Bab 8. Rahasia Yang Tersembunyi

1035 Words
Davendra melangkah keluar dari kafe dengan langkah cepat, kepalanya penuh dengan pikiran. Di dalam, Camilia, tunangannya, masih bercengkerama dengan keluarganya, membahas rencana pernikahan dan hal-hal yang tampaknya lebih penting bagi mereka daripada dirinya. Ia butuh udara, butuh menjauh dari semua itu. Pikirannya tak bisa berhenti mengarah ke satu hal—Zara, dan sebuah kejadian lima tahun lalu yang hingga kini menghantuinya. Di pinggir jalan, Davendra mengambil ponselnya dan segera menghubungi Reza, asistennya. “Reza, jemput saya sekarang. Ada sesuatu yang harus kita selesaikan.” Tak lama kemudian, mobil hitam berhenti di depan kafe. Reza keluar, wajahnya sedikit bingung melihat ekspresi tegang Davendra. “Pak Dave, ada apa? Ada masalah dengan Camilia dan keluarganya?” Davendra tidak menjawab pertanyaan Reza. “Saya perlu pergi ke tempat ini.” Pria itu menyodorkan sebuah kartu nama kecil yang diberikan Reza tadi pagi. Reza menatapnya sekilas, melihat nama yang tertera di sana—‘Mommy Bake'. Reza tidak banyak bertanya, segera membawa mereka menuju alamat yang tertulis di kartu nama tersebut. Satu jam kemudian, mereka tiba di depan sebuah toko kue kecil. Dari dalam mobil, Davendra memperhatikan toko itu dengan seksama. ‘Mommy Bake', sebuah toko yang tampak sederhana namun cukup ramai pengunjung. Ia duduk sejenak di mobil, mengenakan topi dan kacamata hitamnya, lalu menatap Reza. “Saya akan masuk sendiri,” ujar Davendra dingin. Reza mengangguk, membiarkan bosnya bergerak sesuai keinginannya. Dengan langkah mantap, Davendra keluar dari mobil dan berjalan menuju toko. Begitu ia membuka pintu, aroma manis kue-kue yang baru dipanggang langsung menyambutnya. Toko itu penuh dengan pelanggan yang sedang memilih kue di etalase. Namun, pandangan Davendra hanya tertuju pada satu orang—Zara. Di dapur, Zara sibuk bersama Amanda, rekan kerjanya, serta karyawan lainya menyelesaikan beberapa pesanan besar. Tangannya bergerak cekatan, tapi pikirannya melayang, merasa beban kerja hari itu lebih berat dari biasanya. Sebuah ketukan di pintu dapur mengalihkan perhatiannya. “Mbak Zara.” Salah satu karyawan mendekat, “Ada seorang pria tinggi di depan. Pria itu ingin bertemu dengan Mbak Zara.” Zara mengernyit. “Siapa? Saya lagi sibuk, Ayu.” Karyawan itu tampak bingung. “Pria itu nggak bilang namanya, Mbak, tapi kelihatannya penting. Dia kelihatan ... terkenal.” Hati Zara mulai berdebar kencang. Sebuah firasat buruk menghampirinya. Ia segera melepas celemek dan berjalan keluar dari dapur, penasaran siapa pria yang mencarinya. Begitu tiba di area depan toko, matanya langsung tertumbuk pada sosok yang berdiri tegap di dekat pintu. Topi dan kacamata hitam menutupi sebagian wajahnya, tapi Zara tahu betul siapa pria itu. “Davendra?” suaranya terdengar serak. Tubuhnya seketika menegang, tidak menyangka mantan bosnya muncul begitu saja di tokonya. Davendra tidak banyak bicara, ia melangkah mendekatinya. “Bisa kita bicara empat mata, Zara?” Suaranya rendah, namun jelas mengandung perintah. Zara terpaku sejenak, jantungnya semakin berdebar tak karuan. Pikirannya melayang pada kejadian lima tahun lalu, momen yang ia pikir telah lama terkubur. Namun, kenyataannya peristiwa itu masih hidup, setidaknya di benak Davendra. “Tentu ... mungkin kita bisa bicara di ruang kerja saya. Di sini terlalu ramai, Pak,” jawab Zara pelan, mencoba menenangkan dirinya. Mereka berdua berjalan ke bagian belakang. Di sana, Zara memastikan bahwa tidak ada karyawan lain yang mendengar percakapan mereka. Begitu pintu tertutup, suasana menjadi sangat sunyi. Hanya suara detak jantung Zara yang terdengar di telinganya. “Silakan duduk Pak Dave. Ada apa sebenarnya dan kok Pak Dave tahu toko ini?” tanya Zara akhirnya, meski ia sudah bisa menebak arah pembicaraan ini. Davendra melepaskan kacamata hitamnya, menatap langsung ke arah Zara dengan pandangan yang tajam. Enggan untuk duduk. “Saya langsung pada intinya saja. Lima tahun yang lalu, di klub malam ....” Davendra membuka pembicaraan, suaranya dingin, tak menunjukkan emosi apa pun. “Saya ingat kamu ada di sana, Zara. Saya tahu kamu belum pulang saat saya mabuk, tapi setelah itu, semuanya kabur.” Zara terdiam, tubuhnya mulai gemetar. Ia tahu apa yang Davendra maksudkan, tapi ia tak berani mengatakan yang sebenarnya. “Saya nggak ngerti, Pak Dave ....” “Jangan bohong, Zara,” potong Davendra dengan nada tegas. “Saya ingin tahu siapa wanita yang bersama saya malam itu. Saya bangun di hotel tanpa mengingat apa pun, tapi satu hal yang saya ingat, kamu ada di sana. Apa kamu tahu siapa wanita yang membawa saya ke hotel?” Zara terdiam, hatinya berkecamuk antara mengatakan yang sebenarnya atau tetap menyembunyikan kebenaran. Ia menelan ludah, mencoba mencari alasan yang masuk akal. “Saya ... saya nggak tahu, Pak Dave. Mungkin Bapak salah ingat. Saya memang ikut di klub malam saat itu, tapi aku nggak tahu apa yang terjadi setelahnya.” “Benarkah?” Davendra mendekat, suaranya semakin dingin. “Saya tahu kamu menyembunyikan sesuatu, Zara. Saya ingat wajahmu malam itu. Kamu satu-satunya yang tersisa sebelum semuanya menjadi gelap. Jangan berpura-pura tidak tahu.” Zara merasakan kakinya goyah. Matanya menghindari tatapan Davendra, tidak mampu menahan tekanan dari pria itu. Namun, bibirnya tetap tertutup rapat. Ia tidak bisa mengakui kebenaran itu. Tidak sekarang. “Saya sungguh tidak tahu, Pak Dave. Saya waktu itu hanya ingat menunggu jemputan, setelah itu saya pamit pulang sama Bapak yang memang dalam keadaan mabuk, dan di sana masih banyak orang kok,” kata Zara dengan suara yang hampir berbisik, meskipun hatinya berteriak sebaliknya. Davendra menghela napas panjang, jelas frustrasi dengan jawaban Zara. Ia mundur selangkah, menatapnya dengan pandangan penuh kekecewaan. “Baiklah, kalau itu jawabanmu. Tapi saya tidak akan menyerah begitu saja, Zara. Suatu saat kebenaran akan terungkap.” Zara hanya bisa menunduk, merasa berat karena kebohongan yang terus ia sembunyikan. Davendra menatapnya untuk beberapa saat lagi sebelum akhirnya berbalik dan berjalan keluar dari ruang kerja, meninggalkan Zara dalam kebisuan yang penuh dengan rasa bersalah. Begitu pintu ruangannya tertutup, Zara menghela napas berat, tubuhnya melemas. Air matanya jatuh tanpa bisa ia tahan. Kenangan lima tahun lalu kembali menghantui pikirannya—malam itu, malam di mana semua berubah. Dan sekarang, pria yang ia cintai diam-diam, pria yang tak pernah mengingat apa yang sebenarnya terjadi, berdiri di ambang pintu rahasia yang selama ini ia simpan rapat-rapat. Dengan hati yang tersiksa, Zara tidak mengira bahwa hari itu akan tiba, hari di mana kebenaran tidak lagi bisa ia sembunyikan. “Ya Allah, jangan sampai dia tahu. Kumohon jangan sampai terbuka rahasiaku. Aku tidak ingin dia tahu.”
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD