Api dalam Bekunya Malam

1391 Words
Rania sangat menyukai Rayyan. Kakak tingkatnya itu adalah tipe pria yang cool tapi karismatik, seorang fotografer profesional yang terlihat effortless dalam segala hal. Beberapa bulan sebelumnya, mereka bekerja sama dalam sebuah proyek pemotretan makanan untuk Ruang Rasa, kafe yang Rania kelola bersama teman-temannya. Saat itulah komunikasi mulai terjalin, dengan obrolan santai yang mengalir begitu saja. Rayyan sering datang ke kafe, tidak sekadar untuk bekerja, tapi juga mengobrol dengannya. Bahkan sesekali, pria itu memberinya bunga mawar, entah karena iseng atau ada maksud lain. Sayangnya, belakangan ini Rayyan semakin sibuk. Balasannya semakin jarang, dan Rania mulai merasa… galau. Namun, pikirannya teralihkan ketika menatap wajah mungil Daisy yang sedang bermain air di sampingnya. Gadis kecil itu seperti boneka hidup, wajahnya cantik dengan rambut hitam panjang yang dikuncir dua. Pipinya kemerahan karena kedinginan, tetapi matanya tetap berbinar. Mereka berenang di infinity pool apartemen Prabu, menikmati pemandangan Jakarta dari ketinggian. Cahaya lampu kota berpendar di permukaan air, menciptakan refleksi yang indah. Angin malam berhembus sejuk, membuat Rania sedikit menggigil. “Ndaaa... mo boboo yuuu?” “Ngantuk? Yasudah, sebentar ya.” Rania bergegas keluar dari kolam, membungkus tubuh Daisy dengan handuk tebal sebelum menggendongnya masuk ke dalam. Tapi saat melihat dirinya sendiri… sial. Dia lupa membawa baju ganti. Baju renangnya sudah basah kuyup, dan angin malam mulai menusuk kulitnya. Dia melirik sekitar, berharap ada solusi. Hingga matanya menangkap sebuah paper bag di sofa ruang tamu. Dia membuka isinya, dan seketika wajahnya memanas. Lingerie? Tapi daripada tidak memakai apa-apa… ya sudahlah. Setelah memastikan Daisy kering dan nyaman, Rania menidurkan bocah itu di kamar anak. Daisy memeluknya erat, menempel seperti koala. “Ndaa... tidul sini kapan?” tanyanya dengan suara mengantuk. “Tidur di sini? Kapan-kapan ya, Bunda masih banyak pekerjaan.” “Mo ikut ndaaa…” “Kalau Bunda nggak sibuk ya. Bunda kerjanya sibuk, banyak yang datang.” “Sisy mo datang…” Rania terkekeh. “Hehehe, boleh. Nanti datang ke kafe Bunda ya. Sekarang tidur dulu, oke?” Daisy mengangguk kecil sebelum akhirnya benar-benar terlelap dalam pelukannya. Seminggu bersama anak ini, Rania mulai menyadari satu hal. Daisy tidak hanya manja, tapi juga sangat mendambakan sosok ibu. Dan entah kenapa, itu membuat Rania merasa sedikit… kasihan. Namun sayangnya, Rania tidak bisa langsung pulang. Biasanya, ia tak pernah berlama-lama di sini. Bimbingan skripsi, menyelesaikan urusan Prabu, lalu pulang. Tapi kali ini, sial benar. Prabu tidak bisa dihubungi. Ponselnya hanya memberikan nada sambung tanpa jawaban, meninggalkan Rania dengan kebingungan dan kantuk yang semakin menumpuk. Di luar, hujan turun deras, udara semakin menusuk kulit, dan tubuhnya mulai lelah. Daisy sudah tertidur pulas di kamar, sementara dirinya hanya bisa menunggu. Rania akhirnya menyerah. Ia mengambil selimut dari kamar Daisy, membawanya ke sofa di ruang tengah, lalu membungkus dirinya rapat-rapat. Awalnya, ia hanya ingin mengistirahatkan mata sejenak. Namun, kantuk menguasai, tubuhnya melemas, dan dalam hitungan menit, ia terlelap. Hanya saja, yang tidak ia sadari—selimut yang menyelimuti tubuhnya perlahan jatuh ke lantai, meninggalkannya hanya dengan pakaian tipis di ruangan ber-AC yang terus bekerja tanpa henti. Hipotermia ringan bisa terjadi pada siapa saja, bahkan dalam ruangan tertutup. Ketika suhu tubuh turun di bawah 36°C, sistem saraf mulai melambat, menyebabkan tubuh menggigil dalam upaya mempertahankan panas. Tapi jika kondisi ini berlanjut, tubuh justru akan kehilangan kemampuan untuk menggigil. Darah dialihkan dari permukaan kulit ke organ dalam, menyebabkan ujung jari terasa mati rasa, otot-otot melemah, bahkan menyebabkan disorientasi. Dan begitulah yang terjadi pada Rania. Di tengah tidurnya, napasnya melambat. Kulitnya terasa semakin dingin. Tubuhnya menggigil, tapi tak ada lagi refleks untuk menarik selimut yang telah jatuh. Bibirnya mulai sedikit membiru, napasnya pendek dan tidak stabil. Saat itulah Prabu datang. “Rania?” Gadis itu tampak pucat. Tubuhnya menggigil pelan, tangan kecilnya sedikit mengepal di atas perutnya, dan bibirnya terbuka samar, menggumamkan sesuatu yang nyaris tak terdengar. “Hngghhh… dingin…” Prabu langsung mendekat, berjongkok di sampingnya, menyentuh pipinya—dingin sekali. Rania membuka matanya perlahan, terlihat setengah sadar. "Bapak?" gumamnya lemah. "Bapak lama banget…" "Kamu hipotermia, Rania," ucap Prabu cepat. “Aku mau pulang…” suaranya pelan, matanya berusaha fokus, tapi kepala terasa berat. Rania berusaha duduk, tapi keseimbangannya hilang. Prabu buru-buru menangkapnya sebelum ia terjatuh lagi. “Dingin…” Prabu mengumpat dalam hati sebelum membaringkan Rania kembali ke sofa. Napas gadis itu pendek-pendek, kulitnya semakin dingin. Ia harus bertindak sekarang sebelum kondisinya memburuk. Tanpa berpikir panjang, Prabu mulai membuka kancing kemejanya, menariknya dari tubuh hingga tersisa celana panjang saja. Namun, begitu Rania melihatnya, ia menatap dengan ekspresi antara bingung dan waspada. “Bapak mau apa?” “Bikin kamu hangat.” Rania masih sempat menyipitkan mata. “Jangan macam-macam, Bapak… Mau apa?” Prabu menggeram pelan. “Diam, Rania. Saya gak mau tempat ini jadi TKP.” Meski masih menggigil, Rania mengerahkan sisa tenaganya untuk melawan Prabu saat pria itu membuka pakaiannya. “Bapak mau apa?!” Prabu tidak membalas. Ia membuka seluruh pakaian dan menyisakan celana dalam, menarik Rania ke dalam pelukannya, lalu menyelimuti mereka berdua dengan selimut tebal. Rania awalnya masih ingin berontak, tapi tubuhnya terlalu lemah. Dan… panas dari tubuh Prabu memang mulai terasa. d**a bidang pria itu bersentuhan dengan kulitnya yang dingin, menciptakan kehangatan yang menjalar perlahan ke tubuhnya. Pelukan Prabu erat, hangat, berbahaya—tapi nyaman. Beberapa menit berlalu. Suhu tubuh Rania mulai naik perlahan, napasnya lebih teratur, dan rasa kantuk kembali menyerangnya. Tanpa sadar, ia memejamkan mata, tenggelam dalam dekapan itu. Namun, Prabu? Prabu sama sekali tidak tenang. Dia mengumpat dalam hati ketika menyadari sesuatu—sesuatu yang kenyal, bulat, dan cukup keras yang kini bergesekan langsung dengan dadanya. Astaga. Kenapa dia malah merasa lebih panas daripada Rania sekarang? **** Rania bangun lebih dulu. Dan betapa terkejutnya dia ketika mendapati dirinya berpelukan erat dengan Prabu. Selimut masih membungkus tubuh mereka, tetapi yang membuatnya panik adalah kenyataan bahwa d**a mereka saling bertemu di bawah selimut. Astaga. Pria itu masih terlelap, napasnya teratur, wajahnya begitu dekat hingga Rania bisa merasakan embusan napas hangatnya di pelipis. Otaknya mulai mengingat kejadian tadi malam. Ah, iya. Dirinya memang tidak tahan cuaca dingin dan akhirnya mengalami hipotermia. Antara marah, malu, dan berterima kasih, Rania tidak tahu harus bereaksi bagaimana. Tapi yang jelas, tubuhnya terasa kaku menahan perasaan tidak karuan. Prabu bergerak pelan. Rania buru-buru memejamkan matanya pura-pura tidur. Pria itu menghela napas panjang, lalu bergumam lirih, “Astaga…” Prabu perlahan bangkit dari sofa, mengusap wajahnya, lalu meraih kemejanya yang masih tergeletak di lantai. Setelah memakainya sendiri, ia menatap Rania yang masih diam. Alih-alih membangunkannya dengan kasar, Prabu malah menunduk dan memakaikan kemejanya pada Rania, merapikan bagian bahu dan menutup tubuhnya dengan lebih sopan. "Sudah saya pakaikan. Ayo bangun, gak usah malu." Rania akhirnya membuka matanya perlahan, menatap Prabu yang kini berdiri di hadapannya dengan ekspresi biasa saja, seolah tadi malam bukan masalah besar. "Dan jangan marah, kamu duluan yang dalam kondisi seperti itu." Rania menggigit bibirnya, lalu mengalihkan tatapannya. "Hmmm… kemarin saya berenang sama Daisy, dan emang gak tahan cuaca dingin." Prabu melipat tangan di d**a. "Jagoan banget kamu, udah tahu kondisi tubuhnya kayak gitu, masih aja cari masalah." Rania menghela napas. "Maaf, Pak. Untuk ke depannya, kalau saya kayak gini lagi, mending dibawa ke rumah sakit aja." "Semalam hujan," jawab Prabu santai, "kamu bisa mati duluan di perjalanan." Rania mendesah dalam hati. Namun, Prabu tiba-tiba menyeringai tipis. "Sekalian di sini, buatin saya sarapan. Imbalan udah peluk kamu." Rania langsung melotot. Prabu hanya terkekeh, lalu melangkah pergi ke kamarnya, meninggalkan Rania yang masih duduk dengan wajah merah padam. Rania menggerutu sendiri. Sialan, harusnya dia juga sadar kalau sudah dapat enaknya dari tubuh gue semalam! Tapi, dia tidak membalas, hanya berdiri menuju dapur. Mumpung si bibi belum datang, jadi Rania berjongkok di depan kulkas, mencari bahan makanan. Dia tidak menyadari seseorang masuk ke dalam apartemen. Mireya. Wanita itu berdiri di ambang pintu, matanya langsung membelalak melihat pakaian yang berserakan di lantai. Lingerie. Jas Prabu. Selimut yang tidak tertata rapi di sofa. Darah Mireya mendidih. Otaknya langsung memikirkan skenario terburuk. Semalam, Prabu memintanya untuk tidur bersama. Dan sekarang? Ia malah menemukan apartemen ini dalam keadaan berantakan, dengan lingerie tergeletak, dan Rania yang berada di dapur dengan santainya? Apa yang terjadi di sini?! Mireya melangkah mendekat. Rania yang masih sibuk mengaduk isi kulkas, tidak menyadari kehadiran orang lain di belakangnya. Dan sebelum dia sempat berbalik— "AAAAAAH!" Rania menjerit. Rambutnya ditarik kuat dari belakang. Seketika, rasa sakit menjalar di kulit kepalanya. Mireya mencengkram rambutnya dengan brutal. "Jalang sialan!" teriaknya penuh amarah.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD