23: Efek Kupu-kupu [A]

1018 Words
Banyak hal yang telah berubah dalam hidup Gio selama lebih dari tiga bulan ia meninggalkan rumah sang papa. Dan memutuskan tinggal sendiri di sebuah kampung penuh tanda tanya. Tangga Teparo namanya. Di awal ia sempat naif. Berpikir bahwa kehidupan jika berhasil keluar dari kediaman sang papa akan jadi jauh, jauh, jauh lebih baik. Namun, rupanya itu semua hanya ilusi. Baru juga beberapa jam. Beberapa hari ia memperkenalkan diri sebagai penghuni baru di daerah itu. Sudah sangat banyak, banyak, banyak sekali kejadian tidak biasa yang terjadi. Yang mana itu semua mengacaukan daya nilai realitasnya. Membuat Gio berpikir bahwa ia telah gila. Atau bahkan sesuatu yang lebih buruk dari itu. Kejadian yang begitu singkat. Telah merubah seluruh kehidupannya. Bagai kepakan sayap kupu-kupu di Bandar Sri Begawan. Yang mengakibatkan tornado besar di Andorra de la Vella. Baik luar maupun dalam dirinya. Yang paling jelas berubah adalah… masa depannya. Seorang Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. sudah tidak akan bisa lagi mengharapkan hari esok serupa dengan yang ia harapkan sebelum semua terjadi. Kesalahan siapa sebenarnya semua ini? Aahh… Apakah kesalahan Gio sendiri karena ingin minggat dari rumah sang papa karena tidak suka pada istri baru dan dua anak perempuan yang ingin ia habisi? Apakah kesalahan Gio sendiri karena hari itu memutuskan melarikan diri? Apa kesalahan Gio sendiri karena tergoda bujuk rayu wanita yang tidak jelas ”apa” juga berasal ”dari mana” hingga melakukan hubungan intim dengannya? Atau… apa lagi yang bisa dijadikan alasan? Pokoknya... ini semua kesalahan Papa. Tentu saja. Itu adalah kesimpulan akhir paling “mudah” yang bisa ia ambil. Untuk lepas dari seluruh tanggung jawab. Dirinya tidak bersalah. Yang salah adalah Gio Sr. karena ternyata hidup dengan menyimpan banyak rahasia. Ia tidak peduli pada hal mistis dan klenik apa saja yang ternyata pria itu ”kuasai”. Hingga mampu ”memanggil” kejadian seperti yang ”terakhir” ia alami di kediaman itu. Yang ia pedulikan hanya bagaimana pada akhirnya ketidaktahuan tersebut mengakibatkan hal tidak diinginkan harus terjadi dalam hidupnya. Semua berasal dari ketidaktahuan mengenai keluarga Dhika. Siapa itu keluarga Dhika sebenarnya? Siapa itu Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Sr. yang sebenarnya? Bagaimana bisa aku tidak mengetahui begitu banyak hal tentang pria itu? Bukan hanya Bunda yang tertipu. Namun, sampai detik ini pun aku masih terus tertipu. Ditambah tidak bisa mengonfirmasi kenyataan dari semua ”tipuan” itu. Berbagai macam hal yang Gio Sr. sembunyikan. Apa dia juga menyembunyikan hal seperti ini dari Adisti? Aku sama sekali tidak melihat wanita itu sejak kejadian itu. Apakah dia masih hidup? Atau… Ah! Untuk apa aku pakai acara mengkhawatirkan wanita p***n itu segala? Sungguh tidak ada gunanya. Yang harus aku pikirkan sekarang adalah cara… untuk menghubungi dunia luar, tatap Gio putus asa ke layar ponsel cerdas yang menunjukkan performa sinyal kartu maupun internet optima. Ia tarik nafas dalam-dalam, hhhhmmm. Ia hembuskan, hhhhhhh. Plok. ”Hai, bro. Sudah mau pulang?” tanya Susi. Gio menggelengkan kepalanya lemah. Menjawab, “Aku tidak begitu ingin pulang.” ”Memang ada apa sih dengan rumahmu?” tanya Susi heran. Pasalnya sejak pertama kenal. Gio itu memang orang yang paling susah jika disuruh pulang. Walau mengaku lebih suka sendirian. Rumah seperti bukan tempat nyaman untuknya. Tak seperti mayoritas kaum introvert kebanyakan. ”Di rumahku juga sih sebenarnya tidak ada apa pun. Yang jadi masalah hanya… hanya… hanya…” ”Hanya, hanya, hanya apa, sih? Macam cewek saja kau bicaranya. Bertele-tele sekali,” tanya sekaligus omel Susi tidak sabar. TUNGGU SEBENTAR, GIO DHIKA JUNIOR! Apa kamu mau informasi soal lingkungan tempat tinggalmu yang aneh itu sampai tersebar luas ke orang banyak? Itu juga untung kalau mereka percaya. Kalau kau yang malah jadi dikira orang gila bagaimana? Masa kuliahmu masih panjang, Giorsal. Jangan rusak itu semua, batin Gio semakin resah. Susi melihat salah satu kawan baiknya tampak gundah gulana. Walau biasanya selalu bersikap dingin terkadang mengerikan. Jadi ikut bertanya-tanya juga. Masalahnya Gio tipe orang yang cukup ketat dalam menjaga privasi. Itu membuat pikiran Susi jadi melanglangbuana ke mana-mana… Apa kedua orang tuanya Gio suka ribut ya kalau di rumah? Atau jangan-jangan dia korban KDRT. Makanya tidak suka pulang. Iya, ‘kan? Biasanya anak tidak suka pulang ke rumah karena alasan seperti itu? Apalagi dia juga bukan tipe social butterfly yang suka berteman dengan banyak orang dan nongkrong di luar selama berjam-jam seperti aku. Padahal Gio sedang resah mempertimbangkan. Haruskah ia beritahukan keanehan di kampung Tangga Teparo pada Susi? Apakah anak itu akan percaya? Apakah ia tidak akan disangka sudah tidak waras? Mengada-ada? Keputusan untuk itu saja jadi hal yang cukup memberatkan jiwa. Gio pun dengan terpaksa melontarkan dusta, “Sepertinya aku sedang kelelahan saja. Karena terlalu banyak mengerjakan tugas yang bukan pekerjaanku.” Oh, itu masalahnya. ”Tuh, ’kan. Sudah aku beritahu kalau kamu terus bersedia bersikap seolah sapi perahan mereka ya mereka akan terus memanfaatkanmu. Entah untuk tujuan apa lah kamu bersedia melakukan semua itu.” Sebenarnya aku memang hanya membutuhkan banyak kegiatan saja selama di rumah. Agar tetap sibuk dan bisa menjaga kesadaran dari apa saja yang tengah terjadi dengan para tetangga. Tapi, terlalu banyak memeras otak rupanya juga malah hanya jadi beban baru tersendiri. Semua benar-benar superposisi. ”Mukamu terlihat makin tidak enak dipandang… ah, bukan, yang aku maksud pucat sekali, Gi. Mau coba main ke rumahku dulu? Cukup jauh sih dari kampus. Nanti kamu yang bayar ongkos keretanya, ya,” tawar Susi. Kebetulan para teman tongkrongannya yang pada tidak jelas itu sedang ada urusan masing-masing. Membuat ia bisa menghabiskan banyak waktu dengan anak yang menjalin hubungan pertemanan dengannya model jalan belakang itu. Apa aku sebaiknya ke rumah Susi dulu, ya. Aku juga belum pernah pergi ke rumah teman sejak masuk kuliah. Mungkin saja itu bisa memperbaiki suasana perasaanku, batin Gio. Ia pun menjawab, “Baiklah. Jangan naik kereta, deh. Naik taksi saja. Aku tidak begitu suka angkutan umum yang seperti lemper besi berjalan itu.” Berangkatlah mereka berdua. Selama perjalanan Gio lebih banyak terdiam. Tidak mengatakan apa pun tentang masalah yang tengah ia hadapi. Tapi, yah namanya juga laki-laki. Kalau terlalu banyak bicara soal masalah pribadi di depan orang lain (supir taksi). Nanti malah dikira maho bin hombreng tralala trilili lagi.
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD