“Gimana kerja disini?”
Mega menganggukkan kepalanya, menoleh sekilas dan kembali menyeruput es teh manis yang berada di dalam kantong plastik, di salah satu tangannya.
“Betah.” Jawabnya.
“Syukurlah. Aku senang mendengarnya.” Tama ikut tersenyum.
“Aku juga udah cari tempat tinggal disini dan kebetulan ada yang cocok dengan kondisi keuangan aku.”
“Kamu nggak perlu terburu-buru, Me. Kamu masih bisa tinggal di rumah kami.”
Mega menggeleng, ia tahu Taka dan Nela akan mengatakan hal yang sama, tapi Mega tetap tidak mau terus menerus memanfaatkan kebaikan kedua orang itu.
“Aku masih punya uang, cukuplah untuk menyewa kontrakan kecil untuk tempat tinggalku nanti.”
“Kamu masih bisa tinggal di rumah kami sampai gajian.”
Dua Minggu berlalu tanpa hambatan, Mega akhirnya bekerja di salah satu minimarket milik teman Tama. Dua Minggu juga Mega terus mencari cara agar ia tidak bisa bertemu dengan sang ayah, Rizal. Setiap harinya Mega akan kembali ke rumah di jam-jam Rizal tidak ada di rumah, setelahnya Mega akan kembali bermalam di kediaman keluarga Tama dan Nela.
Mega sudah terlalu sering menggantungkan hidupnya pada dua orang itu, sudah saatnya ia hidup mandiri.
“Aku masih punya uang, nggak banyak sih tapi cukup untuk menyewa tempat tinggal dan biaya sebelum gajian nanti.” Mega tersenyum.
“Gaji pertamamu nanti belum bisa dipakai untuk mentraktir kalian berdua, tapi aku janji bulan depannya aku akan membelikan kalian makan enak. Asal nggak mahal tentu saja.” Mega terkekeh.
“Melihatmu aman seperti ini saja sudah membuatku senang, Me.” Balas Tama.
“Terima kasih, Kak. Kalau bukan karena Kak Tama dan Nela, aku nggak akan berada disini dan tentunya aman.”
“Sudah tugasku Me, untuk memastikan kamu aman.”
Hangatnya tatapan Tama terasa menembus sampai ke relung hatinya. Apalagi dengan senyum lembut lelaki itu, yang membuat Mega yakin bahwa Tama adalah sosok lelaki yang pas untuk merubah hidupnya. Tapi rasa tidak percaya diri itu terus mengganggunya hingga membuat Mega ragu bahkan tidak yakin dengan perasaannya sendiri untuk Tama.
“Aku pulang duluan, ya? Nanti sore aku jemput.”
Mega menganggukan kepalanya, hingga usapan lembut kembali dirasakannya di puncak kepalanya. Tama memang selalu menyempatkan datang untuk menemuinya entah di jam makan siang atau jam-jam lainnya. Tama selalu menyempatkan diri untuk menemui Mega. Kedatangannya tidak pernah dengan tangan kosong, lelaki itu selalu membawa makanan entah makan berat atau hanya sekedar makanan ringan saja. Perlakuan sederhana itu memang membuat Mega merasa diinginkan.
Kebaikan yang mereka berikan tentu saja tidak lantas membuat Mega berleha-leha dan tidak memikirkan bagaimana kelanjutan hidupnya. Ia pun menjual satu-satunya perhiasan yang diberikan ibunya dulu, yakni sebuah gelang. Harganya memang tidak seberapa, tapi cukup untuk menyambung hidup sampai gajian nanti sekitar dua Minggu lagi.
Mega mendapat informasi dari salah satu pengunjung, di dekat minimarket ada tempat tinggal dengan harga yang sangat murah. Mega tertarik dan rencananya nanti sore, setelah pulang kerja ia akan ke sana untuk memastikan lokasi dan tempat baru yang akan ditinggalinya.
Mega pun merasa beruntung sebab selama dua Minggu ini ia tidak lagi di hantui Burhan yang mungkin saja masih mencari keberadaanya.
Pekerjannya di minimarket memang tidak terlalu berat, di beberapa waktu ia justru merasa bosan saat pengunjung tidak terlalu banyak.
Seperti yang terjadi hari ini, usai bertemu dengan Tama, Mega hanya duduk menlamun di depan meja kasir. Pengunjung hari ini tidak sebanyak kemarin, oleh karena itu Mega memutuskan untuk membantu rekan kerjanya menyusun beberapa barang.
“Aku bantu,” Mega menghampiri.
“Boleh. Tolong rapikan rak minuman.” Balas Tina, salah satu rekan kerjanya di minimarket. Keduanya tidak bisa dibilang dekat, hanya saja Tina masih menerima kehadiran Mega dengan baik. Dan Mega tidak keberatan dengan sikap Tina yang sangat jarang bicara.
Mega merapikan rak minuman, membaginya sesuai jenis dan harga. Ia juga menambah beberapa minuman yang jumlahnya sudah sedikit.
Entah mungkin terlalu fokus atau mungkin suara langkah itu tidak terdengar tiba-tiba saja Mega dikejutkan dengan sepasang sepatu yang berdiri tak jauh dari tempatnya berada. Saat Mega menoleh ia melihat sosok lelaki yang sangat dikenalinya.
“Pak Rei?” Ucapnya dengan nada tidak percaya.
“Nyari ini.” Ucapnya dengan menunjukan satu botol minuman kemasan.
“Oh, iya.” Balas Mega.
“Butuh berapa banyak? Nanti saya ambilkan.” Karena Rei adalah pengunjung yang harus di hormati dan dibantu, Mega menawarkan diri untuk membantunya.
“Satu aja. Saya mau bayar.” Jawabnya singkat. Memang kapan Rei menjawab ucapannya dengan ramah? Rasanya tidak pernah.
“Silahkan ke kasir,”
Rei hanya menggumam pelan, mengikuti Mega menuju meja kasir.
“Rokok satu,” ucapnya lagi.
“Iya.”
Rei menyebut salah satu merk rokok, dimana Mega langsung mengambilkannya. Kedatangan lelaki itu di minimarket tempatnya bekerja sedikit aneh, karena di dekat kantor Mahendra ada minimarket yang menjual berbagai macam makanan ringan, minuman bahkan rokok sekalipun. Kenapa lelaki itu bisa terdampar di minimarket tempatnya bekerja?
Mega tidak mau ambil pusing, ia tetap melayani Rei tanpa sedikitpun bicara.
“Ini juga!” Rei melempar permen tepat ke hadapan Mega. Sepertinya sudah menjadi kebiasaan Rei melempar apapun, seolah tidak bisa melakukannya dengan baik. Mega tidak protes, pembeli adalah raja bukan?
Ia harus menerapkan hal tersebut pada semua orang termasuk Rei.
“Ada lagi?” Tanya Mega.
“Nggak. Itu aja.”
Mega menganggukan kepalanya dan menjumlah total belanjaan Rei.
“Totalnya lima puluh empat ribu rupiah.”
“Murah.” Ucapnya.
Mega hanya tersenyum samar, jelas saja jumlah uang yang dibayarkan Rei dianggap murah bahkan mungkin sangat murah mengingat Rei memiliki kekayaan yang tidak bisa dihitung dengan jari.
“Kembaliannya.” Mega memberikan uang kembalian.
“Kamu tidak lupa kan, kamu sudah saya beli?” .
Kedua mata Mega membulat sempurna. Ia masih ingat bahwa Rei menyelamatkannya malam itu, yang mungkin saja harus dengan imbalan yang sepadan.
“Pak Rei mau tidur sama saya?” Tanya Mega secara langsung dan ragu sedikitpun.
“Kenapa kamu selalu berpikiran seperti itu, apakah kamu cukup menarik untuk ku tiduri?” Balas Rei dengan tatapan tajam.