Zara dan Amanda tiba di depan toko kuenya tepat pukul tujuh malam, setelah seharian penuh bekerja mengurus acara di hotel mewah. Letih mendera tubuhnya, tetapi pikirannya lebih sibuk dari biasanya. Pertemuan tak terduga dengan Davendra, mantan bos sekaligus aktor idolanya, seakan membuat hari ini menjadi lebih panjang dari yang ia bayangkan. Meski sudah lima tahun berlalu sejak mereka terakhir bertemu, perasaan itu tak pernah benar-benar hilang. Cintanya pada Davendra, meski hanya ia pendam dalam diam, masih terasa nyata di setiap tarikan napasnya.
Namun, kenyataan yang ia saksikan tadi di acara pertunangan Davendra dengan Camilia membuat hatinya teriris. Melihat senyum bahagia pria itu bersama wanita yang telah dipilihnya, Zara sadar sepenuhnya bahwa Davendra kini milik orang lain. Ia tak punya hak untuk merasa cemburu, tapi tetap saja ada bagian dari hatinya yang rapuh karena cinta yang tak pernah terungkap.
"Ya, sudahlah," gumam Zara pelan sambil menghela napas panjang. "Aku sudah memilih jalanku. Meski hanya bisa mencintai dari jauh, aku masih punya bagian kecil dari Davendra." Ia tersenyum getir, teringat pada anak kembar yang menantinya di rumah—Nathan dan Nala. Anak-anak yang lahir dari cinta yang tak pernah diketahui Davendra.
Saat memasuki rumah, Zara langsung disambut suara ceria dari kedua anaknya.
"Mommy!" seru Nathan sambil berlari ke arahnya, diikuti oleh Nala yang tak kalah bersemangat.
"Mommy udah pulang!" ujar Nala sambil melompat kecil, matanya berbinar. Bocah cantik itu langsung meminta dipeluk mommynya, begitu juga dengan bocah tampan yang sepertinya amat menantikan kepulangan Zara.
Zara tersenyum hangat, kelelahan yang ia rasakan seakan lenyap saat melihat keceriaan anak-anaknya. "Iya, Mommy sudah pulang. Gimana tadi di sekolah taman bermain? Ada yang seru nggak, Nak?"
Nathan dan Nala saling berebut bercerita.
"Adi Nathan ain ayunan, Mom!" kata Nathan antusias.
Nala langsung menyusul, "Iya, telus kita cama-cama ikin plakalya! Kata Bu Gulu becok mau ke cupelmalket, Mom! Kita au beli banyak balang-balang lucu!"
Zara tersenyum, menikmati semangat mereka. Namun, sayangnya ia tahu besok tidak bisa ikut serta.
"Besok Mommy nggak bisa ikut, Nak. Mommy masih harus kerja di toko, ada pesanan kue yang harus Mommy selesaikan," ujar Zara lembut, berusaha menjelaskan dengan hati-hati.
Nathan dan Nala tampak kecewa, namun mereka tetap mendengarkan. "Telus kita pelgi cama ciapa, Ma?" tanya Nala, suaranya pelan.
Zara mengelus kepala kedua anaknya, lalu mengecup pipi si kembar secara bergantian. "Tenang aja, bik Nia yang akan nemenin kalian besok. Kalian juga biasanya pergi sekolah sama bik Nia, kan?"
Nathan dan Nala saling berpandangan, lalu mengangguk meski terlihat sedikit kecewa. "Oke deh, acal becok pulang Mommy main cama kita, ya!" ujar Nathan akhirnya.
Zara tersenyum lega, "Iya, Mommy janji."
Setelah si kembar banyak bercerita, wanita itu menidurkan Nathan dan Nala, usai itu Zara duduk di ruang tamu, mencoba menikmati segelas teh hangat. Namun pikirannya kembali melayang pada Davendra. Pertemuan singkat tadi terus menghantui pikirannya. Tatapan mata pria itu, meski hanya sekejap, terasa begitu dalam. Seolah ada sesuatu yang belum selesai di antara mereka.
“Aku harus melupakan ini. Sudah lama berlalu, dan dia sangat bahagia dengan hidupnya sekarang,” gumam Zara, berusaha menenangkan diri. Tapi hatinya berbisik lain. Di dalam, ia masih merasakan perasaan yang sama seperti lima tahun lalu.
***
Di hotel mewah tempat Davendra menginap, suasana kamar suite-nya yang luas terasa sunyi. Davendra duduk di sofa dengan tatapan kosong, memandangi jendela yang mengarah ke pemandangan kota Bandung. Bayangan Zara masih melekat dalam pikirannya, meski acara pertunangannya dengan Camilia tadi berlangsung sempurna.
"Aku tidak bisa berhenti memikirkannya," gumamnya pelan, memutar kembali ingatan tentang Zara. Pertemuan mereka tadi terasa begitu singkat, tetapi ada sesuatu yang berbeda. Sesuatu yang membuatnya tidak bisa melupakan Zara begitu saja.
"Reza," panggil Davendra, memecah keheningan.
Reza yang sedang membereskan barang-barang di meja, langsung mendekat. "Iya, Pak Dave?”
"Kamu tadi sempat minta nomor telepon Zara nggak?" tanya Davendra tiba-tiba, suaranya sedikit tegang.
Reza mengerutkan kening, merasa bingung. "Zara, Pak? Maksud Bapak, mantan karyawan kita yang tadi sempat ketemu pas acara pertunangan?"
"Iya, Zara yang itu, bagian wardrobe," jawab Davendra, matanya tajam.
Reza tampak canggung. "Maaf, Pak, saya lupa minta nomor teleponnya. Tadi saya pikir tidak penting."
Davendra mendengus kesal, meletakkan cangkir kopinya dengan sedikit kasar di atas meja. "Kenapa kamu nggak pikir itu penting? Saya harus bicara dengannya."
Reza tampak gugup, menyadari kesalahan kecilnya bisa membuat Davendra marah. "Maaf, Pak. Saya benar-benar tidak kepikiran. Nanti saya coba cari cara untuk dapetin nomornya."
"Segera. Saya butuh nomor telepon Zara," perintah Davendra dengan nada dingin.
"Baik, Pak. Saya akan segera mencarinya," jawab Reza sambil bergegas keluar dari kamar.
Setelah Reza pergi, Davendra mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya tidak bisa berhenti memutar kembali ingatan lima tahun lalu. Kejadian di klub malam itu, di mana ia dalam keadaan mabuk dan hilang kendali, terus menghantuinya. Ia tidak bisa mengingat segalanya dengan jelas, tapi satu hal yang ia yakini—Zara pasti tahu lebih dari yang ia ingat.
“Apa yang sebenarnya terjadi malam itu?” gumam Davendra, merasa dirinya terseret oleh masa lalu yang belum terselesaikan.
Pertanyaan itu terus berputar di kepalanya. Ia sudah mencoba melupakannya, menganggap itu hanyalah masa lalu yang seharusnya terkubur. Tapi kali ini saat ia bertemu Zara, perasaan itu kembali muncul. Ia tahu ada sesuatu yang lebih dalam yang terjadi, sesuatu yang mungkin seharusnya tidak ia ketahui.
Dengan frustrasi, Davendra berdiri dan berjalan ke arah jendela kamar hotel, memandang pemandangan malam kota yang terang benderang. Bagaimana mungkin satu malam yang hampir terlupakan bisa memiliki dampak begitu besar padanya?
“Aku harus tahu,” bisiknya pelan, memutuskan bahwa ia tidak bisa membiarkan hal ini begitu saja. Bagaimanapun, Zara adalah satu-satunya orang yang bisa menjawab pertanyaannya tentang malam itu.
***
Di sisi lain, Zara terbangun dari tidurnya tengah malam, perasaannya tak tenang. Ia duduk di tepi tempat tidur, menatap pintu kamar Nathan dan Nala yang tertutup rapat.
“Apa pak Dave pernah curiga?” pikir Zara.
“Aku harap pak Dave tidak pernah curiga dan tidak penah tahu tentang Nathan dan Nala?" Ada rasa khawatir yang mendadak menguar dalam benaknya.
Zara memejamkan matanya, berusaha menenangkan perasaan yang mulai resah. "Tidak, pak Dave tidak perlu tahu," gumamnya yakin, meyakinkan dirinya bahwa ini adalah yang terbaik untuk semua.