Sekitar setengah tahun kemudian...
Universitas Burung Pengejek alias The Mockingbird University.
Di kantin universitas saat istirahat siang. Sungguh sulit untuk para mahasiswa kelaparan menemukan tempat duduk di waktu yang riskan itu kalau tidak datang cepat. Di luar jam istirahat saja biasanya cukup sulit mendapat bangku di posisi yang diinginkan. Ini lagi di waktu saat nyaris semua penghuni kampus tumpah ruah di sana. Untuk mengisi perut sekaligus menyegarkan dahaga.
“SUS!” panggil seseorang dari arah berlawanan.
Pemuda bernama Susi itu pun auto langsung menoleh dan melangkahkan kaki dengan cepat untuk menghampiri si pemilik panggilan. Suara itu terdengar seperti berkah yang baru saja diberikan Tuhan.
”Oalah, bukannya sejak tadi kalian panggil aku,” omelnya, ”Senang ya liat orang celingak-celinguk kayak orang ilang.”
”Helehh, wes koyo’ cewek lagi dapet aja kamu digituin aja pakai acara ngedumel tanjung kimbul segala,” respon seorang kawan dengan wajah geli.
”Yo uwes, lah. Yang penting sudah kalian pesankan kan makananku?” tanya Susi seraya mengeluarkan laptop dan beberapa buku dari dalam tas. Hendak nyambi mengerjakan tugas sebelum kelas selanjutnya di waktu break yang terbatas.
”Udah, kok. Tenang aja,” jawab seorang teman.
”Udah kita abisin maksudnya,” lanjut teman yang lain diiringi tawa meriah, “HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA HA!!!”
Semakin menyemarakkan suasana kantin yang sudah berisik to the bone.
Sialan kalian semua, batin Susi kesal. Tapi, karena tidak ingin kembali dianggap baper seperti barusan. Akhirnya ia pun ikut-ikutan tertawa saja sambil mengeplaki kepala para temannya satu demi satu. Plak plak plak plak plak plak plak!
Singkat cerita teman-teman Susi mengganti pesanannya yang telah mereka habiskan. Dan perut pemuda berusia sembilan belas tahun itu pun akhirnya berhenti keroncongan. Bukannya mengerjakan tugas seperti niatan (mulia) di awal. Berkat hasutan teman-temannya yang sudah seperti iblis semua ia pun malah jadi asyik membincangkan berbagai macam hal.
”Gio! Sini, Gi, sini!” teriak seorang teman yang duduk di depannya. Melambaikan tangan ke seseorang yang berdiri di belakang Susi.
Susi ikut menoleh untuk melihat. Oh, si Gio, batinnya.
Gio menghampiri segerombolan mahasiswa yang hanya gemar bersenang-senang di kampus itu. Dengan tas ransel berwarna khaki asal Korea Selatan di punggung. Dan beberapa buku ajar tebal di tangan. Penampilannya memang cukup keren juga terkesan mahal. Tapi, ya selesai sampai di sana saja hal mengagumkan soal anak itu.
“Kamu sudah mengerjakan tugas beberapa hari lalu dari Profesor Supriadi belum?” tanya seorang mahasiswa bertampang, berpenampilan, dan memang memiliki jiwa rebel.
Anak itu, Gio, menganggukkan kepala pelan. Menjawab, ”Sudah, kok. Mau lihat?” tawarnya “rendah hati”.
Si anak rebel bersama seluruh tongkrongannya (kecuali Susi) pun bersorak gembira menyambut penawaran yang bak berkah dari nirwana tersebut. “YHEEEEII!!! Hidup Gio! Hidup Gio! Hidup Gio! Panjang umur Gio!”
Anak itu, Gio, tersenyum lembut. Berpesan, “Jangan lupa diedit-edit sedikit ya agar tidak langsung ketahuan kalau menyalin dari punyaku.”
“Tenang saja, Bos,” sahut seorang mahasiswa lain.
“Email kalian semua masih sama seperti yang waktu itu, ‘kan?” tanya Gio seraya memeriksa gawai. Berusaha “mengabsen” para mahasiswa (malas) di depannya dengan daftar email yang ada dalam catatannya. Beberapa nama email yang dikhususkan untuk perbuatan curang mereka ada yang menggunakan kata-kata sulit.
Seperti… EeE333BN03CooErenB6TZZ@xxx.com.
Super alay. Entah apa tujuan mereka melakukan itu semua. Mungkin agar malaikat kesulitan menulis saat ingin mencatat dosa para anak manusia di sana.
Bercanda.
Susi yang malas sekali melihat pemandangan itu. Memilih kembali fokus ke layar laptop saja. Kalau boleh jujur tidak peduli sebejad apa dirinya sendiri dan orang-orang yang ia jadikan kawan. Semua itu hanya untuk mengusir kesepian. Ia sama sekali tidak ingin melalui jalan menuju kegelapan sama seperti ”mereka”. Mungkin orang bilang ia anak muda naif. Tapi, sampai kapan saja ia percaya yang namanya kejujuran juga kebaikan pasti akan selangkah lebih maju. Pasti akan berdiri di garis akhir sebagai seorang pemenang.
Huh. Terdengar naif. Memang. Tapi, tak mengapa. Karena tak satu orang pun tau masa depan manusia akan jadi seperti apa.
Plok. Tiba-tiba Susi merasakan seseorang menyentuh pundaknya dari belakang. Ia tolehkan kepala. Bertanya, ”Ada apa, bro?”
“Kamu tidak mau menyalin hasil pekerjaanku juga?” tanya Gio ramah, tapi datar di saat sama.
Nada bicara yang membuat Susi jadi merasa kurang nyaman. Ia merespon, ”No need, bro. Tidak butuh. Aku kurang suka mengakui hasil kerja keras orang lain sebagai hasil kerja kerasku sendiri,” ucapnya. Sekaligus menyindir beberapa mahasiswa lain yang ada di sana.
Sontak ia pun langsung disoraki sebagai sosok manusia sok suci. Tapi, Susi dengan bangga malah menepuk-nepuk d**a sambil mengakui bahwa dirinya memang merupakan titisan manusia separuh dewa.
Kha kha kha kha kha kha kha kha kha kha kha kha kha!!!
Bercanda. Lagi.
Anak itu, mahasiswa kutu buku yang mengenakan kacamata tebal berbingkai abu-abu, Gio, kembali tersenyum dengan lengkungan yang membuat Susi merasa kurang nyaman. Meski hal yang sama tak dirasakan oleh teman yang lain. Ia seperti mendeteksi keberadaan suatu aliran negatif sangat pekat. Mengalir keluar dari dalam tubuhnya. Terutama senyum creepy yang terukir di wajah.
Gio mendekatkan bibir kering dan pucatnya ke daun telinga Susi. Berbisik, ”Sayang sekali. Padahal aku hanya ingin mempermudah kehidupanmu. Kenapa kamu berusaha menolakku?” tanyanya.
Njiit. Susi merasakan seluruh bulu kuduknya berdiri. Langsung ia dirikan tubuh dan beranjak pergi dari sana. Ia merasa tak bisa berlama-lama berada di dekat anak itu. Seorang mahasiswa yang jika dilihat semakin jauh. Terasa semakin jelas aura “kelabu” yang melingkupi kehidupannya.
Begitu kelabu bahkan sampai jauh lebih suram. Dari warna seluruh outfit yang selalu ia kenakan. Hitam. Abu-abu. Abu-abu gelap. Biru navi. Biru tua. Merah marun. Cokelat tua. Dan semua yang suram melambangkan duka nestap*.
Di balik “kebaikan” yang selalu berusaha ia tunjukkan. Dengan memberi bantuan yang mengakomodasi kemalasan begitu banyak orang. Ia bagai tengah menyembunyikan sebuah corong hitam yang tak memiliki dasar.
”Ya Tuhan, aku mohon... tolong lindungi aku,” doa pemuda itu.
Mengerikan. Menakutkan. Tidak terbayangkan. Mengerikan. Menakutkan. Tidak terbayangkan. Mengerikan!!!
*
Seusai kegiatan perkuliahan hari itu usai. Gio keluar dari ruang kelas terlebih dahulu. Ia memang nyaris selalu seperti itu. Suka menyendiri. Bersikap seorang diri ekslusif. Tapi, karena ia ”baik”. Juga cukup good looking serta kelihatan punya banyak uang. Tak ada satu orang pun yang bersedia cari gara-gara dengannya.
Ia adalah seorang Gio yang sulit dijamah. Seperti macam batu permata yang menambang, mengolah, dan membelinya susah. Ia bukanlah seorang manusia ”biasa”.
Setidaknya begitulah yang banyak “The Birds”. Istilah untuk menyebut para mahasiswa juga mahasiswi di kampus tersebut. Pikirkan. Dan Yakini. Sekalipun belum lama ini mereka semua saling mengenal. Hanya citra itu yang melekat kuat pada diri Gio.
Hari ini pun seperti biasa. Gio melangkah seorang diri menyusuri koridor demi koridor kampus. Hendak menghabiskan waktu sampai malam hari di perpustakaan universitas. Ada banyak buku yang ingin ia baca guna membunuh waktu.
Meski memang ada alasan lain untuk itu.
Aku harus jadi secerdas mungkin. Agar bisa memikirkan cara paling baik untuk pergi dari negara ini, batin pemuda itu (berusaha) percaya (pada kemampuan) diri.
Walau ia tau sekadar niat tak akan membuat apa pun jadi jauh lebih mudah atau sederhana. Paling tidak ia sudah memiliki tujuan untuk masa depan.
Huh. Terdengar naif. Memang. Tapi, tak mengapa. Karena tak satu orang pun tau masa depan manusia akan jadi seperti apa.
Plok. Kali ini Gio yang merasa seseorang telah menepuk salah satu pundaknya dari belakang. Ia langsung menolehkan wajah dengan raut sinis.
”Hai, Gi. Mau ke mana?” tanya Susi ramah.
Gio menjawab, “Maaf ya, Si. Tapi, mau ke mana aku setelah ini itu sama sekali bukan urusanmu.”
“Padahal kamu membuka ucapan dengan kata ajaib. Maaf. Tapi, yang kamu ucapkan selanjutnya malah membuat aku jadi semakin kesal,” balas Susi.
Gio menyentuh salah satu sisi dahi. ”Aku minta maaf,” pohonnya.
Susi malah tertawa riang, ”Ha ha ha ha ha ha ha!!!” Setelah itu menaruh lengan atas tangannya di atas salah satu pundak Gio dengan gestur super santai. Ia berkata lagi, ”Tidak perlu minta maaf, bro. Justru aku yang minta maaf karena sudah menggoda. Kamu tipikal anak yang mudah dipermainkan, sih. Pasti kalau dapat SMS mama minta pulsa atau papa habis kecelakaan. Dimintai uang berapa pun juga langsung dikirim tanpa pikir panjang,” ledeknya.
”Kalaupun aku memang tipe orang seperti itu. Sama sekali bukan urusanmu juga, kan?” respon Gio. Kembali mengucapkan sesuatu bernada tajam dengan tatapan seolah tak merasakan apa pun.
Kali ini Susi malah tertawa kecil menyikapi sikap jutek teman di dekatnya, ”Ha ha ha.” Mereka memang belum saling mengenal dalam hitungan waktu yang terbilang lama. Jika di luar pun baik Gio maupun Susi sama sekali tidak terlihat saling bermutulisasi. Seperti tadi. Tapi, apa yang terjadi sebenarnya cukup berbeda.
”Aku tidak tau dan sebenarnya tidak begitu peduli pada apa alasanmu. Sampai bersikap seperti itu di hadapan orang-orang super manipulatif yang hanya suka memanfaatkan orang lain seperti Bakri dan teman-temannya. Aku pun yakin kamu bukan orang yang cukup bodoh untuk bisa dimanipulasi semudah itu. Tapi, kalau kam uteruskan sikapmu. Apa tidak akan berbahaya ke depannya?” tanya Susi. ”Proses kuliah kita masih panjang, lho. Kamu akan menyesal kalau membiarkan diri terjebak dalam lingkungan toksik seperti itu dalam waktu lama. Otakmu bisa hancur,” nasihatnya. Pada salah satu teman paling baik yang ia punya. Selama menjabat sebagai mahasiswa.
Khi khi khi, tawa Gio kecil. Nyaris tak terdengar oleh orang di sampingnya. Hanya saja gestur aneh yang ia ciptakan. Jelas sangat mudah ditangkap pandangan.
“Gio,” panggil Susi pelan. ”Aku sudah bilang kan jangan tertawa seperti Joker begitu kalau kita hanya sedang berdua. Tawamu itu lebih mengerikan dari tawa kuntilanak penunggu pohon beringin halaman belakang rumahku tau,” tegurnya.
Gio pun menutup mulut. Menoleh ke arah Susi dengan pandangan mata statis yang tidak kalah creepy. Hanya saja untuk yang ini Susi sudah jauh lebih ”terbiasa”.
Ia berkata, ”Aku tetap merasa harus melakukan itu.”
”Untuk apa? Apa kamu mau terus diperalat oleh mereka sampai dunia kiamat? Mereka akan memanfaatkanmu sampai titik darah penghabisan, lho,” tanya Susi sekaligus menasihati.
Pemuda yang kini mengenakan kacamata itu menggelengkan kepala. Ia berkata lagi seraya menaruh jari telunjuk di depan bibir, ”Cara paling baik untuk menghancurkan seseorang. Adalah dengan bersikap seolah kita sedang mendukung mereka pada hal buruk yang sedang mereka lakukan.
"Sangat menarik, bukan?” tanya pemuda itu seraya menatap "santai" dengan kedua mata yang "lembut".
Njiit. Lagi-lagi. Seluruh bulu kuduk Susi terasa berdiri. Glekh.