8: Apa yang Terlihat

1205 Words
Ia menyaksikan dengan dua mata kepala sendiri. Bagaimana sang putra berjalan seorang diri menyusuri lorong rumah yang cukup panjang. Setelah dari kamar mandi ia melangkah menuju ruang makan. Dan menikmati sesuatu yang tidak biasa. Seperti daging yang masih bisa bergerak. Menggeliat bahkan saat anak itu memasukkan ke dalam mulut. Gio Sr. sangat syok saat menyaksikan hal itu. Tapi, ia tak akan menunjukkan betapa terganggunya ia di hadapan orang lain. Selama Gio masih belum menjelaskan apa yang sebenarnya telah terjadi. Ia merasa tak bisa mengambil kesimpulan sesuka hati. Setelah usai ”menikmati” makanan yang entah apa itu. Gio yang tampak berbicara sendiri pergi keluar dari rumah tanpa sepengetahuan para pelayan lain. Yang sebenarnya saat itu berada di sekitar sana. Seolah terdapat penghalang yang memisahkan tiap sudut pandang. * ”Itulah yang akan terjadi apabila kamu berusaha melawan perintah Papa,” ucap Gio Sr. Berusaha mengendalikan situasi saja. Membuat seolah semua yang telah terjadi memang karena itulah yang harus terjadi. Bukan yang lain. Tidak ada yang aneh. Namun, ucapan papanya malah membuat Gio semakin meradang, “PAPA JUGA JANGAN BOHONG!” teriaknya. “Aku tau kalau Papa tidak pernah menyukai aku. Bahkan tidak pernah mengatakan apa pun soal ritual yang rutin kalian lakukan setian tahun di makam para leluhur keluarga Dhika…” Gio Sr. membelalakkan kedua mata. Membatin, bagaimana bisa dia sampai mengetahui soal itu? Parah. “Semua karena Papa tidak pernah menganggap aku bagian dari keluarga Iswari Dhika, ‘kan? Bahkan semua hal aneh yang aku alami selama berusaha keluar dari daerah perumahan sialan ini. Semua pasti karena Papa, ’kan?!” tudingnya. Entah dasar dari mana. Ia bahkan belum menemukan jawaban soal di mana keberadaan wanita bernama Mikaila tadi malam. Tas dan pakaiannya yang hilang. Bagaimana ia bisa berakhir terbaring seorang diri. Di dalam sebuah rumah tua tidak terawat juga tidak berpenghuni. Ada begitu banyak pertanyaan. Tapi, tak semua memiliki keberanian untuk diutarakan. Khawatir ‘kan dapat respon yang di luar dugaan. Ia masih takut pada konsekuensi dari setiap tindakan. Gio Sr. membelalakkan kedua mata semakin lebar. Seolah bola mata akan mencuat keluar begitu saja dari rongganya. Dukh. Gio Jr. sangat ketakutan saat melihat respon Sang Papa. Terlebih bagaimana dua belas orang yang menyaksikan hal itu. Tampak biasa saja. Seolah tak ada keanehan dari tindakan-Nya. Aku bisa benar-benar jadi tidak waras jika terus bertahan di rumah ini lebih lama, batin Gio gemeletuk ketakutan. Ia dirikan tubuh. Melangkah keluar dari ruangan itu. Meninggalkan kenyataan bersama orang-orang yang tidak normal. ”Apa Tuan Muda Gio akan baik-baik saja?” tanya seorang pelayan laki-laki sembari menoleh ringan ke arah pintu yang tidak tertutup sempurna. Seorang pelayan laki-laki yang lain mengangkat telapak tangan memohon perhatian dari Sang Tuan, ”Permisi, Tuan Gio.” ”Ada apa?” respon Gio Sr. datar. Saat itu sebuah asap berwarna hitam pekat terlihat berusaha keras untuk menyusup masuk ke dalam kediaman. Bersama dengan pikiran buruk mengenai awal mula untuk kehancuran segalanya. ”Sebenarnya… ada sesuatu yang baru saja tiba tepat sebelum Anda memanggil kami ke ruangan ini,” lapor pelayan bernama Alfian itu. Kedua belas pelayan saling menoleh tanpa mengucapkan satu patah kata pun. Berbagai macam pikiran buruk mulai menari-nari dalam bayangan. Walau belum tau kiriman apa yang baru saja kediamannya terima. Gio Sr. seolah mendapat firasat buruk yang serupa. Segera ia minta satu orang membawakan ke hadapannya. Sebuah kotak kayu yang tampak biasa dari luar. Namun, di bagian dalamnya terdapat satu set pakaian, sepasang sepatu, juga sebuah tas yang berisi berbagai macam barang atas nama Giorsal Maha Saputra Iswari Dhika Jr. ”Apakah ini barang-barang yang anak tidak bisa diatur itu bawa selama berusaha melarikan diri?” tanya Gio Sr. pada dirinya sendiri. ”Supir Hengki barusan berkata bahwa ia menemukan Tuan Muda Gio dalam keadaan tanpa pakaian dan bersikap seperti orang tidak waras di pinggir jalan. Apakah barang-barang ini dari orang yang habis merampoknya?” tanya seorang pelayan laki-laki bernama Luki. Nurfath, seorang pelayan perempuan membantah, ”Mana ada orang habis merampok sampai seperti itu sekarang malah semua barangnya dikembalikan?” ia bertanya. Pelayan perempuan lain menimpali, ”Emas batangan, kartu debit, buku tabungan, dan barang berharga lain milik Tuan Muda Gio masih utuh semua kan di dalam sana.” Gio Sr. berusaha berpikir keras guna menerjemahkan semua yang terjadi. Sampai pandangan matanya tertaut pada sebuah pola misterius yang terdapat di bagian belakang kotak kayu. Sepertinya itu bukan kotak kayu asal jadi saja. Kayu yang digunakan sebagai bahan pembentuknya merupakan jenis berkualitas. Apa tidak terlalu berlebihan jika menggunakan benda seperti ”itu” hanya untuk mengembalikan barang pada orang tidak dikenal? Orang super jujur dan berhati baik macam apa yang telah ”merampok” sang putra? DEG! Gio Sr. merasakan sesuatu yang buruk tengah mengalir ke luar dari setiap celah kotak itu. Bahkan dari tiap guratan yang ada di sana. BRAAKH. Segera ia banting kotak itu ke lantai. Tidak peduli bagaimana beberapa barang berharga sang putra masih ada di dalamnya. Ia benar-benar punya firasat yang tidak baik menyangkut hal ini. Gio Sr. berlari ke arah jendela. Mengunci pengait setelah itu menutup gorden dengan rapat. Ia lihat kedua belas pelayan kediamannya. ”SEGERA KALIAN SINGKIRKAN KOTAK ITU SEJAUH MUNGKIN DARI RUMAH INI!” ia memerintahkan dengan suara keras. Tak pakai lama. Seorang pelayan laki-laki segera mengambil kotak itu setelah mengeluarkan semua isinya. Ia berlari cepat menuju ruangan para supir dan meminta salah satu dari mereka mengantarnya pergi sejauh mungkin untuk melenyapkan kotak tersebut. Seperti yang telah Sang Tuan perintahkan. Namun, masalah belum selesai untuk kediaman tersebut. Dan hanya Gio Sr. yang bisa menyelesaikan semua. Ia segera memerintahkan para pelayan untuk menutup rapat seluruh akses masuk ke dalam kediaman. Sementara ia pergi menuju suatu ruangan yang terdapat di antara lantai dua dan lantai tiga rumah itu. Sebuah ruangan rahasia yang keberadaannya telah tak tersentuh selama bertahun-tahun. Kini harus kembali dibuka atas nama sebuah keterpaksaan. * Gio Jr. di dalam kamarnya sendiri yang kini telah bersih serta tertata rapi. Untuk mencegah orang luar masuk seenak hati. Ia memaku sebuah kayu yang bisa dinaik turunkan di kusen pintu. Dengan seperti ini maka tidak akan ada lagi yang bisa bersikap seenaknya. Ia harap sih begitu. Walau ia tau bahwa bisa saja semua tak akan jadi semudah ia ia duga. Saat melihat ke luar jendela yang tampaknya masih dipaku dari luar hingga tak bisa terbuka. Gio menyaksikan sesuatu yang tidak bisa. Pemandangan di luar sangatlah temaram. Seperti ditutupi oleh serangakaian kabut tebal. Padahal tidak mungkin ada pembakaran hutan atau lahan gambut di sekitar sana. ”Ke, Kenapa semua jadi sangat aneh seperti ini?” tanya anak muda itu seraya menyipitkan mata. Ia tutup saja gorden dan berusaha mengabaikan semua yang tak ia pahami. Sreek. Suasana di luar sangat gelap. Padahal ini masih tengah hari. Suasana di dalam pun tiba-tiba jadi begitu temaram walau lampu sedang dinyalakan. ”Kepalaku… Kepalaku sangat sakit. Terasa sangat tak nyaman. Seperti pusing yang aneh. Berputar, tapi bukan migrain atau...” keluh Gio seraya mencengkram salah satu bagian pelipis. Ia merasa bagai salah satu bagian tengkoraknya tengah dicengkram sesuatu yang cukup besar serta kuat. Tidak terlihat, namun nyata. Bruukh. Ia tak bisa menahan lagi. Dan hilang kesadaran di tempat. Yang mana tanpa ia kehendaki. Kesadarannya terseret kembali guna menyusuri ”apa” yang telah terjadi. Tadi malam. Apa yang terjadi saat itu?
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD