Rania terjebak di apartemen Prabu. Bukan karena pintunya terkunci, tapi karena anak kecil berusia lima tahun yang terus menempel padanya, memanggilnya Bunda seolah mereka sudah kenal lama. Sementara itu, Ibu Dahayu duduk di ruang makan, dengan tatapan puas saat mencicipi hidangan yang sudah ia buat.
“Pintar masak kamu, Nak. Terjamin hidup Prabu kalau begini.”
Rania tersenyum hambar, tangannya mengelus punggung kecil Daisy yang sedang duduk di pangkuannya, menikmati kue. “Terima kasih, Bu.”
Ibu Dahayu mengalihkan perhatian dari makanan ke arah Rania, menatapnya dengan lebih dalam. “Saya mendengar beberapa cerita tentang kamu dari Prabu. Katanya kamu punya bisnis kafe, jadi berhenti kuliah selama dua tahun. Dan sekarang lanjut skripsi lagi?”
“Benar, Bu,” jawab Rania, memilih jujur. “Saya terlena dengan dunia bisnis sampai lupa melanjutkan kewajiban sebagai mahasiswa.”
“Ohhh… pasti dimajuin lagi karena diingetin Prabu ya?”
Rania hanya mengangguk, meskipun dalam hati tahu alasan sebenarnya adalah ayahnya.
Ibu Dahayu tiba-tiba menggenggam tangannya. “Terima kasih sudah mau bersama Prabu.”
Rania menahan napas.
“Sejauh ini, saya suka kamu, Rania. Maunya sih kenal dengan orangtua kamu, tapi Prabu bilang belum saatnya. Jadi tidak apa, biar kalian lebih mengenal satu sama lain, dan kamu bisa fokus skripsi dulu. Maafin Ibu ya.”
Rania mengernyit, bingung. “Maaf… buat apa, Bu?”
“Beberapa kali Ibu sempat mau jodohin Prabu, tapi dia bilang sudah punya pacar. Ibu curiga dia pacaran lagi sama orang entertainment, makanya Ibu berusaha keras bikin mereka putus.”
Rania diam mendengarkan.
“Pengalaman dari ibunya Daisy yang lupa akan kewajibannya.” Nada suara wanita itu sedikit berubah. “Ternyata calon mantu Ibu ini pebisnis kuliner, dan tetap melayani Prabu, bahkan ke sini tiap hari ya?”
Rania menyadari inilah alasan kenapa Prabu menyuruhnya memasak setiap hari. Demi menutupi hubungannya dengan Mireya, supaya Ibu Dahayu percaya.
Suara pintu apartemen terbuka mengalihkan perhatian mereka. Prabu masuk, wajahnya santai seperti sudah tahu bahwa ibunya dan Daisy ada di sini.
“Yahhhh!” seru Daisy sambil berlari ke arahnya.
Prabu membungkuk, mengangkat anaknya ke gendongan. “Anak Ayah ngapain di sini?”
“Sisy mam kue ma Ndaaa.”
Prabu mengernyit. “Nda?”
“Harus dibiasakan manggil Rania itu Bunda,” ucap Ibu Dahayu santai. “Untungnya Daisy langsung suka.”
Prabu menghela napas, tangannya mengusap punggung kecil anaknya. “Bu….”
“Kenapa?” Ibu Dahayu menatapnya tajam. “Dia pantas dikenalkan ke Daisy. Dia juga pintar masak. Ah, Ibu berencana pesan catering dari kafenya saja ya, untuk acara kumpul keluarga kita di rumah tante kamu. Oke?”
“Gak usah, cari yang lain aja.”
“Kenapa?” Ibu Dahayu melirik Rania. “Emang Rania gak mau? Ibu mau pesan 200 porsi makanan, dengan dessertnya.”
Otak bisnis Rania langsung bekerja. Dia mengangguk cepat. “Boleh kok, Bu. Boleh, nanti hubungi saya. Nomor saya ada di Bapak ya—” Rania refleks menahan lidahnya.
“Kok manggilnya Bapak sih?” tanya wanita itu dengan alis berkerut.
Rania tertawa kaku. “Ke… kebiasaan di kampus, Bu. Hehehe.”
“Manggilnya Mas, dibiasain,” sahutnya santai.
Rania melirik Prabu yang tidak bereaksi. Terpaksa, dia menelan ludah dan mengikuti perintah. “Iya, manggilnya Mas, Bu.”
Prabu menghela napas dalam. “Sudah, Rania harus pulang. Di kafenya selalu sibuk kalau malam.”
“Kamu anterin sana, sambil jalan-jalan sama Daisy.”
Rania ingin mengumpat dalam hati. Kenapa harus akting lagi? Namun sebelum bisa menolak, Daisy sudah bertepuk tangan dengan mata berbinar.
“Bunaaaa! Ayok jalan-jalan ma Ayahhh!”
Rania membeku. Bagaimana bisa dia tega menolak anak kecil yang memeluknya erat seperti ini?
****
Malam itu, Daisy duduk di pangkuan Rania. Gadis kecil itu bersemangat, tangannya yang mungil menunjuk-nunjuk ke luar jendela mobil setiap kali melihat sesuatu yang menarik. Lampu-lampu kota berpendar di kaca jendela, menciptakan bayangan yang berkilauan di mata bulatnya yang penuh rasa ingin tahu. Jakarta di malam hari masih ramai, jalanan padat dengan kendaraan yang melaju, pejalan kaki yang melintas di trotoar, dan deretan toko serta kedai makanan yang masih buka.
Hingga mereka melewati sebuah taman yang cukup ramai di tengah kota. Mata Daisy berbinar melihat suasana yang hidup, dengan banyaknya anak-anak yang bermain dan pedagang kaki lima yang menjajakan berbagai makanan.
"Ayahhhh... Bunda... Sisy mau es cweammm," rengek Daisy, matanya berbinar melihat seorang anak yang sedang memegang cone es krim warna-warni.
Prabu tetap menatap ke depan, tangannya masih di setir, tidak merespons permintaan anaknya.
“Yahhh…”
“Nggak usah, Daisy. Udah malam, nanti sakit perut,” ucapnya santai.
“Tapi Sisy mauuuu! Pleeease, Ayahhh!” Daisy semakin merengek, tubuh kecilnya menggeliat di pangkuan Rania.
“Tidak boleh.”
“Ndaaa,” adunya pada Rania.
Rania yang sejak tadi diam, akhirnya merasa tak tega melihat wajah memelas bocah itu. “Bapak, sebentar aja,” pintanya, menoleh ke Prabu.
“Nanti sakit perut.”
“Beli yang kecil, Pak, saya pastiin Daisy gak makan banyak,” sahut Rania sambil menepuk lembut kepala Daisy.
Prabu menghela napas, menatap jalan sebentar, lalu akhirnya menepikan mobil. “Saya tunggu di sini. Kamu aja yang temenin.”
Rania hampir saja ingin protes, tapi buru-buru menahan diri saat melihat wajah berbinar Daisy.
“Ayoo, Ndaaa! Yayah nda ikut?”
"Sama Bunda aja ya, Nak,” ajaknya lembut, bahkan tanpa sadar ia menyebut dirinya sendiri ‘Bunda’.
Daisy langsung mengangguk, wajahnya senang sekali. Rania membimbing tangan kecilnya keluar dari mobil, berjalan menuju pedagang es krim di tepi taman.
Dari dalam mobil, Prabu memperhatikan keduanya. Rania menggandeng Daisy dengan telaten, sesekali menunduk mendengarkan celotehan bocah itu dengan ekspresi yang tampak tulus. Prabu mengangkat alisnya, terkejut melihat interaksi itu.
Di tengah perjalanan, Rania akhirnya menggendong Daisy agar bocah itu tidak kelelahan.
Daisy tertawa kecil saat Rania menciumi pipinya. "Bunaa giiiil!" serunya dengan tawa renyah.
Prabu yang melihatnya dari jauh hanya terkekeh pelan. “Kirain bukan perempuan yang suka anak kecil,” gumamnya sendiri sambil menyandarkan tubuh ke jok mobil.
Alih-alih segera kembali ke mobil, Rania justru terlihat santai, menikmati es krimnya sambil mengayunkan kakinya. Daisy duduk di sampingnya, menggigit cone es krimnya dengan lahap, sesekali bersenandung kecil.
Prabu mendesah, akhirnya keluar dari mobil dan berjalan ke arah mereka.
"Kenapa malah duduk disini?" gumamnya, duduk di dekat Daisy.
Rania menoleh dengan santai. "Bentar, Pak, kasihan mau makan es krim di sini."
Prabu hanya mendecak pelan.
"Bapak mau?" tawar Rania, mengangkat es krimnya sedikit.
"Gak usah."
"Yaudah." Rania mengangkat bahu, kembali menikmati es krimnya tanpa beban.
Sementara itu, Daisy sudah selesai dengan es krimnya, matanya berbinar saat melihat anak-anak lain bermain gelembung sabun tak jauh dari mereka.
"Ndaa… mo gelembung," ucapnya manja.
"Boleh, beli sendiri ya. Bunda lihat dari sini," ujar Rania sambil menyerahkan uang pada bocah itu.
Daisy dengan semangat berlari kecil menuju penjual mainan, sementara Rania menatap punggung kecil itu dengan sorot yang sulit dijelaskan. Ia tidak tega. Sejak kecil, Daisy hidup tanpa ibu. Meski awalnya hanya terjebak dalam kebohongan, ia tidak ingin mengecewakan bocah itu.
Prabu menatap Rania cukup lama, membuat perempuan itu berdehem canggung. "Kenapa, Pak?"
"Kerja bagus, akting kamu," jawabnya santai.
Rania mendengus. "Tapi saya gak bisa gini selamanya loh, Pak."
"Emang siapa juga yang mau selamanya sama kamu? Gak ada tuh," balas Prabu tanpa ekspresi.
Rania langsung memelototinya. "Ya saya juga gak mau kalau sama Bapak. Saya lagi PDKT sama mantan kakak tingkat saya, Pak. Dia kayaknya bakalan nembak dalam waktu dekat, jadi tolong ya, Pak… semoga ini cepat berakhir."
Prabu mengangkat alisnya. "Laku juga perempuan temperamen kayak kamu?"
"Pak, jangan mulai deh, saya gak mau ribut depan anak loh," sindir Rania, melirik ke arah Daisy yang kini sibuk meniup gelembung dengan gembira. "Nama gebetan saya itu Rayyan, dia fotografer. Awas kalau Bapak ngakuin saya pacar Bapak depan dia. Soalnya dia suka keliaran foto apa pun."
"Kayak kuntilanak aja," gumam Prabu datar.
"Ih, saya serius, Pak! Dia bisa tiba-tiba ada di…" Rania terdiam, matanya membelalak saat melihat seseorang di ujung taman. "Tuh kan, Pak! Dia di sini! Ayok kita pergi ah!" desisnya panik, buru-buru berdiri.
Prabu menoleh malas, tapi tetap penasaran. "Keburu dia ke sini nggak sih? Susah kalau mau ngum—"
Ucapan Rania terhenti saat ia tiba-tiba memeluk Prabu.
Prabu membatu di tempatnya. "Kamu ngapain, Rania?" tanyanya dengan suara rendah.
"Peluk Bapak buat sembunyi," ucap Rania cepat, wajahnya terkubur di ceruk leher pria itu.
Prabu terdiam, otaknya mencoba memproses situasi ini.
"Maaf, Pak, saya terpaksa begini," lanjut Rania tanpa mengangkat kepalanya.
Prabu menelan ludah. Tapi… yang jadi masalah bukan hanya pelukannya. Eratnya pelukan Rania sampai… dia merasakan sesuatu yang empuk menekan dadanya.
Kenyal, pulen. Astaga! Beginilah seorang pria yang tidak mendapatkan sentuhan semenjak kematian istrinya?