MATA BATIN

1648 Words
        Mataku menatap layar laptop di atas meja, membaca satu demi satu kata yang tertulis di sana. Mencoba memahami semua rangkaian kalimat dalam jurnal Kedokteran Gigi. Sangat menyenangkan menyimak perkembangan ilmu terbaru di sana. Walau sudah lama menjalani profesi sebagai dokter gigi, aku selalu berusaha menambah pengetahuan sebagai praktisi profesional.         Tiba-tiba suara yang akrab di telinga terdengar. Aku menatap ke arah asal suara, layar dari ponsel yang tergeletak di samping laptop, menampilkan deretan huruf yang membentuk kata "Sayang". Dengan segera, kusentuh gambar telepon warna hijau pada layar.         “Assalamualaikum, Adek sayang.”         “Waalaikumsalam, Mas sayang. Alhamdulillah. Sudah sampai Jogja, ya?” “Iya, ini lagi mampir makan.”         “Iya, adek tau, lagi makan di Cak Komar, kan? Mas kok pake baju biru itu lagi sih? Mbok ganti, tho. Bosen lihatnya.”         “Hah! Waduh kok ngerti tho, Dek? Kan aku belum cerita lagi di mana. Apalagi sedang pakai baju yang mana.”         “Hehehe, makanya jangan berani bohongin Adek, ya! Mas ngapain aja, adek bisa lihat. Segera pulang dan hati-hati di jalan ya, Mas!”     Kumatikan sambungan telpon seluler. Kembali, melanjutkan kegiatan membaca. Bayangan nyata yang tadi kulihat, bagai menonton video tentang sosok suamiku yang sedang makan di rumah makan Cak Komar dan memakai kaos kesayangannya sudah hilang. Aku tersenyum dan bergumam, “Dia masih saja terkejut mendengar ucapanku.”         Aku bukan sedang menerka-nerka. Tapi apa yang kulihat tadi adalah nyata. Dengan hanya sedikit fokus terhadap sesuatu, maka mata batinku bekerja. Selama bertahun-tahun segala yang kukerjakan terasa mudah. Dengan berdoa pada Allah dan mengamalkan beberapa dzikir tertentu, maka semua keinginan segera terwujud di depan mata.  Jika ada yang menghalangi langkahku, maka cukup kubayangkan kemalangan menimpa si penghalang, dan voilaaa … tak lama dia akan mendapatkan balasan. Misalnya saja suatu peristiwa ketika menjalani Ko-Ass, sekitar satu tahun yang lalu. Salah satu teman sekelompokku, Riska, menikung pasien yang seharusnya kupakai untuk menambah poin pencabutan gigi. Dengan santainya, dia hubungi si pasien untuk datang pada hari Rabu. Lalu Riska meng-anamnesa dan melakukan tindakan untuk memenuhi poin pencabutan giginya.         Saat itu aku sedang sakit. Mata batinku tidak berfungsi optimal ketika kondisi kesehatan menurun. Maka keesokan harinya aku mendapat penglihatan itu. Riska tidak mengakui kecurangan 4 yang dilakukannya. Kami saling berteriak. Lalu aku berjalan meninggalkannya dengan emosi, sambil membayangkan tangan Riska terjepit dan terluka sebagai balasan atas perbuatan itu.         Ketika aku sedang melangkah ke luar ruangan, angin kencang berhembus dari jendela, kudengar bunyi berdebam dan suara jeritan perempuan. Refleks aku berlari ke arah sumber suara. Kudapati Riska berteriak menangis memegangi jarinya. Darah menetes ke lantai. Jantungku berdegup kencang.         Kuraih tangannya, dua kuku kanannya nyaris lepas dengan darah mengucur di sela-sela kuku. Aku tak mengira apa yang kubayangkan menjadi kenyataan. Tubuhku gemetar. Rasa bersalah memenuhi segenap perasaanku.         Segera kugenggam jari Riska sambil menariknya menuju wastafel. Aku bersihkan lukanya di bawah air mengalir dengan hati-hati. Setelah menyemprotkan cairan Chlor Ethyl ke kapas dan menempelkan ke jarinya sebagai anestesi lokal, kuku-kuku yang menganga kupotong dengan gunting. Kemudian jaringan lunak yang terbuka kutekan dengan kassa dan obat merah.         Riska masih terus menangis sampai semua tindakan selesai. Kemudian dia memelukku dan memohon maaf. Dia bercerita, bahwa setelah pertengkaran kami tadi, dadanya tiba-tiba terasa sesak. Sampai akhirnya memutuskan membuka jendela untuk menghirup udara segar. Tak lama, angin kencang bertiup dan menutup daun jendela secara tiba-tiba. Tangan kanannya terjepit daun jendela yang terbanting tiupan angin. Aku menangis mendengarnya. Ya Allah, mohon ampun. Ternyata apa yang kubayangkan benarbenar terjadi.         Lamunanku terhenti. Aku mendapat penglihatan lagi. Riska …. ya, itu Riska! Dia sedang terbaring di lantai berkeramik putih. Ada darah di bajunya. Ya Allah .... Apa lagi ini? Aku harus mengingatkannya sekarang.                                                                                                **** Glossarium: • Anamnesa: Mengumpulkan data riwayat dan kondisi sakit pasien melalui wawancara • Ko-Ass: Pendidikan lanjutan setelah meraih gelar sarjana kedokteran untuk memperoleh gelar dokter • Chlor Ethyl: Obat untuk mencegah rasa sakit berbentuk spray                                                                                             **** RIZKA              Aku melafadzkan dzikir dan memusatkan pikiran pada Riska. Semakin tampak jelas. Sosok wanita berkulit kuning langsat dan berambut kecoklatan itu sedang tergeletak di lantai. Rambut ikal menutupi sebagian wajahnya. Darah yang merembes di selasela rambut mengalir ke leher, membuat noda merah pada pakaian putih yang dikenakannya.             Rasa panik mengaburkan penglihatanku. Sejak kejadian perebutan pasien semasa Ko-Ass, aku dan Riska menjadi sahabat. Tak ingin kejadian buruk tadi benar-benar menimpanya, aku ambil telpon seluler dan mulai mencari namanya.             Berkali-kali nada sambung berbunyi, namun tak ada jawaban. Kulirik jam tangan bertali kulit yang melingkar di lengan kiriku. Warna coklat tua sangat kontras dengan kulitku yang putih. Jam ini pemberian Riska.             Sekarang pukul 20.30 WIB, seharusnya dia masih praktek. Tapi aku tak punya nomor telepon kliniknya. Kubuka aplikasi pencari alamat dan nomer telpon di ponsel ungu seri terbaru pemberian suamiku. Ini dia! Klinik Gigi Sehat, lengkap dengan peta dan nomer telponnya. Nada sambung berdering ....         “Klinik Gigi Sehat, selamat malam, dengan Asri di sini.”         “Selamat malam. Saya dokter Puspa Nirwana. Apakah dokter Riska sedang praktek sekarang?”         “Iya, Dok. Dokter Riska sedang ada pasien di ruangan. Sudah 15 menit, mungkin sebentar lagi selesai.”         “Oke, tolong sampaikan ke dokter Riska untuk menelepon saya setelah selesai pasien, ya. Penting sekali! Haloo .... haloo ....”         Sambungan telpon terputus. Kucoba menghubungi kembali. Tapi tak tersambung. Apa yang terjadi di sana? Karena pikiranku kacau, aku tak mampu mendapatkan penglihatan. Kuambil ponsel, menelpon suami.         “Mas, tolong susul aku ke Klinik Gigi Sehat.”         “Ada apa, Dek? Mas baru aja keluar dari parkiran Cak Komar. Ada penglihatan apa lagi, Dek? Klinik yang di dekat kampus itu, ya?”         “Bener, Mas. Nanti aku ceritakan. Emergency! Darurat banget! Kita harus segera tiba di sana!”                                                                                  ****         Perjalanan yang hanya 10 menit terasa lambat sekali. Padahal speedometer mobilku sering berada di atas 80 km/jam. Alhamdulillah, jalanan di kota ini mulai lengang, hanya saja kurasa semua kendaraan berjalan sangat lambat. Beberapa kali kutekan klakson, tak sabar berjalan di belakang kendaraan lain. Sungguh geregetan, di saat ingin segera tiba di tujuan tapi terhalang mobil lain yang berjalan santai. Andai saja mobil ini ambulans, sudah kunyalakan sirinenya.         Ambulans! Telapak tangan kiriku menepuk kening. Ya Allah, untung saja teringat. Aku mencari nomor Rumah Sakit Persahabatan, tempatku bertugas. Sungguh sambungan ponsel ke audio mobil seri terbaru ini sangat membantu. Aku bisa menelpon sembari menyetir.         “Malam, Mas. Saya dokter Puspa. Emergency! Tolong kirimkan ambulans ke Klinik Gigi Sehat. Saya sedang menuju ke sana.”         “Baik, Dok. Kami meluncur!”         “Segera, ya! Terima kasih.”         Alhamdulillah, pada aplikasi penunjuk arah tertulis jarak tempuh tinggal 50 meter lagi. Segera kuparkir mobil di bahu jalan. Saat sedang menutup pintu mobil merahku, tampak mobil hitam milik suamiku mendekat. Aku lambaikan tangan memberi aba-aba untuk parkir di depan mobil ini.         Begitu dia keluar dari mobil, kutarik lengannya untuk ikut berlari ke dalam klinik. Tanganku gemetar dalam genggamannya. Kaki ini seolah melayang, tak bertulang. Semoga hal buruk itu tidak terjadi, Ya Allah. Doa itu kuulang sepanjang langkah. Jarak menuju pintu masuk terasa jauh. Suamiku mendorong pintu kaca bertuliskan nama klinik.         Tampak seorang gadis berpakaian ungu dengan tulisan “Klinik Gigi Sehat” di dada kirinya. Berdiri 10 Mata Batin di depan meja, dengan tangan memegang tissu dan mengusap dahi.         “Selamat malam, Mbak Asri, ya? Saya dokter Puspa yang tadi menelpon. Apakah dokter Riska sudah selesai mengerjakan pasien?”         “Oh iya, Dok. Saya Asri. Pasien sudah selesai. Maaf tadi telpon terputus. Ada pasien keluar dari ruang periksa sambil berlari. Tidak membayar biaya periksa. Lalu saya kejar sampai ke mobilnya. Malah keburu pergi.”         “Mbak, sudah ketemu dokter Riska setelah pasien pergi?”         “Belum, Dok. Mari, Dokter ikut saya masuk ke ruang periksa. Saya mau membereskan alat-alat bekas praktek tadi. Perawat giginya sedang sakit, jadi dokter Riska kerja sendiri. Saya hanya diminta untuk membantu menyeterilkan alat setelah selesai praktek.”         Kami melangkah bertiga menuju pintu berwarna putih di pojok kanan ruang tunggu pasien. Setelah pintu terbuka, tampak ruangan berwarna dominan putih itu kosong. Kami saling berpandangan sambil terus melangkah. Hatiku bergetar, jantungku berdegup kencang.         Langkah kaki terhenti di sisi meja coklat. Riska tergeletak di lantai dalam kondisi sama persis seperti penglihatanku. Suamiku menangkap tubuhku yang hampir jatuh. Suara jeritan Mbak Asri memanggil nama, “Dokter Riska ….” berbarengan dengan suara ambulans yang mendekat.         Kepalaku pusing, hatiku sedih menyadari semua kejadian yang ada di bayangan tadi kembali menjadi kenyataan. Aku bersimpuh di lantai. Air mataku mulai mengalir menatap tubuh sahabatku yang tergeletak.         “Ya Allah, semoga masih bernapas.”         Kusingkirkan rambut yang menutupi wajah Riska. Matanya tertutup. Tanganku bergerak meraba belakang telinganya, ada denyut kehidupan di sana. Aku menghela napas panjang.         “Alhamdulillah. Ris, ini aku Puspa. Kamu bisa mendengar suaraku?” Kutepuk perlahan pipinya. Bibir Riska bergetar seperti ingin mengucapkan kata. Suaranya terdengar lirih menyebut sesuatu. Kudekatkan telingaku ke mulutnya.         “Riska, bertahan, ya. Istigfar, mohon dikuatkan.”         “Puspa, tolong ....”         “Dek, tetap ajak bicara agar Riska tidak hilang kesadaran.”          Suamiku menepuk lembut bahuku. Memberi isyarat untuk berpindah posisi. Dia membantu mendekatkan brankar ketika tubuh lemah Riska di angkat oleh dua lelaki berseragam putih. Mereka menyapa dengan menyebut namaku. Aku membalas dengan senyuman. Otakku tak mampu mengidentifikasi siapa saja di balik masker itu. Yang aku tahu, mereka berdua tim ambulans dari rumah sakit tempatku bekerja.         Aku berdiri, mengikuti mereka. Lalu ikut masuk ke dalam ambulans. Sejak brankar dikeluarkan dari klinik hingga di sini, Riska masih terus menyebut sebuah nama. Aku tak bisa mendengar dengan jelas. Tak ada bayangan kejadian yang muncul di penglihatanku. Perasaan yang sedang kacau membuat mata batin tak berfungsi.         “Kita ke Rumah Sakit Persahabatan, Dok. Terdekat dari sini.”         “Iya, Mas.”         Perawat laki-laki itu tampak cekatan membersihkan darah yang mengalir di kepala Riska. Ternyata luka terbuka sepanjang 10 cm. Benda apa yang menyebabkan luka ini? Siapa yang tega melukai di saat seorang dokter sedang praktek?         Dalam pikiranku muncul berbagai pertanyaan, hatiku makin tak karuan. Aku berusaha tenang sambil terus melafadzkan dzikir. Ya Allah, mudahkan hamba melihat kejadian sesungguhnya.                                                                                            ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD