Rania sadar bahwa Prabu mengenalinya, dan kini tatapan pria itu begitu tajam padanya. Tapi Rania tidak takut, dia melakukan hal yang benar memarahi pria yang melanggar aturan. Hanya saja Rania khawatir, pria itu tidak akan balas dendam padanya ‘kan? Mengingat kekuasaannya.
“Bisa ya, Prab? Dia mau lulus tahun ini katanya. Dia tinggal dua bab terakhir. Sayang ini judul bagus, tapi dosen lagi gak banyak yang tertarik. Kamu kan anak murid saya. Bisa ‘kan?”
“Bisa, Pak,” ucap Prabu membuat Rania menahan napasnya sejenak.
“Nah bagus! Saya tinggalin dia disini ya, masih banyak kerjaan.” Rania ikut berdiri ketika pria tua itu hendak pergi. “Ngapain kamu ikut berdiri? Duduk disini, omongin semuanya sama Prabu.”
“Mari saya antarkan ke depan, Pak,” ucap Prabu, mereka berdua kini meninggalkan Rania sendiri di dalam ruangan dengan perasaan masih waspada.
‘Dia gak mungkin libatin perasaan pribadi ‘kan? Masa iya gak professional, lagian itu salahnya sendiri kenapa jalur transjakarta.’
Udaranya terasa panas, membuat Rania berpindah ke dekat kipas angin. Rania mendengus sambil menggerakkan tangannya di depan wajah, mencoba menangkap sedikit angin dari kipas angin yang berdiri tak jauh darinya. "Ruang Rektor kok AC-nya mati, mana gak kerasa banget ini anginnya," gumamnya tanpa sadar.
"Memangnya kenapa kalau gak ada AC?"
Rania nyaris melompat ketika mendengar suara berat itu. Ia menoleh cepat, mendapati Prabu sudah kembali masuk dan menatapnya dengan ekspresi datar.
"Dananya diprioritaskan dulu untuk fasilitas mahasiswa," lanjut pria itu tenang.
Rania langsung berdiri tegap. "Maaf, Pak."
"Untuk apa? Untuk mengoleskan krim ke mobil saya?"
Rania menelan ludah. Oke, dia harus tetap tenang. "Itu bukan hal yang harus membuat saya minta maaf," jawab Rania, tetap mempertahankan keberaniannya. "Bapak yang salah pakai jalur itu. Gak membenarkan walau saya menerima uang. Itu pelajaran supaya bapak tidak seperti itu ke depannya. Apapun yang terjadi, gak boleh pakai jalur itu. Gak dibenarkan ya, Pak."
Prabu menatapnya tajam, tapi alih-alih marah, pria itu malah mengambil berkas skripsinya yang diletakkan di meja dan membacanya sekilas. "Hukum, Politik, dan Etika Kekuasaan dalam Perspektif Filsafat Aristoteles: Analisis Kritis terhadap Implementasi Sistem Demokrasi Modern."
Rania langsung merasa kepalanya ikut berat hanya dengan mendengar judul itu.
Prabu terkekeh, sebuah senyum penuh makna tersungging di bibirnya. "Kamu yakin bisa menyelesaikan ini?" tanyanya sambil melangkah mendekat.
Rania menegang. Kenapa dia jalan ke sini? Kenapa ekspresinya kayak gitu?
"Kamu berani mengambil judul ini, artinya kamu harus menguasainya," lanjut Prabu, suaranya dalam dan tenang, tetapi ada tekanan yang tidak bisa diabaikan.
Langkahnya semakin mendekat, sementara Rania semakin mundur. "Saya tidak seperti dosen pembimbing yang lain. Kamu lemah dalam skripsi, artinya saya gagal. Kamu harus bisa menguasai teori, metodologi, dan membuktikan bahwa penelitian ini memiliki kontribusi nyata." Tatapannya semakin tajam. "Kamu paham gak?"
Rania menelan ludah. Mereka semakin dekat, bahkan Rania bisa merasakan hembusan napas Prabu. "Paham, Pa—AAA!"
Belum sempat menyelesaikan kalimatnya, Rania yang terus berjalan mundur tersandung rak di belakangnya. Tubuhnya kehilangan keseimbangan, dan dalam satu detik salah satu kakinya yang berada diantara kaki Prabu itu terangkat ke depan—dan BUGH! Menendang tepat di kemaluan Prabu.
"ARGHHHH!"
Prabu langsung terbungkuk sambil memegangi perut bawahnya, ekspresi wajahnya berubah antara syok, sakit, dan ingin mengutuk semesta.
Rania yang kini setengah terjungkal ke belakang menatapnya dengan horor. Salah satu kakinya masih berada di antara kaki Prabu, membuat situasinya tampak lebih buruk dari yang sudah ada.
****
Dita, salah satu sahabat Rania itu sebenarnya hanya datang untuk mengambil ATM dan belanja kebutuhan kafe. Tapi siapa sangka, ia malah duduk di taman rumah sakit sambil mendengarkan curhatan absurd sahabatnya.
"Jadi... lo secara tidak sengaja menendang kemaluan rektor lo sendiri?"
"Gue harus gimana, Dit?" keluh Rania sambil memeluk lututnya.
"Ya minta maaf lah, anjirr! Masa lo mau diem aja? Yang ada skripsi lo gak beres-beres."
"Tapi gue agak takut... Dia kayak punya dendam pribadi gitu."
"Itu mah jelas ada, Ra. Dia pasti dendam."
"Kan dia yang salah awalnya!"
"Yaudah, jangan takut."
"Gue takut ini berimbas ke skripsi gue," Rania mengusap wajahnya dengan frustasi.
Dita mendesah panjang, tangannya sudah gatal ingin membereskan masalah ini secepatnya. "Haduhhh, gue bingung. Sana lo minta maaf, jelasin semuanya, dan mulai dari awal lagi! Kita banyak orderan loh, Ra, jangan sampai nanti lu gak fokus kalau lagi baking. Udah, sana. Gue pergi dulu."
Setelah menepuk bahu sahabatnya, Dita pergi meninggalkan Rania yang kini duduk diam menatap rumah sakit.
Rania menarik napas panjang sebelum akhirnya memantapkan diri. Oke. Dia harus menyelesaikan ini.
Rania melangkah menuju ruangan tempat Prabu berada.
Saat ia masuk, pria itu sedang sendiri. Sebelumnya, Prabu terlihat bicara dengan seseorang yang tampaknya direktur rumah sakit ini—mungkin sahabatnya. Namun kini, yang tersisa hanya dirinya... dan Rania yang berdiri di ambang pintu.
Prabu duduk bersandar di atas ranjang rumah sakit.
Rania berdehem, berusaha bersikap santai. "Gimana keadaannya, Pak?"
"Baik," jawab Prabu singkat.
Rania menelan ludah sebelum menatap ke arah s**********n pria itu. "Kalau si kecil?"
Prabu menegang di tempatnya Ekspresinya berubah drastis. "Gak kecil ya! Dan kamu gak sopan banget nanya begitu!"
"M-maaf, Pak! Saya hanya khawatir!" Rania buru-buru menunduk, menyesal telah membuka mulutnya. "Sekali lagi saya minta maaf..."
Prabu menghela napas dalam, lalu berkata pelan, "Kamu pindah pembimbing aja. Nanti saya bicarakan dengan dosen lain."
"Loh? Jangan dong, Pak!"
Prabu menatapnya datar. "Kedepannya, saya rasa ini tidak akan berjalan dengan baik. Skripsi bukan hal yang bisa dicampur aduk dengan kejadian pribadi seperti ini."
Rania langsung panik. "Pak! Saya tahu pasti bapak begini karena saya yang bersalah. Saya minta maaf, Pak! Tolong jangan pindahkan saya. Lagipula kan awal masalahnya juga karena bapak yang salah ambil jal… pokoknya saya minta maaf, jangan pindahkan saya.”
"Itu sebabnya," ucapnya tenang, "Saya belum bisa memaafkan kamu. Saya kesal, jadi mending kamu pindah aja."
"Pak, please!" Rania merengek, benar-benar memohon. "Saya lakuin apapun biar bapak maafin saya dan kita bisa mulai dari awal lagi!"
Prabu menaikkan alisnya. "Apa saja?"
Rania terdiam sejenak. Perasaannya tiba-tiba gak enak.
Prabu menyeringai kecil sebelum mengulurkan tangan. "Deal?"
Rania ragu-ragu menatap tangan pria itu. Tapi demi skripsi... Tangan Rania perlahan menjabat tangan Prabu. "Deal."
Sedetik setelah mereka berjabat tangan, Prabu menepuk tempat di bibir ranjang rumah sakit. "Duduk," ucapnya tenang.
Rania mengerutkan dahi. "Hah?"
"Duduk," ulang Prabu dengan nada yang lebih tegas.
Rania, masih bingung dengan situasi ini, perlahan menuruti perintah itu. Ia duduk di bibir ranjang, tepat menghadap pria itu. Jarak mereka terlalu dekat. Hatinya mulai bertanya-tanya. Prabu mau apa? Kenapa pria itu tiba-tiba mengangkat tangannya… dan menggenggam jemarinya?
Rania merasa ada yang tidak beres. "Pak, ini maksudnya ap—"
Belum sempat ia protes, pintu ruangan tiba-tiba terbuka.
Rania nyaris menoleh, tetapi tangan Prabu dengan cepat menahan pipinya, memaksanya tetap menatap lurus ke arah pria itu.
"Ini yang harus kamu lakukan untuk mendapatkan maaf saya," bisik Prabu pelan, suaranya begitu rendah hingga hanya mereka berdua yang bisa mendengar.
Jantung Rania seketika berdebar tak karuan. Apa-apaan ini?!
"Loh? Prabu?"
Sebuah suara wanita paruh baya terdengar dari ambang pintu.
“Kamu sama siapa itu?” Lanjutnya.
"Ini Rania," ucapnya tanpa ragu. "Pacarnya Prabu, Ibu."
Seketika mata Rania membulat.
APA-APAAN INI?!