Terdampar

1613 Words
Jetski, wahana yang akan mengawali liburan keduanya. Keduanya ingin pergi ke Pulau Menjangan dan menikmati keindahan disana. Rania pun telah usai mengurus cathering dan semacamnya, jadi dia bebas untuk berlibur sesuai dengan izin kedua temannya. “Yakin gak mau satu berdua aja, Ra? Memangnya kamu bisa?” “Bisa kok, Pak.” “Coba aja dulu gih,” ucap Prabu tampak ragu. “Saya bisa kok, Pak, jam-” “Kita gak akan berangkat kalau kamu belum coba.” Rania menahan diri untuk tidak mengamuk. “Yaudah,” ucapnya memuaskan pria yang sedari tadi menatapnya datar. Dengan bantuan pekerja disana, Rania menaiki jestki sambil diberi arahan. Sebenarnya Rania memang belum pernah mencobanya, hanya mendengar dari Dita saja. Materinya sudah dia pahami, jadi prakteknya pasti gampang bukan? “Paham, Pa, tinggal saya gas ‘kan?” “Betul, gas dengan hati-hati ya, perlahan dulu soalnya ini pertama kalinya Mba-Aaaaaaakkk!” “AAAAAAA!” BREMMMM! Suara jetski menggerung ketika Rania menarik gasnya kencang. “Rania, jangan tarik gasnya!” BYURRR! Dan perempuan itu jatuh ke laut, sementara jetski terus melaju. “Sial,” umpat Prabu segera berenang menuju Rania, dia tangkap perempuan itu dan dekap pinggangnya. “Tenang, tenang.” “Kaki saya kram, kaki saya kram.” Rania panik, dengan kaki yang kram dia terus menendang-nendang. “Rania diam dulu, saya sudah bawa kamu ke darat.” “kaki saya kram, sakit banget, Pak.” BUG! Kaki Rania menendang s**********n Prabu. “Argghhh!”membuat pria itu sontak melepaskan pegangannya. “Bapak! Hmphhhhhh!” “Astaga, Rania, diam dulu sejenak.” Prabu tahan rasa nyeri itu, begitu juga Rania yang sadar dengan apa yang dilakukannya. “Bapak, maaf,” bisiknya ketika dibawa ke darat. “Kaki saya kram.” “Iya, saya tahu.” Begitu menepi, sang pekerja disana pun mendekat hendak membantu. “Gak papa, biar saya saja, Pak,” ucap Prabu saat pria itu hendak menyentuh kaki Rania. “Tolong siapkan jetski yang bagus, yang tadi bermasalah ‘kan?” “Maaf atas kelalaian ini, Pak. Saya jamin jetski yang bapak gunakan dalam kondisi baik.” kemudian menatap pada Rania. “Mbak mau-” “Nggak, saya mau Bapak ini aja.” “Baik, Mbak.” Prabu terkekeh setelah kepergian pekerja itu, membuat Rania menyipitkan matanya. “Jetskinya yang bermasalah, bukan saya.” “Harusnya kamu emang dengerin apa kata saya, Rania. Berakhir gak baik ‘kan? Mana kamu bikin kesalahan yang sama dua kali. Jagoan banget saya lihat-lihat.” “Pak, maaf, kan saya udah minta maaf,” ucap Rania sungguh malu. Prabu menepuk kaki Rania yang selesai dia pijat. “Nanti saja saya kasih hukumannya buat kamu, kalau udah kembali ke Jakarta.” “Kok hukuman lagi sih, Pak?” Sebelum terjawab, jetski yang baru sudah datang. Prabu menarik tangan Rania supaya turun berdiri. Rania maupun Prabu membiarkan tangan keduanya tetap bertaut sampai menaiki jetski tersebut, tanpa rasa ragu pun, Rania memeluk Prabu. Malah pria itu berucap, “Yang kenceng, kalau kamu jatuh lagi, saya males buat nolongin.” “Ck, iya ini udah.” Rania mengeratkan pelukannya, sampai menempel. Dan sepertinya Prabu salah langkah, sebab pelukan Rania terlalu kencang, apalagi pipinya bersandar pada bahu Prabu ketika jestski mulai membelah lautan, terapung-apung dan terasa menyenangkan hingga Rania tidak mampu menahan pekikan senangnya. Sementara Prabu, dia menahan diri. Tidak boleh sampai kelewatan dan terangsang hanya karena pelukan anak kecil seperti Rania. **** Pulau Menjangan adalah serpihan surga yang terapung tenang di sisi barat laut Bali—sebuah pulau kecil yang nyaris tak tersentuh peradaban, di mana waktu seolah melambat. Air lautnya sebening kristal, memperlihatkan dasar laut berhiaskan karang warna-warni yang menggelinjang lembut bersama arus. Di kejauhan, langit biru bertemu garis horison yang tak terputus, sementara pasir putihnya terasa sejuk di telapak kaki, halus seperti tepung. Pepohonan rindang berdiri tenang di tengah pulau, dahan-dahannya sesekali berdesir pelan ketika angin laut menerpa, membawa aroma garam dan hening yang meresap hingga ke tulang. Tak ada hiruk-pikuk, hanya debur ombak kecil dan suara burung laut yang bersahutan, membuat siapa pun merasa seperti memiliki dunia sendiri—tenang, utuh, dan tak terganggu. Hanya ada penjaga yang bekerja disini, menyambut kedatangan mereka. “Pak Prabu, senang bertemu dengan bapak, Pak Mardi bilang bapak akan datang.” “Iya, saya bawa kekasih saya kesini.” “Walah, pas banget, Pak. Silahkan nikmati, kalau ada apa-apa, saya ada di pos dengan yang lainnya.” “Terima kasih,” balas Prabu mengajak Dara melangkah untuk menjelajahi keindahan disini. “Kok ngaku pacar saya sih, Pak?” bisik Rania setelah mereka menjauh. “Pak Mardi itu yang kemarin ikut seminar, dia dekat dengan Ibu saya.” “Kirain gak akan ada drama di Bali.” “Seenggaknya kamu nikmati liburan gratis,” ucap Prabu menghentikan langkah sambil menatap ke depan, Rania mengikuti tatapan matanya dan langsung tersenyum. Indahnya surga dunia. “Sana kalau mau teriak, jangan me-” “Aaaaaa!” Rania menjerit senang sambil berlari merentangkan tangan menuju ombak. Prabu menggelengkan kepala, pikirnya tidak akan benar-benar berteriak. Saat Rania bersenang-senang disana, Prabu duduk di bebatuan sambil sesekali memotret Rania, takutnya bocah itu lupa mengabadikan momentnya sendiri. saat Prabu duduk sendiri, petugas yang berjaga tadi datang membawakan dua buah kelapa. Katanya untuk tamu special, sebab dulu Prabu pernah membantunya dalam persidangan. Prabu jelas tidak ingat, tapi ini keuntungan baginya. “Rania! Sini minum dulu!” panggilnya ketika petugas itu sudah pergi. “Wah, dapat darimana, Pak?” “Dikasih tadi. Saya fotoin kamu.” Memperlihatkan hasil jepretannya. “Wow, lumayan juga buat seukuran bapak.” “Apa maksud kamu?” Rania terkekeh dan duduk disamping Prabu, tangan satunya memegang kepala muda, sementara tanganya yang lain masih menggeser ponsel Prabu. “Ya bagus, dari sudutnya, terus pencahayaannya juga. Nanti saya minta fo…,” ucapan Rania menggantung saat melihat pop-up pesan, dan tidak sengaja membacanya. “Dari Mbak Mireya, Pak.” Prabu menerimanya dan hanya membaca sekilas. “Panjang banget itu, kok gak dibales?” tanya Rania, sebagai sesame perempuan dia kesal jika pesannya tidak dibalas. “Bukan satu atau dua kali dia kayak gini, membatalkan agenda, mengundur waktu untuk mulai diperkenalkan pada Daisy, dia sepertinya masih asyik dengan dunianya.” Rania mengangguk-angguk, suasana jadi terasa canggung baginya, tapi rasa penasaran tidak bisa Rania tahan. “Pak?” “Hmmm?” “Kalau nanti bapak menikah dengan Mbak Mireya? Dia akan selesai dengan karirnya?” “Mungkin tidak, tapi saya akan memintanya meminimalisir pekerjaan, supaya Ibu saya tidak memandangnya sama seperti memandang mediang istri saya dulu.” Kemudian rasa penasaran pun menggaruknya semakin dalam. “Pak, kalau laki-laki itu mudah move on ‘kah?” “Kenapa nanya gitu?” “Hmmmm…” Rania memainkan pasir dengan kakinya, ragu untuk menjawab. “Kak Rayyan kan sebelumnya kek yang ngejar aku banget, terus ya… dia mulai sibuk. Entah beneran sibuk atau mungkin ada tambatan hati baru?” “Kalau menurut saya sih tidak semua hal bisa disamakan ya. Kalau kasus saya, saya dan mamanya Daisy itu memang menikah bukan karena cinta. Dia sendiri juga yang meminta cerai, jadi cinta saya untuknya lebih pada penghormatan sebagai wanita yang melahirkan anak saya. Mudah move on? Tidak tahu juga, karena saya masih bersama Mireya yang notabenya cinta pertama saya.” “Ahhh… sama dong, Pak, Kak Zayyan juga cinta pertama saya yang bener-bener…. Bikin hati saya dagdigdug gitu.” “Wah, punya hati juga kamu?” “Jangan mulai deh, Pak,” gumam Rania sambil berdecak. “Jadi bapak adalah type yang akan mempertahankan sampai akhir ya?” “Nggak juga, kalau keadaan dan beberapa pertimbangan mengharuskan selesai, saya akan sudahi.” Rania meregangkan tubuhnya, merasa pembicaraan ini sangatlah berat. “Ughhhh! Ayok jalan ke sebelah sana, Pak. Kita lupakan dulu orang-orang yang bikin kita galau.” Rania berdiri. “Gow!” JDERRR! “Aarrghhh!” “Avatar ‘kah? Bisa mendatangkan hujan,” ucap Prabu sambil melihat ke arah langit yang menggelap dalam sekejab mata, dan tidak lama kemudian, hujan pun mengguyur. “Bapak!” *** Dan disinilah Prabu dengan Rania sekarang, sebuah rumah bergaya adat bali, pemiliknya adalah nenek tua yang memang menjaga tempat ini. Penjaga tadi yang membawa Rania juga Prabu kesini sebab tidak memungkinkan untuk kembali dalam cuaca hujan besar. Setelah diberi pakaian ganti, Prabu dan Rania duduk sambil menatap Nenek Dita yang menyiapkan teh untuk keduanya. “Terima kasih banyak, Nek,” ucap Prabu menerimanya. “Made bilang kalian ini pasangan kekasih ya?” “Uhuk! Benar, Nek,” jawab Rania. “Kenapa?” lanjutnya saat melihat kegelisahan di wajah sang nenek. “Takutnya badai ini sampai malam, kalian baiknya menginap disini. Tapi hanya ada satu kamar, dan kalian belum menikah bukan?” “Tidak apa bagi saya tidur diluar.” “Eh? Nanti sakit. Maksud Nenek itu, kalian kan sudah sama-sama dewasa, jadi tidur satu kamar saja, besok paginya bisa pulang. Lagipula mau tidur dimana? Depan pintu kamar?” Memang, rumah ini hanya terdiri dari dapur, dua kamar dan kursi-kursi kecil. Ada sih kursi panjang, tapi diluar dan akan terkena hujan. “Iya, Nek, terima kasih.” Rania mendahului, enggan untuk memperpanjang masalah ini. Pikirnya, Prabu juga pasti tahu aturan toh, yang jadi permasalahan saat ini adalah lambungnya. Rania sangat lapar, tapi tidak berani meminta, mau jajan juga kemana. Ini kan Pulau yang tidak memiliki penduduk. Hingga akhirnya Rania tidak bisa menahan diri, KRUYUKKKK! Suara perutnya bahkan terdengar jelas meskipun hujan dan guntur beradu. “Ada sesuatu yang bisa dimasak, Nek? Hujan membuat saya kelaparan.” Sang Nenek tertawa. “Walah, saya pikir si cantik yang kelaparan. Yasudah, tolong bantu bawa beras di Gudang ya.” “Baik, Nek.” Prabu berdiri, dan sebelum pergi dia menatap Rania dengan tatapan mengejek, membuat perempuan itu merengek dan menghindari tatapan Prabu. Gemasnya.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD