalah lalat yang sedang terbang dengan suara mengganggu. Patut diabaikan.
“Eyangti… masih marah sama Ares?” Akhirnya Ares tidak tahan untuk terus berpura-pura tidak ada apa-apa. “Maafin Ares, Eyangti, Ares bisa jelasin kalau yang terjadi tuh semuanya salah paham.”
“Istri kamu udah jelasin.” Eyang Uti meneguk air putihnya di gelas sebelum melanjutkan, “Tetapi tetap nggak bikin kamu lepas dari tanggung jawab. Eyangti tetap mau kamu berhenti jadi aktor.”
“Eyangtiii!” Ares merengek seperti anak kecil yang minta dibelikan mainan. “Eyangti kan tahu betapa Ares cinta sama profesi Ares ini?”
“Berarti kamu nggak sayang sama Eyangti?”
Ares meletakkan sendok dan garpunya seketika. Selera makannya benar-benar menguap. “Ya sayanglah, Eyangti! Nggak ada yang bisa ngalahin rasa sayang Ares ke Eyangti!”
“Kalau begitu ikuti kata Eyangti, kamu berhenti jadi aktor.”
“Kecuali itu, Eyangti, please? Ares belum bisa untuk itu.” Ares menatap Eyang Uti dengan tatapan memelas. “I just got back here, aku masih mau main seenggaknya tiga sampai lima film lagi dan satu atau dua series lagi, Eyangti.”
“Lalu terlibat masalah lagi dengan artis-artis perempuan seperti kemarin, iya?”
“Ares janji Eyangti, Ares nggak akan ceroboh seperti kemarin!”
“Apa jaminannya?” tanya Eyang Uti to the point.
Ares melirik Jani yang hanya diam tidak bersuara di sebelahnya. Apa benar kata Mbak Imah semalam kalau Jani sudah membela Ares di depan Eyang Uti? Kenapa sekarang perempuan itu hanya diam saja?
“Ngg... belum tahu, Eyangti.” Ares menggaruk kepalanya yang tidak gatal. “Tapi Ares janji bakal berubah. Ares nggak akan ketemuan sama perempuan di luar masalah kerjaan. Bahkan kalau soal kerja, sebisa mungkin Ares lakukan di tempat yang wajar dan nggak hanya berdua.” Tatapan lelaki itu bersungguh-sungguh mencoba meyakinkan Eyang Uti.
“Ok, Eyangti izinkan kamu untuk tetap jadi aktor.”
“Yang ben—”
“Dengan satu syarat!” Eyang Uti dengan cepat memutus ucapan Ares sebelum laki-laki itu terlalu senang. “Kamu dan Jani akan pergi bulan madu ke tempat yang Eyangti siapkan. Lusa kalian berangkat!”
“Hah?”
“Apa?”
Akhirnya Jani bersuara setelah sejak tadi hanya diam di antara percakapan nenek dan cucunya tersebut. Perempuan itu tidak menyangka akan mendengar itu dari nenek mertuanya.
“Bulan madu. Jalani kehidupan kamu dan Jani sebagai suami dan istri sesungguhnya, bukan hanya dua orang asing yang menikah di atas kertas. Kalian pikir Eyangti tidak tahu kalau kalian selama ini tidur pisah kamar, hah?”
Ares dan Jani saling tatap. Keduanya terkejut karena ternyata Eyang Uti hanya berpura-pura tidak tahu soal itu selama ini.
“Beri Eyangti cicit!”
“Eyangti!” Ares nyaris berteriak. Ini sih sama saja pemerasan! Dan apa katanya? Cicit? Berarti maksud Eyang Uti, Ares dan Jani harus membuat anak, begitu? Memangnya anak dibuat dari tepung, apa. Anak itu kan titipan Tuhan. Dan lagi, tanggung jawab memiliki anak itu bukan hanya untuk sehari dua hari tapi SELAMANYA!
“Eyangti sudah terlalu memanjakan kamu selama ini hingga akhirnya kamu menjadi pribadi kamu yang sekarang, Res. Sudah saatnya kamu menjadi dewasa! Kamu Eyangti nikahkan bukan hanya untuk merubah status tetapi juga membuat kamu bisa berpikir dan mulai bertanggung jawab dengan hidup kamu!” Eyang Uti mendorong piringnya, selera makannya sudah menguap. “Kamu yang pilih sendiri, Ares, Eyangti sudah memberikan kamu kesempatan.” Eyang Uti pun pergi meninggalkan meja makan, membiarkan Jani dan Ares lagi-lagi diselimuti keheningan.
Sebelum benar-benar pergi dari ruang makan, Eyang Uti berhenti sejenak dan mengatakan, “Kamu harusnya bersyukur dapat istri sebaik Jani. Kalau bukan karena Jani, kontrak kamu dan HS Entertaintment sudah Eyangti putus sejak kemarin.”
Selepas kepergian Eyang Uti, Ares menoleh ke arah Jani yang juga sepertinya bingung dengan apa yang terjadi. “Jani, kemarin kata Bi Imah kamu ngomong sama Eyangti dan kena marah. Bener?”
Jani menatap Ares lalu mengangguk.
Ares menghela napas, “Jadi bener kamu yang bujuk Eyangti?”
Jani lagi-lagi mengangguk. “Maaf kalau aku ikut campur.”
Ares tidak menyahut. Jujur, Ares bahkan tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Setelah segala sikap menyebalkan dan kebrengsekan yang ia lakukan pada Jani, bisa-bisanya perempuan itu masih membantunya. Ares bahkan merasa tidak punya untuk sekadar menatap perempuan itu saat ini. Malu saja rasanya tidak cukup!
“Thanks, Jani.”
Kini Jani yang mendorong piringnya yang sudah kosong. Ia memutar tubuhnya menghadap ke arah Ares dan menatapnya lurus. “Sekarang kamu maunya bagaimana?” tanya Jani serius. “Aku sudah coba bantu sebisaku dan Eyangti sudah kasih kamu pilihan. Semuanya ada di tangan kamu.”
Ares menyentuh pelipisnya, bingung. Kepalanya mendadak jadi sakit karena tidak tahu harus bagaimana. Pilihan dari Eyangti itu seperti dua bilah mata pisau. Sama-sama menyeramkan untuk Ares dan keduanya pasti sama-sama dapat membelahnya dengan cara dan mungkin waktu yang berbeda.
“Jujur, aku nggak tahu, Jani.” Ares menatap Jani sama seriusnya. Tetapi ekspresi lelaki itu juga terlihat sangat tersesat. Benar-benar tidak tahu harus bagaimana. “Dua-duanya pilihan yang sulit.”
“Apa karena aku setidak pantas itu untuk jadi istri kamu?”
Pertanyaan datar Jani membuat mata Ares melebar.
“Apa aku setidak layak itu untuk bisa dicintai oleh kamu?”
“Wait, Jani, kamu ngomong apa sih?” Ares mendadak bingung. “Kenapa jadi cinta?”
“Kamu sebegitu tidak maunya menjalani kehidupan pernikahan sama aku, apa lagi yang bisa aku pikirkan selain dua hal itu?”
Ares menyandarkan tubuhnya ke sandaran kursi. Tangannya meremas-remas sendiri rambutnya. “Jani, pernah nggak sih sekali aja kamu berpikir egois?” Ares menatap Jani lurus. “Pernah nggak sekali aja kamu berpikir kalau ada kesalahan itu nggak ada hubungannya sama kamu! Bukan kamu yang nggak pantas buat aku Jani, tapi aku—aku yang bahkan setitikpun nggak pantas buat jadi suami perempuan baik-baik seperti kamu!”