Bab 7. Jejak Takdir

1216 Words
Keesokan hari, Reza menghela napas lega saat akhirnya mendapatkan kontak yang diminta bosnya. Setelah berhari-hari bekerja di balik layar pertunangan Davendra dan Camilia, ia akhirnya berhasil mendapatkan nomor telepon dan alamat toko milik Zara dari event organizer yang mengurus acara tersebut. Dengan langkah cepat, Reza menuju kamar Davendra untuk segera memberikan kartu nama itu kepada bosnya. Sesampainya di depan pintu kamar Davendra, Reza mengetuk pelan sebelum memasuki ruangan. Davendra, yang sedang memeriksa email yang masuk di tabletnya mengangkat wajahnya dan menatap Reza dengan tatapan bertanya. “Ini, Pak. Saya sudah dapatkan kontaknya,” ujar Reza sambil menyodorkan kartu nama itu. Davendra menerima kartu nama dengan ekspresi penasaran. Di sana tertulis jelas nama toko, Mommy Bake, lengkap dengan nomor telepon dan alamat di Bandung. Senyum tipis muncul di sudut bibirnya saat ia menyadari bahwa toko kue itu milik Zara, seseorang yang sejak semalam telah mengusik pikirannya. “Bagus,” gumam Davendra sambil menatap kartu itu lebih lama. “Kebetulan saya masih punya waktu di Bandung sebelum jadwal syuting berikutnya. Mungkin saya akan mampir ke tokonya.” Namun, sebelum Davendra bisa lebih jauh merencanakan kunjungannya, pintu kamarnya terbuka lagi. Camilia masuk dengan senyum manja, menghampiri tunangannya dan menggenggam lengan Davendra dengan penuh keakraban. "Kak Dave, kita jadi’kan kulineran hari ini?" tanyanya dengan nada rengekan halus. "Keluargaku sudah siap, mereka tidak sabar mencoba makanan-makanan khas Bandung." Davendra menahan diri untuk tidak menghela napas. Sebagai seorang aktor terkenal, ia sering merasa lelah dengan berbagai acara sosial, terlebih lagi jika itu bukan hal yang benar-benar ia minati. Namun, melihat Camilia yang sudah sangat bersemangat, ia tahu ia tidak punya pilihan. “Jadi, Cam. Kita berangkat sebentar lagi, aku selesai pekerjaan kantorku dulu,” jawab Davendra, menjaga nadanya tetap ramah meski sebenarnya ia lebih tertarik untuk pergi sendiri ke toko kue Zara. “Tapi nanti aku mungkin harus mampir sebentar ke tempat lain.” Camilia mengangguk antusias dan mencium pipi Davendra sebelum meninggalkan kamar itu dengan riang. Setelah pintu tertutup, Davendra kembali menatap kartu nama di tangannya. Ada sesuatu tentang Zara yang membuatnya semakin penasaran, namun ia harus menunda keinginannya untuk berkunjung sampai acara kulineran bersama keluarga Camilia selesai. *** Di sudut kota Bandung yang lain, Zara sedang bersiap-siap mengantar Nathan dan Nala ke sekolah taman bermain. Pagi ini ia merasa sedikit tergesa-gesa karena setelah mengantar anak-anak, ia harus langsung menuju toko kuenya. Hari ini adalah hari yang sibuk, dengan pesanan kue yang sudah menumpuk sejak kemarin. “Nathan, Nala, sudah siap? Kita berangkat sekarang, Sayang!” seru Zara sambil mengemas tas anak-anak. “Ciap, Mommy!” jawab Nathan dengan penuh semangat, diikuti oleh Nala yang melompat-lompat riang. Hari ini adalah hari yang ditunggu-tunggu oleh si kembar. Di sekolah taman bermain mereka, ada rencana kegiatan khusus, di mana para murid akan diajak ke supermarket untuk belajar mengenal berbagai macam barang kebutuhan sehari-hari. Nathan dan Nala sangat bersemangat, terutama karena mereka bisa melihat berbagai makanan dan minuman yang biasanya hanya mereka temui di dapur. Zara melirik jam di dinding. “Ayo, kita harus segera berangkat. Mommy nggak bisa ikut ke supermarket nanti, ya. Mommy harus ke toko.” Mereka berempat pun akhirnya keluar rumah dan meluncur ke sekolah taman bermain. Sesampainya di sana, Zara berbicara sebentar dengan para guru untuk memastikan semuanya sudah diatur dengan baik. Setelah itu, ia berpamitan kepada Nathan dan Nala, lalu menitip si kembar pada bik Nia. “Mommy, nggak ikut?” tanya Nala dengan nada sedikit kecewa, sebenarnya bocah cantik itu sudah tahu sejak semalam jika mommynya tidak bisa ikut menemani. “Maaf ya, Sayang. Mommy harus urusin pesanan kue di toko,” jawab Zara lembut sambil mengelus kepala Nala. “Tapi kamu sama Nathan pasti senang'kan di supermarket. Mommy sudah titip uang di bik Nia kalau nanti kalian berdua mau beli sesuatu di supermarket.” Nathan mengangguk cepat. “Pasti, Mom! Jadi anti kita bedua boleh jajan Mom?” “Boleh dong, Sayang.” Zara tersenyum, lalu mencium pipi mereka sebelum akhirnya bergegas menuju ojek onlinenya. Hatinya sedikit berat karena tidak bisa menemani si kembar dalam kegiatan itu, tapi ia tahu ada tanggung jawab lain yang harus ia selesaikan di toko kuenya. *** Beberapa jam kemudian, Nathan dan Nala sudah berada di supermarket bersama teman-teman sekelas mereka. Guru-guru memandu anak-anak dengan cermat, memastikan mereka tidak berlarian sembarangan. Namun, semangat Nathan dan Nala tak terbendung. Mereka berlari-lari kecil sambil melihat-lihat berbagai produk di rak-rak. Tanpa disadari, Nathan yang sedang asyik mengejar Nala tiba-tiba menabrak seorang wanita paruh baya yang sedang berbelanja di lorong s**u. Tubuh mungil Nathan terdorong mundur, sementara wanita itu terkejut sejenak sebelum melihat siapa yang menabraknya. “Oh, maafin Nathan, Bu,” kata Nathan dengan suara lirih, merasa sangat bersalah. Wanita itu tersenyum lembut dan membungkuk sedikit, menatap wajah Nathan dengan penuh kasih sayang. “Tidak apa-apa, Sayang. Kamu tidak sengaja, kan?” Nathan mengangguk pelan, wajahnya masih terlihat cemas. “Iya, Bu. Nathan ndak cengaja.” Wanita itu menatap Nathan lebih lama, kemudian tersenyum lagi, kali ini dengan ekspresi yang sedikit berbeda. Wajah anak kecil ini tampak begitu familier. Sesaat ia merasa seolah pernah melihat sosok seperti Nathan sebelumnya, tapi di mana? “Nama kamu siapa, Nak?” tanya wanita itu lembut. “Nathan, Bu,” jawabnya polos. “Dan ini kakak kembal caya, Kak Nala, namanya,” tambah Nathan, menunjuk Nala yang sudah berdiri di sampingnya. “Oh, kalian kembar, masya Allah kalian berdua manis sekali,” ujar wanita itu sambil mengelus kepala Nathan dan Nala bergantian. “Ibu kalian mana?” “Mommy lagi kerja di toko kue, Bu,” jawab Nala dengan riang. Wanita itu tersenyum kecil. Namun, tatapannya kembali tertuju pada wajah Nathan. Anak ini benar-benar mirip … mirip sekali dengan Davendra, putranya. Semakin lama ia memandang, semakin jelas kemiripan itu, lalu melirik logo sekolah yang ada di bagian saku seragamnya. “Kenapa mereka berdua agak mirip dengan putraku?” batin wanita paruh baya itu dengan rasa terkejutnya. Sebelum wanita itu sempat bertanya lebih lanjut, guru kelas mereka menghampiri dan meminta anak-anak untuk kembali ke kelompok. Wanita itu tersenyum sekali lagi kepada Nathan dan Nala sebelum melambaikan tangan. “Hati-hati ya Nak. Jangan lari-lari, ya,” ucapnya lembut sebelum pergi. "Ya, Bu!" seru Nathan dari kejauhan, bibir mungilnya pun tersenyum lebar. "Dave, anakku!" Jantung wanita paruh baya itu berdegup cepat saat melihat senyuman Nathan. Setelah pertemuan singkat itu, wanita paruh baya tersebut masih terkejut. Siapa anak ini? Dan kenapa mereka terlihat begitu mirip dengan Davendra? Apa ini hanya kebetulan saja? “Mereka berdua sangat mirip Dave, apa ini hanya kebetulan saja?” gumamnya pelan sembari ia menghafalkan nama sekolah taman bermain itu. “TK. Tadika Pertiwi.” *** Sementara itu, di sebuah restoran di pusat kota Bandung, Davendra duduk bersama Camilia dan keluarga tunangannya. Meskipun sekelilingnya dipenuhi tawa dan percakapan ceria, pikirannya terus melayang ke toko kue Zara. Ada sesuatu tentang Zara yang membuat Davendra merasa ada hal penting yang harus ia ketahui. “Kak Dave, dari tadi kalau diperhatikan kebanyakkan diam. Kak Dave baik-baik aja, kan?” tanya Camilia, menyadari perubahan suasana hati tunangannya. Davendra tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja. Mungkin sedikit lelah karena acara kita kemarin.” Namun jauh di dalam hatinya, Davendra tahu bahwa ia harus segera pergi ke toko kue itu. Sesuatu yang penting menunggu di sana, dan ia tak bisa lagi menunda pertemuan itu. “Aku harus segera bertemu dengan Zara kembali.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD