“Anjir, Ra, gue pikir lo disana bakalan galau-in Kak Rayyan terus, taunya sama Pak Rektor ya lagi maen?”
“Stop liatin gue kayak gitu. Ga ada ya! Gue ga ada apa-apanya sama Pak Rektor. Cewek dia galak, takut banget gue dikubur hidup-hidup,” ucap Rania yang tengah tengkurap di atas ranjang, perutnya kenyang, membuat Rania mulai mengantuk sekarang. “Dia lagi di kamar mandi, gue gak mau kalau Pak Prabu dengerin kita lagi ngomongin dia ya.”
“Ck gak seru ah,” ucap Tasha yang kini beralih fokus pada laptopnya, iya sahabatnya ini masih di café sebab disana cerah. “Lo harus tahu kalau Pak Prabu ternyata yang handle kasusnya kakek gue waktu perebutan warisan. Kata kakek gue, yang namanya Prabu yang jadi rector itu kinerja sama duitnya bagus. Sampe kan harusnya dia gak bisa jadi rector, tapi kemampuannya kalahin anak pemilik Yayasan waktu ada debat terbuka.”
“Gak mempan, tolong stop ngomong kayak gitu ke gue. Gue tetep ya sama Kak Rayyan.”
“Kakak yang ninggalin lo abis kecup bibir lo?”
Baru juga Rania hendak marah, pintu dibelakang Tasha lebih dulu terbuka kuat. “Ngapa sih, Ta?”
Dita terengah-engah disana, memperlihatkan ponselnya. “Gue… gue abis ketemuan sama doi, dan tahu gak apa yang gue temuin di hapenya?”
“Ngomong yang bener, nafas lo bikin kamera gue berembun dih.”
Dita tidak mempedulikan ejekan itu, dia memutar sebuah rekaman suara dari ponselnya.
“Hahaahaha anjir pertanyaan lu, Dip. Hal yang gue perhatiin buat first date ya…. Ciumannya lah. Maksudnya selain layanin raga, harus bisa memuaskan jiwa. Hahaahaha….!”
Rania mendengarkan rekaman tersebut, Itu suara Rayyan dengan tawa teman-temannya. Disana Dita dan Tasha sudah tertawa tampak meledek. “Ra, lu pas dikecup diem aja sih, makannya gak dilanjut sama dia.”
Rania tahu itu candaan, tapi membuatnya kepikiran. Entah Rayyan juga sedang menggoda teman-temannya atau tidak, yang jelas Rania jadi terfikirkan. “Udah dulu ya.” Dia menutup telpon tersebut.
Rania pernah kok berpacaran, hanya saja tidak sampai tahap liar mengingat sang Papa sangat protective, pulang sekolah harus langsung ke rumah jika tidak ada kursus. Itu membuat pacar-pacarnya pada mundur, dan barulah dia bebas ketika masuk kuliah. Sayangnya Rania tidak bisa menerima para pria yang menyatakan cinta, hatinya tertaut pada Rayyan, mantan ketua BEM.
“Heh, ngapain bengong.”
“Hah? Bapak?” gumam Rania melihat Prabu yang sudah keluar dari kamar mandi. Rania berdehem, pria itu hanya memakai handuk melilit di pinggang, memperlihatkan belahan otot yang begitu liat dan keras.
“Bajunya gak bisa dibawa ke dalam, gak ada gantungannya.”
“Saya gak nanya.”
“Tercetak di kepala kamu sih. Gak ada niatan saya godain kamu, Jagoan.”
“Stop manggil saya Jagoan, Pak?”
“Kenapa? Nyatanya kan gitu, keberanian kamu masih saya kasih applause.”
Rania memalingkan wajahnya, dia bangkit dari ranjang sebelum Prabu kembali ke kamar mandi untuk berpakaian. “Mau kemana, Rania? Jangan mentang-mentang dipanggil Jagoan, kamu jadi keluyuran malam gini.”
“Mau ke Nenek juga,” ucap Rania keluar dari kamar tersebut, beruntunglah Nenek masih di dapur, terlihat sedang membuat…. Anggur?
“Eh, kenapa bangun, Nak? Sini.”
Rania tersenyum dan melangkah mendekat, matanya sempat melirik kamar sang nenek yang hanya muat satu orang. Disana juga banyak barang-barang kuno, pantas saja dirinya tidak diajak bermalam di kamar tersebut. Rania duduk disamping sang Nenek. “Nenek bisa bikin anggur sendiri?”
“Bisa, dulu buyut nenek orang Belanda, diajarin cara membuat anggur yang enak. Karena kamu enak dipandang, Nenek kasih satu buat kamu. Gak usah dikasih ke pacar kamu ya, dia udah kelihatan sepuh, kasihan kalau ditambah minum alkohol. Buat kamu aja.”
“Makasih banyak, Nek.”
“Jadi kenapa kamu keluar? Lapar?”
“Eh, enggak, mau ngadem aja disini, Nek.”
“Nenek tidur duluan gak apa?”
Rania mengangguk, tidak mau sang nenek merasa terganggu. Jadi ditinggalkanlah Rania di ruang tengah tersebut, dia menatap ke jendela yang terbuka, dimana cakrawala masih gelap gulita, hujan pun masih membasahi pulau eksotis ini, hanya saja tidak semenakutkan sebelumnya, memberi waktu bagi Rania untuk merenung, untuk berfikir, apakah Rayyan itu main-main atau tidak padanya?
****
Prabu mana bisa tidur kalau anak itu belum juga kembali ke kamar. Apalagi hujan masih belum reda. Namun dirinya tidak bisa langsung menyusul karena baru saja menelepon asistennya, memberi instruksi tentang berkas-berkas seminar dan tugas-tugas kampus yang harus ditangani secepatnya. Baru setelah panggilan ditutup, Prabu membuka pintu dan keluar, melongokkan kepala ke kiri dan kanan. “Rania?”
Tak ada sahutan.
Langkahnya ringan menyusuri lorong rumah tradisional yang sebagian lantainya berderit. Dan yang ia temukan membuatnya mengernyit tajam.
Rania, duduk sendirian di ruang tengah dekat jendela. Botol anggur yang tinggal seperempat berdiri miring di sisi kursi. Rambutnya jatuh acak-acakan menutupi sebagian wajah. Gadis itu menyandarkan dagunya di lutut, sesekali bergumam tidak jelas sambil memandangi hujan yang terus mengguyur.
Prabu menghampiri dengan langkah pelan. “Kamu ini kenapa?” gumamnya seraya merapikan helaian rambut yang menutupi wajah Rania.
“Hmmmm,” Rania bersuara pelan, matanya terpejam setengah, pipinya kemerahan, dan napasnya hangat menguap dengan aroma fermentasi manis. “Pakai anggur, enak banget, Pak... siapa ya ini? Bapak-bapak mana lagi, ya?”
Prabu mendengus pelan. “Rania, kamu mabuk?”
“Hmm?” Rania mengangkat kepala, menatapnya dengan ekspresi kebingungan. “Enggak... saya cuma pengen lupakan Rayyan. Si tukang cium terus kabur... dasar cowok nggak punya hati...”
Prabu hanya menatap tanpa reaksi, meski matanya menyiratkan campuran geli dan heran. Ia duduk di sampingnya, menyingkirkan botol anggur dan gelas yang hampir jatuh dari pegangan Rania.
“Eh, jangan diambil dong...” Rania merengek pelan, lalu menopang tubuhnya sendiri yang mulai tak seimbang. “Bapak jahat... kayak Rayyan... cowok semua sama aja.”
“Bedanya, saya gak cium kamu lalu kabur,” ujar Prabu santai, membiarkan ucapan itu meluncur sembari menahan tubuh Rania yang hampir tergelincir dari duduknya.
“Bapak mau cium saya?”
“Enggak juga sih, bibir kamu pahit.”
“Waaah... bapak... tegaaa... saya ini lagi patah hati... lagi dibuang... lagi mau jadi angin... tahu gak, Pak, jadi angin itu enak... bisa jalan kemana-mana...”
Dan sebelum sempat ditahan, Rania berdiri dengan langkah goyah, berjalan ke arah pintu yang mengarah keluar. “Saya mau terbang!”
“Astaga anak ini.” Prabu berdiri cepat, tapi belum sempat menahan, gadis itu sudah membuka pintu rumah.
Udara dingin dan hujan malam langsung menyambut tubuh mungil itu, mengguyur wajah dan bahunya. Rania mengangkat tangan, menatap langit yang gelap.
“Aku mau teriak! Mau nari! Mau—”
Dalam sekali gerakan, Prabu mengangkatnya dengan mudah. “Udah cukup. Masuk.”
“Heeeeyyy... jangan bawa aku! Aku belum selesai jadi angin!” Rania memberontak kecil di pelukan Prabu, tangan dan kakinya menendang tak tentu arah, tapi kekuatannya tak berarti apa-apa di hadapan lengan kekar yang menggenggamnya kokoh.
“Kalau kamu angin, saya petirnya,” gumam Prabu. “Jadi diam.”
“Gak lucu, Pak... saya mau kabur... mau kabur dari semuanya... dari skripsi... dari dunia... dari cinta tak berbalas... dari... dari...”
“Dari realita?” potong Prabu, kakinya melangkah ke dalam kamar mereka. “Sayangnya, kamu cuma mabuk. Besok pagi kamu akan bangun dengan pusing, malu, dan pengen minta maaf.”
“Emang iya ya?” Rania mengerjap pelan, lalu menyandarkan kepalanya di d**a Prabu. “Saya gak pengen minta maaf... saya pengen... dimengerti...”
Prabu menatap wajah Rania yang kini terlelap di pelukannya, nafasnya hangat dan tenang. Bibirnya masih menggumam, tapi matanya mulai tertutup. Prabu menghela napas. Gadis ini benar-benar menyulitkan… dan membuatnya khawatir lebih dari yang seharusnya.
Ia membuka pintu kamar perlahan, masuk, lalu membaringkan Rania dengan hati-hati ke atas ranjang. Selimut ditarik hingga menutup tubuhnya, tangan Prabu terhenti sejenak ketika jari Rania tiba-tiba meraih pergelangan tangannya.
“Kamu mau apa, Rania?”
Perlahan matanya terbuka, memandang pria matang yang dilihat-lihat lumayan tampan juga, ucap pikiran mabuk Rania. “Gimana caranya ciuman yang enak?”
“Hah?”
“Ciuman yang enak itu. Gimana?”
“Kamu melantur, Rania. Tidur yang benar, kita kesini untuk bersenang-senang, bukannya mabuk kayak barusan. Apapun yang menjadi sakit hati kamu, jangan sampai malah merusak tubuh kamu. Paham tidak? Saya tidak- hmph!”
Belum sampai Prabu menyelesaikan kalimatnya, tengkuknya ditarik. Bocah Jagoan ini menciumnya berantakan, dengan lidah yang dipaksa masuk ke mulut Prabu. Astaga, Tuhan, cobaan apa lagi yang belum dicoba Prabu?