Terjebak Kesepakatan

1230 Words
Rania hanya diam, membiarkan Prabu terus menyebut dirinya sebagai pacar di depan ibunya. Ibu Dahayu. Nama itu terdengar lembut, tetapi auranya sama menekan seperti putranya. Wanita itu tidak banyak berekspresi, hanya duduk dengan postur tegap, matanya mengamati dengan teliti tanpa menunjukkan rasa suka ataupun tidak suka. Sikap netral yang seharusnya menenangkan, tetapi justru membuat Rania semakin tidak nyaman. Di dalam hatinya, ia bertanya-tanya—kenapa Prabu melakukan ini? Apa yang sebenarnya ia rencanakan? Prabu terus berbicara, menciptakan kebohongan yang semakin besar, mengatakan bahwa mereka telah berhubungan selama setahun dan masih dalam masa perkenalan yang serius. Tangannya merangkul bahu Rania, jari-jarinya menggenggam erat tangannya, seolah ingin memastikan bahwa sandiwara ini berjalan sempurna. Rania tidak berani menarik diri, tetapi dalam hati ia sudah merutuki pria tua itu berkali-kali. Ini tidak masuk akal! Sementara Rania tidak mendapatkan kesempatan bicara, Ibu Dahayu masih menatapnya cukup lama sebelum akhirnya beranjak dari tempatnya. "Jaga anak saya, ya," ujar Ibu Dahayu akhirnya. Rania refleks mengangguk. "Baik, Bu," jawabnya cepat, meskipun hatinya menjerit tidak terima. Ibu Dahayu kembali menatap putranya sebelum akhirnya berkata, "Ibu mau lanjut jenguk teman Ibu. Kita bicarakan ini lagi nanti, di depan ayahmu." "Iya, Bu," balas Prabu dengan nada datar. Begitu wanita itu keluar dan pintu tertutup, Rania langsung melepaskan tangan Prabu dan menatapnya tajam. "Pak?! Apa itu maksudnya?! Kita pacaran selama setahun?!" Prabu hanya menanggapi dengan ekspresi santai, seolah semua ini bukan masalah besar. "Gak perlu khawatir gitu. Gak mungkin saya serius. Saya hanya perlu kamu buat sandiwara." "Kok gitu, Pak? Kenapa?" "Kamu gak punya hak ya nanya alasannya apa," balas Prabu, kali ini lebih malas menanggapi. "Yang jelas, selama kamu bimbingan skripsi, kamu jadi pacar pura-pura saya." Rania melotot. "Depan semua orang gitu?!" "Ya enggak lah," Prabu mendengus. "Saya juga males dikenal semua orang jadi pacar perempuan ceroboh kayak kamu." Keduanya saling menatap tajam. Aura pertengkaran nyaris tercipta di ruangan itu kalau saja Prabu tidak melanjutkan kalimatnya dengan nada santai, "Cuma di depan orangtua saya dan orang-orang tertentu. Kalau kamu gak mau, sana pergi. Saya juga membantu kamu menyelesaikan skripsi yang terbengkalai. Gak ada timbal balik mending pergi saja.” Prabu menggerakan tubuhnya membelakangi Rania. "Pak, iya, Pak! Saya mau kok!" Rania buru-buru menahan pria itu. "Jangan ngambek napa, Pak." "Siapa yang ngambek?" tanya Prabu. “Saya mau ambil dompet.” Santai, lalu menarik sesuatu dan kembali duduk. Rania membelalak ketika Prabu menyerahkan sebuah kartu ATM ke arahnya. "Masakin saya juga di apartemen," ucapnya datar, seolah permintaan itu hal yang sangat wajar. "Pak?! Kok gitu? Rasannya keterlaluan gak sih?" "Loh, saya menanggung skripsi juga keterlaluan," balas Prabu tenang. "Harusnya saya sudah bisa lepas karena memegang banyak pekerjaan. Seenggaknya kamu kasih bantuan supaya saya tetep sehat. Kalau tidak ma—" "Mau! Mau! Saya mau masakin Bapak banget!" potong Rania cepat sambil merampas ATM itu tanpa malu-malu. Prabu hanya terkekeh. "Saya suka lupa makan malam, kamu anterin itu ke apartemen saya. Sekalian bimbingan.” “Iya.” “Nanti saya hubungi kamu.” “Iya, Pak.” “Udah sana pulang, saya masih ada urusan di sini." Rania menghela napas panjang. Nasibnya… diperbudak rektor sendiri. **** Prabu tidak bermain-main dengan ucapannya. Dua hari setelah kejadian itu, Rania menerima alamat apartemen Prabu di chat pribadinya. Bahkan pinnya pun ikut dikirim. Tanpa perlu penjelasan lebih lanjut, ia tahu ini adalah kode untuknya mulai memasak. Di Ruang Rasa, kafe yang ia jalankan bersama Dita dan Tasha, Rania duduk dengan wajah suntuk sambil menatap layar ponselnya. "Udah, turutin aja, lagian kan masak skill lo, Ra," ucap Tasha santai sambil menyeruput es kopi. Dita mengangguk setuju. "Kalau malem kan kafe kita jaga, gak usah khawatir apa-apa. Mending beresin dulu skripsi, takutnya lo gak diajak lagi liburan sama Nyokap Bokap," tambahnya sambil mencomot donat di meja. Rania berdecak. "Tapi dia belum ngasih tau gue kapan harus datang ke apartemennya." "Ya sekarang lah, itu udah dikasih alamatnya," sahut Dita. "Tapi pas gue tanya balik bimbingan sekarang atau enggak, belum dibales," Rania cemberut sambil memainkan ponselnya. Tasha mendesah panjang. "Yaela, inisiatif lah, kesana lihat situasi dulu. Pak Rektor aja udah percaya kasih pin apartemennya ke lo. Sambil belanja juga mungkin penuhin kulkas? Lo kan harus masak.” Rania mencicit pelan. "Takut... katanya…., dia belum nikah sampai sekarang?" Dita menatapnya bingung. "Terus?" "Takut diapa-apain," jawab Rania setengah berbisik. Tasha langsung tertawa. "Beuh, gue mah kalo diapa-apain ya terima aja! Ganteng gitu, hot banget gak sih?" "HEH Anjir!" Rania mengutuk sambil mengetuk meja kayu kafe, membuat kedua sahabatnya makin ngakak. "Tapi serius deh," Rania kembali menggumam, tatapannya menerawang, "Jadi tanda tanya kenapa dia belum nikah padahal udah mau 40. Mungkin kelakuannya itu gak bener, atau dia itu... tau ah." "Jangan gitu, heh," tegur Dita, meski jelas-jelas dia juga penasaran. "Yang jelas gue gak mau digimana-gimanain. Gue cintanya cuma sama Rei doang." Tasha mendengus. "Bucin gak bikin lo lulus skripsi, Ra." Rania menghembuskan napas panjang. Teman-temannya ini benar-benar sudah kompak menjerumuskannya ke dalam perangkap pria tua licik itu. Setelah menatap alamat yang tertera di ponselnya sekali lagi, Rania akhirnya berdiri dan meraih tasnya. "Yaudah... gue pergi." Rania pergi ke apartemen itu dengan taksi. Begitu taksi berhenti, Rania cukup tersentak kaget dengan kemewahan bangunannya. Bangunan apartemen itu menjulang megah di tengah hiruk-pikuk Jakarta Pusat, menampilkan desain klasik Eropa yang elegan dengan pilar-pilar tinggi dan dinding berukiran detail. Lobi apartemennya luas, dengan lantai marmer mengkilap yang memantulkan cahaya lampu kristal di langit-langit. Kesan mewah terasa begitu kuat, mulai dari sofa kulit yang tersusun rapi, meja resepsionis berlapis emas, hingga aroma parfum ruangan yang menyebar lembut di udara. "Ini apartemen orang atau istana?" gumam Rania lirih. Apalagi setelah keluar lift, ia kembali terkagum-kagum. Koridor yang juga terasa berbeda dari apartemen pada umumnya. Lorongnya luas, dengan pencahayaan hangat dan karpet tebal yang meredam suara langkah kaki. Bahkan, ada beberapa area santai dengan sofa kecil dan meja di sepanjang koridor. "Orang kaya kah si bapak? Mukanya padahal kayak orang susah, wkwkwkw.” Sampai di depan pintu apartemen Prabu, ia kembali mengirim pesan. ME: Pak, saya udah di depan. Saya harus gimana? Tidak ada jawaban. Ia menelpon Prabu, tetapi tidak diangkat. "Astaga, ini orang maunya gimana sih?" Rania mendengus kesal, mengutuk pria tua itu dalam hati. Akhirnya, ia memutuskan untuk masuk saja. Bisa saja Prabu memang sengaja tidak membalas pesan karena ingin makan malam sudah tersedia saat ia pulang dari kampus. Rania langsung dibuat terkagum-kagum lagi. Langit-langitnya tinggi, memberikan kesan luas dan megah. Interiornya menggabungkan konsep modern dengan elemen klasik, seperti dinding putih dengan aksen panel kayu, lampu gantung kristal yang menjuntai elegan, serta lantai marmer yang mengilap. Di sebelah kanan, ada tangga spiral menuju lantai dua, sementara di sebelah kiri, dapur minimalis berwarna hitam matte tampak seperti bagian dari desain showroom mahal. "Wow…" gumam Rania, tanpa sadar melangkah masuk lebih jauh. Hingga di tengah kekagumannya, ia mendengar suara. "Ahhh… hmmm…" Rania menghentikan langkahnya. Alisnya bertaut. Suara apa itu? Ia memiringkan kepala, mencoba lebih fokus. Suara… kecipak bibir? Rania mengerutkan dahi. Refleks, ia melangkah ke belakang, mencari asal suara. Begitu mendekat ke arah veranda lounge, sebuah area di bagian luar, dengan konsep semi-terbuka yang luas dengan taman kecil, tanaman hijau, dan sofa santai, matanya langsung membulat. Di sana, Prabu sedang memangku seorang wanita. Dan… mereka tengah berciuman. "Astaga…," Rania langsung membalikkan badan, panik. Dia harus pergi! Namun, sial! Dalam kepanikannya, bahunya menyenggol sebuah vas bunga di atas meja. CRAI! Suara keras itu menggema di dalam apartemen. Prabu segera menoleh tajam ke arah sumber suara. "Siapa di sana?!" teriaknya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD