Rania menghela napas dalam, pikirannya kembali pada kejadian tiga hari yang lalu.
Mireya menamparnya. Bukan sekadar tamparan biasa, tapi tamparan penuh amarah dan salah paham. Rania masih bisa merasakan panasnya di pipi, meskipun bekasnya sudah hilang. Itu pertama kalinya dalam hidupnya ia ditampar, dan sialnya, tanpa alasan yang pantas.
Prabu marah besar setelah tahu kejadian itu. Setelah perdebatan panjang, Mireya akhirnya meminta maaf, tapi Rania tidak bisa menerimanya begitu saja. Butuh waktu.
Sejak itu, ia memilih menjaga jarak. Tidak datang ke apartemen Prabu, tidak mau bertemu secara langsung. Dia hanya mengirimkan makan malam lewat ojol, mencari alasan sibuk setiap kali Prabu menghubunginya. Bahkan ia sampai menelepon si Mbok, meminta bantuannya untuk memberi pengertian pada Daisy bahwa "Bunda" sedang ada pekerjaan.
Padahal, kenyataannya?
Rania masih marah.
Marah pada Mireya, marah pada Prabu, dan marah pada dirinya sendiri.
Sial, dia ada di sana justru untuk menutupi hubungan mereka. Tapi malah kena tampar.
"Ra, pleaseeeee, lo yang berangkat ke Senayan ya? Kakak gue kecelakaan."
Rania mengerjapkan mata, tersadar dari lamunannya saat suara Dita mendesaknya. “Hah? Kecelakaan di mana? Gimana?”
“Nanti gue jelasin. Nih kunci mobilnya. Bye.” Dita buru-buru menyerahkan kunci mobil padanya sebelum langsung berlari keluar, meninggalkan Rania yang masih memproses situasi.
Ia menatap kunci itu, menghela napas. Masalahnya, dia harus pergi ke The Sultan Hotel & Residence Jakarta, tempat acara keluarga besar Prabu berlangsung. Ibu Dahayu memesan catering dari Ruang Rasa, dan Rania sudah memastikan dari awal kalau dia tidak akan ikut mengantarkan pesanan.
Dia tidak mau berurusan dengan keluarga besar Prabu.
“Tasha!” Rania memanggil nama temannya, menoleh ke sana kemari mencari sosok Tasha. Tapi sialnya, Tasha tidak ada di mana-mana. “Taasha, gue butuh lo buat ke Senayan!” panggilnya lagi.
“Gue di toilet, g****k!” sahut Tasha dari dalam kamar mandi.
Rania buru-buru menghampiri pintu toilet. “Lo aja yang pergi, Ta. Gue nggak bisa.”
“Hah? Lah kenapa?”
“Ada urusan.”
Tasha terkekeh sinis dari dalam. “Urusan lo apa? Masih sakit hati gara-gara Mireya? Plis, itu udah tiga hari yang lalu.”
“Gue udah terlanjur bohong sama Bu Dahayu kalau gue ngunjungin nenek.”
“Nenek lo udah mati, Tai.”
“Ya makannya lo aja yang pergi, gue malu takut ketahuan.”
Terdengar suara klik, pintu toilet terbuka, dan Tasha menatapnya penuh emosi. “Lo tahu gue sakit perut dari pagi kan?! Sekarang gue di toilet mules begini, dan lo masih berharap gue yang pergi?”
Rania menggigit bibirnya. “Tapi—”
“Udah, gak usah drama! Gue sakit perut, lo yang harus pergi. Lo pikir itu catering berapa perak? Jutaan anjir! Bodoh amat sama masalah lo sama Prabu atau Mireya, duit tetap duit. Lo mau tanggung jawab kalau ada apa-apa di jalan?”
Rania mendengus, tapi tak bisa membantah. Tasha benar. Dia menggeram sebelum akhirnya menyerah. “Yaudah, gue pergi.”
Tasha menyeringai puas. “Good girl. Jangan lupa pakai lipstik, biar nggak keliatan kayak cewek yang baru dighosting.”
“Gak usah ngeledek, dia lagi sibuk, nanti juga balik lagi ke gue.”
“Halah, udah gue bilang mending goda Pak Prabu, apalagi anaknya udah suka sama lo.”
Rania mendecak sebelum berbalik menuju mobil.
Terpaksa.
Sial benar.
Sekarang dia harus pergi ke Senayan, ke acara keluarga Prabu, sesuatu yang sangat ingin dia hindari.
Dan Rania tahu pasti dia akan ditahan. Maka dari itu, sebelum berangkat ke The Sultan Hotel & Residence Jakarta, dia pulang dulu ke rumah.
Bukan untuk apa-apa. Hanya untuk memastikan dirinya tampil pantas. Acara ini bukan sekadar meeting bisnis atau urusan catering biasa. Ini family gathering keluarga besar Prabu. Dengan kata lain, kalau Rania datang dengan tampilan seadanya, sudah pasti dia akan menarik perhatian yang salah.
Setelah mandi, Rania memilih kebaya modern dengan warna pastel, dipadukan dengan rok batik yang tidak terlalu formal. Rambutnya ia sanggul rendah, riasannya sederhana tapi cukup untuk menutupi wajah letihnya belakangan ini.
Dalam hati, ia masih berharap semoga Ibu Dahayu tidak ada di sana.
Jadi, dia bisa memeriksa catering, menyerahkan tanggung jawab ke tim hotel, lalu pulang.
Namun, begitu dia melangkah masuk ke ballroom…
Sial.
Di sana, di tengah ruangan yang penuh tamu, berdiri seorang wanita dengan kebaya Sunda yang anggun, rambut disanggul rapi, lengkap dengan bros emas yang melekat di d**a.
Ibu Dahayu. Dan yang lebih buruk? Wanita itu melihatnya langsung.
Matanya berbinar, bibirnya melengkung dalam senyuman penuh kehangatan. "Nakkkk!"
Rania refleks ingin kabur.
Tapi Ibu Dahayu sudah menghampirinya, menyambutnya seperti anak sendiri, bahkan tanpa memberi kesempatan untuk bicara.
"Kok gak bilang mau datang? Sini, Nak."
Seketika, Rania merasa sesak napas saat wanita itu memeluknya erat.
“Sudah berkunjung ke Neneknya?”
“Sudah, Bu.”
Oh, ini buruk.
Dan sebelum Rania bisa menyusun alasan untuk segera pergi, Ibu Dahayu malah menarik tangannya ke arah lain. "Eh, kenalin…"
Hah? Kenalin siapa?
"Calon ayah mertua kamu," lanjut wanita itu sambil tersenyum lebar.
Haduh. Mampus.
****
Prof. Wibisana Adinagoro. Pria paruh baya dengan aura berwibawa itu menatap Rania dengan penuh ketertarikan. Sebagai seorang profesor budaya yang sudah pensiun, tatapan beliau tajam, penuh analisis, seolah mampu membaca isi kepala lawan bicaranya dalam sekejap.
Rania langsung merasa canggung.
Sial.
Bicara dengan seorang akademisi yang begitu berwawasan luas bukanlah hal yang mudah. Apalagi, Prabu sendiri juga seorang rektor. Satu keluarga mereka memang ditakdirkan memiliki otak yang tajam.
Sementara Rania? Skripsinya saja baru jalan lagi setelah dua tahun mangkrak.
Tapi, dia tetap berusaha bersikap sopan. Mengangguk, tersenyum, menjawab seperlunya. Sayangnya, bukan hanya Prof. Wibisana yang dikenalkan padanya. Ibu Dahayu dengan antusias menariknya ke sana kemari, memperkenalkannya kepada seluruh kerabat keluarga Dewangga.
Rania hanya bisa tersenyum hambar, berusaha tetap ramah meskipun dalam hati ingin segera pergi.
Dan acara pun berlangsung… hingga akhirnya, puncak dari semuanya tiba.
Prabu datang.
Pria itu melangkah memasuki ballroom dengan tenang, tampak gagah dalam setelan batik berwarna gelap. Namun, bukan itu yang membuat ruangan seakan membeku sesaat.
Tapi karena Daisy.
Begitu melihat Rania, bocah itu langsung berlari menerjang dengan penuh semangat.
"Bunaaaa!"
Rania yang refleks menahan tubuh kecil itu segera menggendongnya erat. "Halo, cantik," bisiknya lembut, menciumi pipi bocah itu.
Namun, saat akhirnya ia mengangkat kepala…
Ia bertemu dengan tatapan Prabu.
Dan pria itu—terdiam.
Hanya menatapnya, matanya seolah menelusuri setiap detail penampilan Rania malam ini. Kebaya pastel yang membalut tubuhnya begitu pas, menyempurnakan bentuk tubuhnya yang mungil namun berisi. Sanggul rendahnya memperlihatkan leher jenjangnya dengan anggun.
Wajahnya yang selalu ceria kini terlihat lebih lembut, lebih dewasa, lebih… menawan.
Sial.
Prabu tidak bisa memalingkan pandangan. Namun, perempuan itu justru menghindari tatapannya.
"Kamu datang?" tanya Prabu akhirnya, suaranya datar, tapi ada sedikit nada heran. "Katanya gak bisa?"
Rania menyesap napas pendek sebelum menjawab. "Udah selesai urusannya, Mas."
Ibu Dahayu terkekeh, tampak sangat puas melihat interaksi mereka. "Yaudah, kalian berduaan aja dulu, ya. Keliatan banget Prabu kangen."
Rania hanya terkekeh hambar, tak tahu harus menjawab apa. Kini, mereka bertiga duduk di meja bundar yang agak terpisah dari pusat acara. Daisy masih nyaman di pangkuan Rania, sementara Prabu duduk di seberangnya, menatapnya lekat-lekat.
Rania mendecak, merasa risih. "Jangan liatin saya kayak gitu."
Prabu masih belum melepaskan pandangannya. "Kamu cantik."
Rania mendesah, tak mau masuk ke perangkap pria itu. "Makasih."
Setelah itu, ia memilih untuk lebih fokus pada Daisy. Memeluknya erat, membiarkan anak itu bersandar di dadanya, sambil berharap acara ini segera selesai.
Sementara Prabu? Ia masih menatapnya.
Di pertengahan acara Daisy menggeliat di pangkuan Rania, tangannya mencengkeram lengan sang ayah.
"Yayah... Sisy mo ke toilet..." rengeknya manja.
Prabu menghela napas, lalu bangkit dari duduknya. "Ayo, kita ke toilet dulu."
Rania memperhatikan keduanya berjalan menjauh. Begitu mereka menghilang di keramaian ballroom, ia langsung menarik napas lega.
Ini kesempatan untuk kabur.
"Maafkan Bunda ya, Sisy. Bunda masih kesel sama bapak kamu," gumamnya pelan, sebelum akhirnya bangkit dari kursinya.
Tanpa membuang waktu, Rania melangkah cepat menuju tempat Ibu Dahayu. Wanita itu masih sibuk berbincang dengan kerabatnya, tapi begitu melihat Rania mendekat, ia langsung tersenyum hangat.
"Ibu, saya pamit dulu, ya. Ada masalah di kafe, dan kedua teman saya sedang tidak bisa datang. Saya harus pergi sekarang."
Ibu Dahayu tampak sedikit terkejut. “Masalah apa, Nak?”
“Biasa ada salah komunikasi, salah tanggal booking tapi malah ngeyel. Boleh saya pergi, Bu?”
"Oh, baiklah, Nak. Hati-hati di jalan, ya. Kabari kalau ada apa-apa."
Rania hanya tertawa kecil. "Iya, Bu."
Begitu izin didapat, ia segera melesat keluar dari hotel. Langkahnya cepat, hampir setengah berlari ke arah parkiran. Dalam hati, ia bisa membayangkan wajah Prabu yang pasti akan kesal kalau tahu dirinya kabur.
Terserah. Dia juga gak mikirin perasaan gue kemarin.
Sampai di kafe, Rania langsung masuk ke bagian dalam, jauh dari area pengunjung. Napasnya masih sedikit terengah saat ia berteriak,
"Tashaaaaa!!! Plisss bantuin gue! Gue pengen kabur dulu!"
Tasha, yang sedang sibuk membuat larutan oralit, hampir saja menumpahkan minumannya. "Astaga, lo ngagetin gue!"
Tapi Rania tidak peduli. Ia langsung memeluk temannya erat-erat, wajahnya menempel di bahu Tasha.
"Pengen pergi dulu... Galau sama Kak Ray, terus si Pak Rektor juga pasti bakalan nyuruh-nyuruh gue, ditambah lagi orangtua gue terus minta kelarin skripsi. Pleaseeee kasih gue libur! Mau liburan!"
Tasha mendengus. "Si anjir! Kita lagi naik daun, masa lo malah libur sih?!"
Rania mendesah, masih memeluk Tasha erat-erat, seakan nasibnya bergantung pada gadis itu.
Tasha berpikir sejenak, lalu teringat sesuatu. "Eh, mending lo ke Bali aja gih. Cabang kita yang disana kan masak buat acara pendidikan. Mau gak? Gantiin si Dita."
Sekejap, mata Rania langsung berbinar.
"Eh iya! Gue mauuuuuu!"
Sementara itu di sisi lain, Prabu mengerutkan dahi. “Kemana dia?" gumamnya pelan.
Sejak kembali dari toilet bersama Daisy, ia tidak lagi melihat sosok Rania di meja mereka. Awalnya ia berpikir perempuan itu hanya sedang berbicara dengan kerabatnya, tapi setelah beberapa menit berlalu dan Ibu Dahayu menyebutkan kalau Rania sudah pulang lebih dulu, Prabu hanya bisa mendesah panjang.
Daisy di pangkuannya tampak tidak terima.
"Yayahhh! Sisy mo Bunda!" rengeknya, mencengkeram kerah jas Prabu dengan mata memelas.
Prabu mengusap kepala anaknya, mencoba menenangkan. "Bunda udah pulang duluan, Nak. Besok kita ketemu lagi, ya?"
"Tidaaaak! Sisy mo Bunda!"
Prabu menghela napas dalam. Ia sebenarnya paham kenapa Rania tiba-tiba menghilang seperti ini. Perempuan itu pasti masih kesal.
Dan Prabu tahu dirinya juga yang salah.
Rania telah dijadikan tameng untuk hubungan diam-diamnya dengan Mireya, tanpa pernah benar-benar diberi pilihan. Lalu insiden di apartemen, tamparan Mireya, semuanya pasti membuatnya semakin muak.
Tidak heran kalau dia kabur.
Setelah acara selesai, Prabu memutuskan untuk tidak langsung pulang. Ia meminta ibunya menjaga Daisy malam ini.
" Daisy nginep di hotel dulu sama Ibu, ya?"
Ibu Dahayu menatap putranya penuh tanya. "Kamu mau kemana malam-malam begini?"
"Ke kafe Rania. Ada yang harus bicarakan."
Ibu Dahayu mengangkat alis. "Oh? Baiklah, jangan sampai kamu kehilangan sosok Ibu untuk Daisy."
Prabu hanya tersenyum tipis, tidak menjawab. Dia langsung memacu mobilnya ke Ruang Rasa. Namun begitu sampai, ia hanya bisa menatap gerbang kafe yang sudah tertutup rapat.
Tutup.
Ia menghela napas pelan, menatap jendela kafe yang gelap. Ponselnya dikeluarkan, mencoba menghubungi Rania, tapi seperti dugaannya—tidak diangkat.
Bahkan pesannya hanya centang satu.
Prabu mendecak kesal. Perempuan itu benar-benar sedang menghindarinya.
Ia bersandar di mobilnya, menatap layar ponsel yang menyala. Saat itulah sebuah pesan masuk dari Tama, asisten pribadinya.
"Pak, saya ingatkan kembali, besok pagi ada penerbangan ke Bali untuk mengisi seminar pendidikan. Mohon konfirmasi keberangkatan. Terima kasih."
Prabu mendengus. Seolah belum cukup pikirannya dipenuhi Rania, sekarang dia harus menghadapi jadwal yang padat juga.
Tanpa membalas pesan itu, ia memasukkan ponselnya kembali ke dalam saku, menatap kafe yang gelap untuk terakhir kalinya, sebelum akhirnya kembali masuk ke dalam mobil.
Besok dia akan ke Bali.
Dan Rania… entah kapan perempuan itu akan muncul lagi.