MATA BATIN DAN SIHIR

1615 Words
        Dua bulan kemudian ....         Aku terbangun dari tidur dengan perasaan malas dan lemah. Suara adzan terdengar merdu. Inilah nikmatnya hidup di dekat masjid. Tidak perlu adzan dari ponsel. Sudah ada suara dari speaker yang langsung dilantunkan oleh muadzin.         Pagi ini jadwal Mas Dewa mudik ke Jogja. Sejak semalam aku tak sabar menanti hari berganti. Ingin segera berjumpa kekasih halalku.         Aku melangkah pelan menuju kamar mandi untuk berwudhu dan bersiap sholat Shubuh. Mimpi tadi malam, masih terbayang jelas dalam ingatan. Lelaki berusia sekitar tujuh puluh tahun, berjenggot, bersurban, dan berpakaian serba putih. Beliau mengajarkanku tiga kata, seingatku semua pernah kubaca.         Selesai sholat, kubuka buku Asmaul Husna di kamar. Ya, benar! Tiga kata tadi ada di situ. Penjelasan yang diucapkan lelaki dalam mimpi, mirip dengan arti yang tertera di dalam buku. Sejak bersekolah di SMP, aku rutin membaca dzikir tersebut.         Lalu, siapa lelaki dalam mimpi tadi? Pasti dia orang baik, karena dia memintaku melakukan hal yang baik. Aku berinisiatif merutinkan membaca tiga kata Asmaul Husna yang diajarkannya tadi. Arti dari kata itu adalah Yang Maha Pembuka Rahmat, Yang Maha Pemberi Rejeki, dan Yang Maha Kaya.         Selesai mandi, aku duduk di teras menanti kabar dari Mas Dewa. Jarak dari bandara Adisucipto ke rumahku hanya 10 menit. Andai tak ada traffic light, paling hanya 7 menit. Aku terbiasa menjemput ke bandara, setelah diberi kabar bahwa pesawat sudah landing.         Ponselku berbunyi. Pesan whatsapp dari Mas Dewa, pesawatnya baru saja landing. Segera kuambil kunci mobil dari dalam tas dan mulai bergerak meninggalkan car port. Di sepanjang jalan menuju portal kompleks, kaca jendela sengaja kubiarkan terbuka. Para tetangga sedang beraktivitas di depan rumah. Kami saling bertegur sapa. Menyenangkan sekali berada di lingkungan yang aman dan tetangga yang ramah.         Sesampainya di bandara, aku tak perlu memarkirkan kendaraan. Mas Dewa sudah menunggu di bawah bangunan joglo, sisi utara bandara Adisucipto. Begitu melihat mobilku, dengan segera lelaki gagah itu mendekat dan membuka pintu mobil.         Dia duduk di kursi penumpang. Aku tetap memegang kemudi dan melajukan mobil merah kesayanganku menuju arah kota Bantul. Kami akan berkunjung ke rumah mertua.         Selepas sholat Dzuhur kami berpamitan, Ibu membawakan buah-buahan dari kebun di belakang rumah. Sudah menjadi kebiasaan beliau membawakan banyak makanan setiap kali kami pulang.         “Jadi mau makan sambil mancing di rumah makan daerah utara, Mas?”         “Jadi, ya, Dek? Kamu gak kecapekan, kan?”         “Gak, nanti nunggu Mas mancing bisa tiduran.”         Jalan Magelang seperti biasa dipenuhi kendaraan. Mas Dewa memacu mobil merahku dengan kecepatan sedang. Sampai simpang empat Denggung, kami berbelok ke kiri. Tak begitu lama, pemandangan danau buatan memanjakan mata. Dia memarkirkan mobil di sisi utara, pengunjung cukup banyak hingga parkiran membludak di bahu jalan.         Kami menyusuri jalan di pinggir danau. Mencari gazebo sebagai tempat makan dan menikmati pemandangan. Untung saja masih ada satu yang tersisa. Aku duduk di gazebo sambil menikmati makanan dan minuman sendirian. Mas Dewa masih berkutat dengan kail dan pancing. Dari sudut mata kiri, terasa ada yang sedang mengamatiku. Aku menoleh ke arah kiri.         Ada wanita bergaun merah, panjang sampai ujung kain menyentuh tanah. Rambut panjang berwarna hitam pekat menutupi wajahnya. Dia berjalan ke arahku. Tidak, bukan berjalan! Perempuan itu melayang. Semakin dekat .... rambut yang menutupi wajah tersibak angin. Menampakkan mata merah dan seringai mengerikan di wajahnya. Detak jantungku seketika meningkat. Keringat mengucur deras.         Otakku sibuk mengingat-ingat surah dalam Al Qur’an untuk mencegahnya mendekat. Kucoba konsentrasi melafadzkan satu ayat dalam surah Al Baqarah. Aku yakin sekali sosok wanita yang melayang ke arahku adalah kuntilanak merah. Menurut penjelasan yang aku pernah baca, jenis kuntilanak dibedakan berdasarkan warna bajunya. Kuntilanak merah ini adalah yang paling tinggi ilmunya dan paling tua usianya. Sedangkan yang paling rendah tingkat kemampuannya dalam mengganggu manusia adalah kuntilanak putih. Mengingat itu, aku semakin meningkatkan konsentrasi untuk melawannya.         Mataku membalas tatapan sosok itu, sambil mulut terus melafadzkan Ayatul Kursi dengan lantang dan fasih. Telapak tangan kanan kuangkat mengarah ke depan. Seolah menahan laju gerakannya, namun dia tetap maju sampai hanya berjarak satu meter. Emosiku meningkat, kutinggikan suara saat membaca kata terakhir. Sosok itu berhenti bergerak maju. Tiba-tiba seberkas bayangan putih berkelebat dihadapanku. Membuatku seolah terdorong menjauh ke belakang. Tubuhku lemah dan pandanganku gelap. Tak lama kemudian, bahuku terasa berguncang, bersamaan dengan hilangnya sosok kuntilanak merah.         “Puspa ... Puspa ...! Ya Allah, ada apa, Dek? Kamu berteriak membaca Ayatul Kursi sambil mengangkat tangan.”         Aku membuka mata, mencoba mengembalikan kesadaran sambil beristighfar. Ternyata Mas Dewa yang sedang mengguncang bahuku. Wajahnya tampak panik.         “Minum dulu, Dek. Aku tadi buru-buru lari ke sini, karena mendengar suaramu berteriak.” Mas Dewa mengangsurkan botol air mineral ke hadapanku. Membantu memegang botol dan meminumkannya. Tadinya ingin kupegang botol itu sendiri. Akan tetapi, tanganku masih gemetar seperti kehabisan tenaga.         “Aku tadi melihat ada sesosok wanita bergaun merah di sisi itu. Di bawah pohon rindang yang paling besar. Arah jam 12. Dia melayang mendekat ke sini. Sosok itu makhluk gaib, Mas....”         Kuceritakan semua pengalaman tadi dengan runtut. Dengan sengaja tak kutunjuk lokasi tempat sosok itu berada. Menurut cerita yang pernah kudengar, sosok gaib akan semakin menunjukkan eksistensinya jika kita menudingnya. Entahlah, itu benar atau tidak!         “Setahuku kuntilanak itu banyak di Pontianak, Mas. Ternyata di Jogja pun aku bisa melihatnya siang bolong begini. Makhluk jenis ini paling suka mengganggu wanita hamil, dia ingin mengambil bayinya.“         “Bukannya kuntilanak di cerita dan film digambarkan berpakaian serba putih, Dek? Yang tadi kamu lihat kan berbaju merah?“         “Iya, Mas. Jenisnya tetap saja kuntilanak. Memang ada berbagai macam warna bajunya. Setahuku yang paling tinggi ilmunya dan paling tua itu bergaun merah. Alhamdulillah tadi ada bantuan dari bayangann putih sewaktu aku merasa kesulitan mencegah kuntilanak itu mendekat.“         Mas Dewa mendengarkan dengan kening berkerut. Matanya menyiratkan rasa bingung.         “Dek, apakah seumur hidupmu pernah berinteraksi langsung dengan makhluk gaib? Aku hanya tahu bahwa kamu punya kemampuan membaca suatu kejadian.”         “Tidak pernah sampai melihat secara nyata seperti ini, Mas. Biasanya hanya lewat mimpi.”         Aku terdiam sesaat. Otakku mencoba mengingat ke masa lalu. Menggali ingatan pada peristiwa di awal tahun 90-an.         “Aku pernah bermimpi tentang hal gaib. Waktu itu, aku masih tinggal di kota Pontianak bersama orang tua dan adik-adikku.”         Aku menyandarkan diri pada bahu Dewa. Tubuhku masih lemah, sepeti tak bertulang. Kucoba menceritakan kembali semua kejadian gaib yang pernah terjadi.         “Selama beberapa malam tidurku terganggu. Setiap terbangun, sulit untuk tidur lagi. Aku bermimpi buruk. Seolah-olah posisiku berada di teras rumah. Suasana langit gelap dan tak ada orang lain. Tiba-tiba saja langit malam itu menjadi terang seperti siang hari. Kemudian muncul di hadapanku, bola api berpijar merah sedang terbang cepat dan mendekat ke atap rumah. Kutunjuk bola api itu sambil mengucapkan satu kata dengan lantang. Kata yang menurut petuah ampuh melawan sihir.”         “Seketika bola api itu meledak di angkasa. Suaranya membuatku terbangun. Mimpi itu hadir berulang kali. Sampai suatu kali pada saat bermimpi bola api, aku terlambat membuatnya meledak sehingga melesat masuk ke dalam rumahku melalui atap.”         Entah berapa kali ceritaku terhenti. Kepala dan bahuku semakin lama semakin terasa berat, setiap mencoba mengingat kembali peristiwa itu.         “Semua mimpi itu baru kupahami artinya setelah berkonsultasi dengan Datok Haji. Mas ingat Datok, kan? Sewaktu acara pernikahan kita, beliau hadir.”         “Datok yang selalu pakai kopiah haji warna putih? Yang selalu tersenyum tiap kali bicara?”         Suamiku mencoba mengingat kembali sosok Datok, dia baru bertemu satu kali. Datok sudah berusia sangat lanjut, tetapi masih sehat dan kuat. Beliau memiliki ilmu agama yang baik.         “Iya, kita sempat takziah ketika beliau meninggal dunia bulan kemarin. Datok Haji adalah bapak angkat Mama dan Papa. Setelah kejadian bola api masuk menembus atap, rumah kami terasa panas. Anggota keluarga sering bertengkar satu sama lain. Tak ada kedamaian di dalam rumah. Sedih jika mengingatnya, Mas.”         Dewa mengelus kepalaku. Mencoba menguatkan hatiku.         “Alhamdulillah, pertolongan Allah sangat dekat. Allah kenalkan kami dengan Datok Haji melalui seorang saudara ipar Mama. Beliau langsung jatuh hati dan menganggap kami sebagai keluarganya.”         “Cobaan yang sedang dan akan menimpa keluargamu cukup berat, Nak. Tetap yakin bahwa Allah sangat menyayangi kalian. Insya Allah semua akan berlalu.”         Masih terngiang kata-kata Datok Haji di hari itu. Diucapkan beliau setelah selesai membuka buku kuno dan tebal yang tampak sudah sangat usang, dia gunakan itu untuk membaca permasalahan kami. Ucapannya membuatku bertanya-tanya, apa lagi yang akan kami hadapi setelah ini, ya Allah?         “Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya buhul sihir itu bersih dari rumah kami. Ditandainya dengan peristiwa yang hadir dalam mimpiku. Tiga hari berturut-turut, aku bermimpi sedang menguras bak mandi. Hari pertama dan kedua, aku tak mampu membuang semua air berwarna hitam dari bak, sampai akhirnya di hari ketiga seluruh air bak berhasil kukeluarkan.”         Mas Dewa mendengarkan dengan seksama semua ceritaku. Dia dibesarkan di kota ini. Baginya kejadian gaib seperti itu adalah hal baru. Berbeda denganku. Yang sejak kecil saja sudah diberi batu merah delima oleh salah seorang pakdeku. Batu itu hadir secara gaib, muncul dari dalam pelepah pohon tertentu melalui proses yang disaksikan keluarga besar kami. Aku memegang kalung yang sedang kukenakan. Menunjukkannya pada suamiku.         “Mas lihat batu merah delima ini ... Mama bilang ini juga hadir secara gaib.”         “Berarti hal ini juga yang membuatmu menolak dibelikan liontin berlian?”         Aku menganggukkan kepala sambil tersenyum. Mas Dewa pernah kecewa karena aku hanya mau cincin dan gelang sebagai mahar. Padahal dia ingin memberikan seperangkat perhiasan.         “Saat itu aku masih berusia beberapa hari. Pakde memberiku nama Puspa Nirwana yang berarti bunga surga. Beliau berpesan batu ini direndam air dan diminumkan padaku jika kesehatanku sedang terganggu.”         “Apa karena ini kamu jadi punya mata batin?”         “Aku rasa bukan. Kalau karena liontin ini,seharusnya sejak kecil kemampuan itu ada.”         “Lalu sejak kapan Kamu mulai bisa membaca suatu kejadian, Dek?”                                                                                                       ***
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD