Pelarian yang Berulang

2057 Words
“Mereka… itu gimana, Pak?” tanya Rania, suaranya masih sedikit bergetar. Matanya menatap keempat pria yang kini terkapar di jalanan, tak sadarkan diri. “Nanti orang-orang saya bakalan urus, ayo pulang,” jawab Prabu singkat. Pria itu tidak terlihat panik atau ragu sedikit pun. Matanya tetap dingin, seolah kejadian barusan hanyalah hal kecil yang bisa ia tangani dengan mudah. Rania mengangguk pelan, masih mencoba mencerna semuanya. Prabu membantu menuntunnya ke mobil, langkahnya tertatih karena lutut dan sikunya yang terluka akibat jatuh dari motor. Namun, tanpa ia sadari, salah satu tangannya tetap menggenggam erat tangan Prabu. Prabu melirik sekilas, tetapi tidak mengatakan apa-apa. Ia membiarkan genggaman itu, bahkan sedikit mengeratkannya saat melihat ekspresi Rania yang masih shock. “Jangan pikirin mereka,” katanya, suaranya lebih tenang saat mobil mulai melaju. “Saya bakalan urus semuanya. Kamu nggak akan terlibat.” Rania menggigit bibirnya. “Kok… Bapak bisa di sini?” tanyanya, masih tidak percaya dengan kebetulan ini. Prabu menatap lurus ke depan, fokus pada jalan, tetapi suaranya terdengar lebih santai. “Lagi jalan-jalan. Takdir juga mungkin, sebab saya belum minta maaf dengan benar.” Rania tidak menjawab, hanya menunggu kelanjutannya. “Maaf atas tindakan Mireya,” lanjut Prabu, kali ini menoleh sedikit ke arahnya. “Saya tahu kamu kabur dan menghindar karena itu. Saya janji nggak akan ada lagi hal kayak gitu. Maaf.” Rania tetap diam, tidak tahu harus merespons seperti apa. “Hmmm… udah lewat,” ujarnya akhirnya, suaranya pelan. “Tapi saya butuh waktu, Pak.” “Gak papa,” sahut Prabu, lalu tersenyum kecil. “Saya juga belum maafin kamu yang tendang kemaluan saya.” Rania melotot. “Ih, kok gitu sih? Malah dibahas lagi?” Prabu tertawa kecil, nada suaranya ringan, seperti sengaja mengalihkan pikiran Rania dari insiden tadi. Dan berhasil. Rania mendengus kesal, tetapi bibirnya sedikit melengkung, lebih rileks dari sebelumnya. “Kamu vila di mana? Biar saya antarkan.” “Di Villa Amara,” jawab Rania, menyebutkan nama vila tempatnya menginap. “Enggak kaget saya ada di Bali, Pak?” “Enggak juga. Saya udah tahu penyedia makanannya dari kafe kamu. Takdir ini namanya.” “Tapi tetap aja, Bapak tiba-tiba ke Bali itu aneh. Kayaknya nggak ada jadwal deh?” Prabu terdiam sejenak, lalu menjawab, “Kabur aja. Masih kecewa sama Mireya. Kamu juga sama ‘kan? Kecewa sama calon pasangan kamu?” Rania menoleh ke arah lain, tidak menjawab. Ya, dia juga kecewa, tapi untuk mengakuinya… terlalu sulit. Mobil melaju dalam keheningan selama beberapa menit, sampai akhirnya tiba-tiba berhenti. Tapi bukan di vila tempat Rania menginap, tapi di klinik. Rania mengerutkan kening. “Kok berhenti di sini, Pak? Ngapain?” Prabu sudah membuka sabuk pengaman dan keluar dari mobil lebih dulu. Dia berjalan ke sisi pintu Rania dan membukanya. “Obatin dulu kaki kamu. Ayo.” Rania melirik kakinya yang memang terasa perih, tetapi ia masih bisa bertahan. “Ah, nggak usah repot, Pak. Saya bisa—” Tanpa aba-aba, Prabu membungkuk dan dengan mudah mengangkat tubuhnya ke dalam gendongan. Rania langsung memekik kecil, tangannya refleks melingkar di leher Prabu. “Astaga, Pak! Turunin saya!” Prabu hanya mendengus pelan. “Banyak alasan. Diam aja.” Rania membuka mulut untuk protes lagi, tapi akhirnya menyerah. Ia mendesah dan menyandarkan kepalanya ke bahu Prabu, membiarkan dirinya digendong masuk, diobati dulu di klinik. Luka di lutut dan sikunya dibersihkan dengan telaten, sedikit perih saat antiseptik menyentuh kulitnya, tapi dia tetap diam. Matanya mengamati perban putih yang kini melilit lututnya. Tidak terlalu parah, hanya lecet dan memar kecil, tapi tetap cukup menyakitkan. Setelah selesai, tanpa banyak bicara, Prabu kembali menggendongnya saat kembali ke mobil. “Pak, saya bisa jalan sendiri kok…” protes Rania pelan. Prabu hanya melirik sekilas. “Jangan banyak protes,” balasnya singkat. Mau tak mau, Rania membiarkan pria itu membawanya dengan mudah, seperti tidak berbobot. Malam terasa lebih hening di perjalanan. Jalanan mulai sepi, hanya ada cahaya lampu dari vila-vila mewah yang mereka lewati. Udara laut yang masuk lewat jendela mobil terasa menenangkan, mengusir sisa ketegangan yang masih tersisa. Mata Rania mulai terasa berat. “Makasih banyak, Pak,” gumamnya, suaranya lemah hampir seperti bisikan. Prabu meliriknya sekilas. Gadis itu sudah setengah terlelap, kepalanya bersandar ke jendela. Napasnya mulai stabil, tubuhnya yang semula kaku kini lebih rileks. Prabu tersenyum kecil. “Bocah,” gumamnya, mengusap pelan rambut Rania sebelum kembali fokus menyetir. Saat tiba di villa, Rania sudah benar-benar tertidur. Prabu menghela napas sebelum turun dan berjalan ke sisi lain mobil, membuka pintu pelan. Dia menatap gadis itu sebentar, ragu apakah harus membangunkannya atau tidak. Akhirnya, Prabu memilih menggendongnya lagi setelah mencari dulu kuncinya di tas Rania. Rania tidak sadar, hanya bergumam kecil dalam tidurnya dan mengeratkan pegangan di bajunya. Prabu terdiam sejenak, lalu tersenyum tipis. Gadis ini benar-benar seperti anak kecil. Prabu membuka pintu, lalu berjalan masuk. Ruangan cukup luas, dengan interior hangat dan nuansa kayu yang terasa nyaman. Cahaya lampu tidur remang-remang menciptakan suasana yang tenang. Prabu berjalan ke arah ranjang dan perlahan membaringkan Rania di atasnya. Gadis itu menggeliat sedikit, menggumam tidak jelas, tapi tetap tertidur pulas. Selesai. Prabu hendak pergi. Namun, baru beberapa langkah, dia mendengar sesuatu. Isakan kecil. Prabu berhenti. Dia menoleh, melihat bahu Rania yang sedikit bergetar. Gadis itu menangis dalam tidurnya, entah karena mimpi buruk atau sisa trauma dari kejadian tadi. Prabu kembali mendekat, duduk di bibir ranjang, menatapnya dengan sorot mata lebih lembut. “Hei, jangan bermimpi aneh… Rania…” katanya pelan. “Saya di sini.” Tangannya terulur, mengusap lembut punggung Rania, berusaha menenangkan. Napas gadis itu perlahan menjadi lebih teratur, meski sesekali masih terisak kecil. Prabu menghela napas dalam, lalu menoleh ke sofa di sudut ruangan. Dia berdiri, berjalan ke sana, dan akhirnya memilih untuk duduk. Tidur di sofa memang tidak senyaman ranjang, tapi dia tidak tega meninggalkan gadis itu sendirian. Malam itu, Prabu menemani Rania. Menjaga anak kecil keras kepala yang bahkan tidak menyadari bahwa ada seseorang yang rela tetap tinggal untuknya. *** Tidak seperti dugaan Prabu yang akan salah paham, pagi itu justru berjalan lebih santai dari yang ia perkirakan. Saat matanya terbuka, cahaya matahari sudah menyusup dari celah jendela, membuat ruangan terasa lebih hangat. Dia menggerakkan bahunya yang kaku setelah semalaman tidur di sofa, lalu mengedarkan pandangan. Dan di sanalah Rania. Berdiri di depan cermin, merapikan rambutnya dengan jemari, wajahnya fokus saat mengoleskan lip balm ke bibirnya. Dia sudah siap dengan pakaian kasual, jelas-jelas tidak tampak marah atau merasa risih dengan keberadaannya di sini. Bahkan saat bertemu tatapan Prabu di cermin, Rania malah tersenyum. "Pak, makasih ya buat semalam," ucapnya ringan, masih sibuk membenahi sedikit sisa bedak di wajahnya. "Nanti saya gak akan menghindar lagi, asal pastikan Mbak Mireya gak aneh-aneh lagi." Prabu menatapnya beberapa detik, memastikan apakah ini jebakan atau tidak. Tapi melihat ekspresi Rania yang santai, dia akhirnya mengangguk. "Oke," jawabnya tenang. Namun, sudut bibirnya sedikit melengkung, ada rasa senang yang tidak bisa ia sembunyikan. "Dan kalau kamu gitu lagi, saya gak akan segan buat otak-atik skripsi kamu." Sontak Rania berbalik. "Ih kok Bapak mah gitu sih! Kita kan udah sepakat gak akan ngancam-ngancam lagi!" Prabu mengangkat bahu, masih dengan ekspresi santainya. "Masih lah. Saya ingat kesalahan fatal kamu." Rania mendecak, menatapnya kesal tapi tidak bisa membantah. "Udahlah sana pulang." "Emang mau pulang," Prabu berdiri, mengambil kunci mobilnya. Tapi sebelum keluar, dia menatap Rania sekali lagi dan menyunggingkan senyum miringnya. "Sampai jumpa nanti malam." Dengan santai, ia melangkah keluar, meninggalkan Rania yang hanya bisa menghela napas panjang. Iya, nanti malam mereka akan bertemu lagi. Di mana Rania memastikan acara seminar berjalan lancar dengan hidangan terbaik dari kafenya, sementara Prabu akan berdiri di atas panggung sebagai pemateri spesial. Skenario yang tidak pernah ia duga akan terjadi di Bali. Dan Rania, untuk pertama kalinya, melihat Prabu sebagai rektor dalam kapasitas resminya. Pria itu berdiri di panggung, tegap dan penuh percaya diri. Selama ini, Rania hanya mengenalnya sebagai sosok yang menyebalkan, tukang ancam, dan tukang perintah di kehidupan pribadinya. Tapi di sini? Dia adalah sosok yang berbeda. Berwibawa, tegas, dan dihormati. Prabu sudah menjabat sebagai rektor selama dua tahun, tetapi pengaruhnya begitu kuat. Suaranya dalam, tenang, dan penuh penekanan saat berbicara. Cara dia menjelaskan begitu sistematis, lugas, dan tidak ada satu pun peserta seminar yang terlihat bosan. Mereka mendengar dengan saksama, mencatat poin-poin penting yang disampaikannya. Bahkan Rania, yang awalnya hanya berdiri di sudut ruangan untuk memastikan jalannya seminar, kini terjebak dalam pesona itu. "Bapak... serius, dia keren juga ya?" gumamnya sendiri, tanpa sadar. Seakan waktu berjalan cepat, seminar pun mencapai puncaknya. Para pemateri diberikan hadiah spesial sebagai bentuk apresiasi. Salah satunya adalah voucher eksklusif untuk menikmati berbagai permainan air di Bali. Rania tidak terlalu memperhatikan detailnya—yang jelas, Prabu memenangkan sesuatu. Saat seluruh tamu undangan dipersilakan menuju ballroom untuk makan malam, Rania memastikan semuanya berjalan lancar. Tampang mereka semua tampak puas dengan seminar ini, dan hidangan yang disajikan juga mendapat banyak pujian. Sudah saatnya dia pergi. Alih-alih masuk ke ruangan makan malam, Rania memilih keluar. Halaman belakang hotel menawarkan udara segar yang lebih ia butuhkan saat ini. Dia duduk di bangku kayu, menatap langit yang mulai gelap, lalu mengeluarkan ponselnya. Besok, dia akan bertemu Rayyan lagi. Setidaknya, itulah rencananya. Namun, sepertinya takdir tidak mendukung. Ponselnya bergetar, nama Rayyan muncul di layar. Hati Rania melonjak sesaat, berpikir bahwa mungkin pria itu ingin mengatur rencana mereka lebih detail. Tapi begitu dia mengangkatnya… "Ra, maaf ya, aku nggak bisa besok," suara Rayyan terdengar sedikit terburu-buru. "Ada kerjaan mendadak, aku harus balik lebih cepat." Rania terdiam. Sesaat, dia merasa kosong. "Oh…" Itu saja yang keluar dari bibirnya. "Maaf banget ya? Aku juga sebenarnya pengen ketemu lagi," lanjut Rayyan, nadanya terdengar tulus. "Tapi aku nggak bisa ninggalin pekerjaan. Kita ketemu nanti aja di Jakarta, ya?" Rania tersenyum kecil, meskipun itu tidak sampai ke matanya. "Iya, nggak apa-apa, Kak." Setelah beberapa basa-basi singkat, panggilan itu berakhir. Rania menurunkan ponselnya, menghela napas panjang. Sial. Kenapa sih? Kenapa setiap kali dia berharap lebih, jawabannya selalu begini? Padahal dia sudah menunggu hari esok. Setelah kejadian semalam—setelah dia hampir diperkosa, setelah dia ketakutan setengah mati, setelah dia harus menerima kenyataan bahwa hanya Prabu yang datang menyelamatkannya—dia pikir setidaknya dia bisa bertemu Rayyan dan mengisi ulang energi positifnya. Tapi ternyata, Rayyan masih seperti itu. Selalu menghilang. Selalu menomorduakannya. Dan Rania? Dia terus bertanya-tanya. Kapan, kapan cintanya akan terbalaskan? Di sisi lain, Prabu tidak terlalu menikmati makan malamnya. Piring di hadapannya hampir tidak tersentuh, hanya sesekali ia memotong daging steaknya tanpa benar-benar berniat untuk memakannya. Tangannya sibuk menggenggam ponsel, layar menunjukkan beberapa panggilan tak terjawab yang ia buat sejak tadi. Mireya tidak mengangkatnya. Prabu menghela napas, menatap layar ponselnya dengan jengkel. Hingga akhirnya, panggilannya tersambung. "Hallo, Sayang?" Prabu segera menjauh dari meja makan, berjalan ke balkon hotel untuk mencari tempat yang lebih sepi. "Besok kamu jadi nyusul ke Bali kan? Aku dapat voucher bagus banget, ayok kita nikmatin waktu di sini." Hening sebentar. Lalu suara Mireya terdengar di seberang, datar dan tanpa antusiasme. "Gak bisa, Mas. Aku masih ada pemotretan, maaf ya." Prabu mengernyit. "Kamu udah janji." "Ya ini mendadak." "Janji harusnya diutamakan." "Mas, ini kerjaan. Aku nggak bisa nolak. Udah, ya? Aku harus siap-siap." "Mireya, sebentar," Prabu mencoba menahan, tapi nada Mireya sudah terdengar tidak sabar. "Mas, aku sibuk. Ngerti dong?" Prabu terdiam, menekan emosinya. Ia bukan tipe pria yang suka mengekang, tapi ini bukan pertama kalinya Mireya mengingkari janji. Sebenarnya, dia juga sudah muak dengan situasi ini. Akhirnya, ia hanya menghela napas panjang. "Terserah kamu saja," ujarnya dingin, lalu menutup panggilan sebelum Mireya sempat berkata apa-apa lagi. Ponselnya ia selipkan ke saku jas. Ia tidak ingin kembali ke dalam ballroom, tidak ingin pura-pura menikmati makan malam ketika pikirannya kacau seperti ini. Ia berjalan keluar hotel, mencari udara segar. Dan di sanalah ia melihatnya. Rania. Duduk membelakangi, sendirian di bangku taman belakang hotel. Cahaya lampu taman redup menerangi wajahnya yang terlihat murung, ponselnya tergeletak di sampingnya, seperti baru saja digunakan. Prabu melangkah mendekat. Rania tidak menoleh, tidak juga terkejut saat ia duduk di sampingnya. Hanya diam, membiarkan angin laut mengibaskan helai rambutnya yang terlepas dari sanggul. Mereka hanya duduk dalam keheningan. Lalu, tanpa banyak bicara, Prabu merogoh saku jasnya, mengeluarkan selembar voucher eksklusif yang tadi ia dapatkan. "Besok..." Prabu berbicara, membuat Rania akhirnya menoleh padanya. "Mau main air nggak?" Rania menyipitkan mata, menatap voucher itu, lalu menatap Prabu. Ekspresinya sulit ditebak. Kemudian, perlahan, dia mengangguk. "Ayok." Prabu tersenyum kecil. Begitulah dua orang yang sama-sama dikecewakan akhirnya akan liburan bersama.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD