Malam yang Berbahaya

1366 Words
Namun, walaupun skripsi sudah mulai berjalan dengan lancar, tapi ujian selalu ada. Seperti sekarang, Rania tengah berteriak pada adiknya yang seenaknya masuk kamarnya, dan merusak barangnya karena penasaran. “Jadi rusak punya gue!” teriak Rania pada adik laki-lakinya yang tengah tengkurap memainkan game. “Ya salah sendiri lu pinjem ipad gue. Ya gue ambil lah ke kamar kakak.” “Ambil ya tinggal ambil! Gak usah sambil pegang-pegang benda gue! Sampe mawar punya gue jadi rusak arggghhhhhh!” teriakan Rania itu terdengar sampai ke lantai bawah. “Itu dari Rayyan anjirrrr! Dari crush gue!” Dhika hanya terkekeh. “Cowok yang lu udamin dari lama tapi cuma anggap lu batu, Kak?” “Jaga ya mulut lu, Dhika b******k!” “Raniaaaa! Jangan kasar sama adik kamu! Jangan teriak-teriak!” Sulastri, sang ibu berteriak dari bawah. “Dia rusak bunga mawar punya aku, Maaaa!” “Gak sengaja!” Dhika membela dirinya. “Udah jangan sama-sama keras kepala. Anggap aja bayaran kamu pinjem iPadnya. Udah Rania sini, Mama mau minta tolong.” Rania sempatkan mengacungkan jari tengah pada anak SMA itu sebelum turun. Niatnya hendak merengek lagi, tapi melihat sang Papa yang baru saja tiba membuat Rania memilih diam. “Di rumah kok teriak, udah kayak hutan aja,” Sindir Gio. “Orang adek yang mulai.” “Udah udah. Kamu sini.” Sulastri menarik tangan anaknya, memberikan sebuah kantong kresek yang besar. “Anterin ke rumah Bu Cahyani ya, dia pesen buat makan malam. Cepetan.” “Kenapa gak sama si adek aja?” “Adek kamu lagi fokus ujian, Rania. Kamu dukung dia dengan ambil alih tugasnya dulu dong.” Gio ikut bicara lagi. “Kalau mau dikasih treatment spesial, lulus dulu kamu. Rekan pengacara Papa nanya terus kamu kapan wisudanya.” Membuat Rania tidak lagi menolak. Bahkan setelah mengantarkan pesanan tetangganya, Rania tidak kembali ke rumah. Bukannya membenci, hanya saja kesal. Memang sih ijazah S1 adalah modal utama, tapi Rania sekarang sedang asyik dengan bisnis kulinernya. Ibunya saja padahal sudah menutup rumah makan dan fokus dirumah, tapi tetap membuka order bagi orang-orang tertentu. Bukti bahwa hobby susah untuk dilewatkan. Sayangnya untuk sore ini, Rania melihat cafe begitu penuh. Sebenarnya dia diberi keringanan oleh teman-temannya untuk tidak datang kesini setiap hari dan fokus saja pada skripsi. Lagipula Rania berhasil membuat Ibu Dahayu memesan cathering banyak, jadi kedua temannya sedang memujanya. Jadi, kemana ya dia pergi? Rania pun memutuskan untuk pergi ke apartemen Prabu saja. Sebelumnya dia membeli kue untuk si kecil Daisy. Anak itu sudah seminggu tinggal bersama Prabu atas desakan Ibu Dahayu. Ditinggalkan disana bersama pengasuhnya, jadi setiap Rania kesana harus berakting, takutnya ada yang memberitahu Ibu Dahayu kalau mereka itu berdusta. “Ndaaaaaa!” Teriak Daisy begitu Rania berada di depan pintu. “Hallo, anak cantik.” Rania segera menggendongnya dan menciumi pipinya. Membuat sang pengasuh turut tersenyum. “Tadi Non telpon gak bisa datang?” “Iya saya berubah pikiran, kerjaan beres lebih awal, Mbok. Ini saya bawakan kue juga.” “Duh, makasih banyak, Non.” Rania pun mengajak Daisy ke ruang tengah, ruang favorit mereka berdua. Dia bermain dengan anak itu seperti sebelum-sebelumnya. Ketika Rania dan Daisy asyik bermain sambil saling menggelitik, si mbok mendekat. “Non… hmm… bapak sebenernya minta saya buat nungguin De Daisy sampai beliau pulang, tapi beliau bilang akan pulang larut malam. Sayangnya saya ada masalah di rumah, tidak apa saya tinggalkan De Daisy dengan Non?” “Lah gak papa, biasanya juga gitu kan kalau saya datang, Mbok pulang.” “Tapi Bapak bilang sampe malem banget, gapapa, Non? Takut jadi fitnah.” “Hahahaha santai aja, Mbok. Gak akan ngapa-ngapain juga jadi gak usah takut.” “Soalnya kena amanat dari Bu Dahayu, jangan sampai berduaan sampai larut. Bapak kan biasanya pulang sore.” Rania tertawa lagi. “Saya janji gak akan ada kabar aneh, Mbok. Udah sana pulang. Kasihan orang rumah.” Lagipula siapa yang akan macam-macam, saat Prabu datang, Rania biasanya langsung pulang. Tapi karena Prabu akan pulang larut, maka Rania mengajak, “Renang yuk?” “Yokkkkk!” Setidaknya bocah ini yang menghibur dirinya saat Rayyan kembali slow respon dan sang Papah menuntut menyelesaikan skripsi. **** “Reya…. Kita bukan lagi anak kecil, kita dua orang dewasa.” Prabu menatap perempuan yang kini kembali membenahi penampilannya. “Lagipula Mas bakalan nikahin kamu. Ngertilah kalau aku punya kebutuhan.” “Ya emang gak ada bedanya kalau isi otak Mas Cuma seks aja?” “Astaga… Mas pria dewasa, pernah menikah. Dan kita udah kenal lama, sejak sekolah, kamu cinta pertamanya Mas, kita jalin hubungan serius setahun terakhir ini. Gak ada salahnya minta make love sama pasangan kita.” “Tapi akunya belum mau, Mas. Ya hargai lah. Maksa gitu, nganggapnya aku apa? Nikahin aja dulu.” “Ya kamu mau dinikahin susah banget, ada aja alasan ini itu.” “Aku harus ambil project film, harusnya kamu hafal dong. Katanya Mas cinta ke aku sejak pandangan pertama, bahkan pas nikah karena hamil duluan juga tetep mikirin aku. Jadi harusnya paham dong?” Prabu menghela napasnya dalam kemudian melangkah mendekat pada Mireya, dia peluk perempuan itu dari belakang. “Maaf,” ucapnya sambil menciumi bahu. “Gak bermaksud apa-apa. Hanya saja,…..” “Aku mau ketemu sama temenku juga sekarang.” “Yaudah, Mas anterin ya?” “Gak usah, takut ketahuan, rame banget tempatnya.” Lagi-lagi, Prabu menghela napasnya dalam. Akhirnya dia membiarkan Mireya keluar lebih dulu dari apartemen yang dibelikan Prabu. Memang jauh sebelum Prabu menikah, dia sempat menaruh hati pada Mireya, lalu Prabu terjebak dengan pernikahan yang mengharuskannya tanggung jawab menghamili temannya. Hingga akhirnya sekarang Prabu bisa menjalin hubungan dengan Mireya, dia belum mendapatkan apapun. Bukan berarti hanya menganggap perempuan itu sebagai objek, tapi Prabu memang pria dewasa yang memiliki kebutuhan, sayangnya Mireya selalu menolaknya. Dan kini Prabu berakhir di klab malam. Bukan karena kecewa pada Mireya, tapi pada dirinya sendiri. Pria itu membuka meja VIP, hanya untuk dirinya sendiri tanpa ada gangguan sambil minum. Ketiga temannya yang biasanya menemaninya telah menemukan ratu mereka, tapi Prabu belum bisa membangun istana bahagia di rumahnya sendiri. Setelah beberapa botol, akhirnya Prabu memutuskan pulang. Dia masih sadar ketika menyetir, tapi begitu sampai di apartemen, kepalanya terasa berat, langkahnya mulai goyah. Dia membuka pintu dengan gerakan sedikit terhuyung, merasakan udara dingin yang menyambutnya di dalam. Lampu utama sudah dipadamkan, hanya cahaya lampu temaram dari sudut ruangan yang masih menyala. Prabu melepas dasinya dengan malas, berjalan melewati ruang tengah dengan niat langsung ke kamarnya. Namun, langkahnya terhenti. Di sana, di sofa panjang apartemennya, seseorang terlelap dengan posisi miring, selimut yang seharusnya menutupi tubuhnya telah tersingkap, memperlihatkan lekuk tubuh yang tidak seharusnya ia lihat. Rania. Prabu menatapnya dalam diam, matanya yang setengah mabuk mulai menelusuri tubuh perempuan itu, seakan-akan otaknya butuh beberapa detik untuk mencerna apa yang dilihatnya. Pakaian yang melekat di tubuh Rania membuat alisnya berkedut. Itu… baju yang ia beli untuk Mireya. Baju tidur berbahan satin tipis, dengan tali spaghetti di bahu yang hampir melorot, mengekspos kulit bahunya yang putih mulus. Bagian depan baju itu membentuk garis leher rendah, memperlihatkan belahan d**a bulat sempurna yang naik turun pelan seiring napasnya. Roknya begitu pendek, menempel di paha Rania yang halus, membiarkan pangkal kakinya terbuka, dan ketika ia sedikit bergeser, Prabu bisa melihat betapa berbahayanya posisi itu. Prabu menelan ludah. Ia bahkan tidak sadar sudah berjongkok di samping sofa, menyamakan tinggi badan dengan perempuan itu. Kepalanya yang berat akibat alkohol seolah memaksanya untuk tetap diam di tempat, hanya mengamati. Matanya bergerak turun, memperhatikan bagaimana tubuh Rania begitu proporsional. Tidak terlalu kurus, tetapi juga tidak terlalu berisi. Tubuhnya ramping dengan lekuk pinggang yang pas, tetapi tetap terlihat berisi di bagian yang seharusnya. Dadanya bulat penuh, tidak terlalu besar tetapi cukup menggoda, dan pinggulnya membentuk garis sempurna dengan pahanya yang mulus. Sial. Prabu menarik napas dalam. Tidak seharusnya ia memandangi perempuan itu seperti ini. Tapi entah kenapa, pikirannya yang sedang mabuk justru tidak bisa berhenti. Tiba-tiba, Rania menggeliat kecil, tubuhnya sedikit mengejang. Lalu, dengan suara lirih yang nyaris tidak terdengar, perempuan itu bergumam pelan, "Dingin…" Prabu mengernyit. Baru sadar kalau tubuh Rania sedikit gemetar. Ia mendekatkan tangannya ke pipi perempuan itu dan merasakan suhu tubuhnya yang terlalu rendah. Hipotermia? Sial. Apa yang harus dia lakukan sekarang?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD