“Kamu bukan tipe saya.”
“Apa yang menarik dari dirimu?”
“Kenapa kamu selalu menawarkan diri padaku?”
Tiga kalimat itu berulang Mega dengar dari sosok Reinand Mahendra yang baru saja pergi meninggalkan Minimarket. Mega memperhatikan mobil yang perlahan meninggalkan area parkir, tepat di depan toko tersebut.
“Bisa-bisanya dia datang ke tempat ini!” Keluh Mega.
“Bisa-bisanya juga dia ngatain, apa yang menarik dari diriku.” Mega berdecak sambil berkacak pinggang. “Nggak tahu aja, aku ini cantik dan menarik! Tentu saja Dimata orang yang tepat, bukan di manusia bermulut tajam seperti dia.”
Mengutarakan kekesalan setelah orang yang ditujunya pergi hanya akan membuat Mega semakin kesal saja. Lebih baik kembali bekerja daripada harus memikirkan lelaki misterius seperti Rei.
***
Nela datang, setelah Mega mengatakan ingin mengunjungi atau melihat kosan tempat tinggal barunya. Reaksi Nela sama seperti Tama, wanita itu menolak dan tetap menyarankan Mega tinggal di rumahnya. Setidaknya kediaman keluarga Nela adalah salah satu tempat paling aman dari jangkauan Burhan dan Rizal. Kedua lelaki itu tidak berani mendatangi kediaman keluarga Nela, sebab kedua orang tua Nela cukup terpandang dan disegani warga sekitar.
“Yakin mau tinggal disini?” Tanya Nela untuk memastikan, setelah keduanya sampai di rumah kontrakan yang disewa Mega seharga enam ratus ribu rupiah. Jangan berharap tempat tersebut masuk dalam kategori nyaman, bahkan lokasinya pun sudah membuat Nela meringis.
“Nggak ada tempat tidur atau apapun, Me.” Lanjutnya sambil memperhatikan bentuk kontrakan yang sudah dibayar Mega itu. Hahya sebuah kamar dengan lebar empat meter persegi, memiliki satu kamar mandi dan berada di lantai dua. Tidak ada pendingin ruangan atau apapun yang bisa Mega gunakan untuk sementara waktu. Hanya ruangan kosong dengan gorden berwarna abu lusuh yang sangat kotor.
“Me, mending di rumah gue aja.”
“Memang nyaman di rumah Lo daripada disini, tapi gue nggak mau terus menerus bergantung sama kalian. Kak Tama udah bantuin gue cari kerjaan, sementara lo mau berbagi kamar dengan gue selama ini, gue nggak mau hidup dengan rasa hutang budi yang nggak ada habisnya, Nel.”
“Gue nggak minta Lo bales semua kebaikan gue,” sangkal Nela
“Niat gue murni pengen bantu Lo.”
Mega tersenyum, “Iya, gue percaya ko. Tapi gue juga pengen hidup mandiri, Nel. Lo mau bantu kan?”
Nela hanya menghela dan menatap sedih ke arah Mega. “Gue selalu siap bantu Lo, Me.”
Mega menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Perasaan yang tidak asing kembali menyeruak dalam hatinya. Tulusnya persahabatan tidak bisa digantikan dengan apapun, termasuk uang. Sayangnya Mega pernah mengkhianati persahabatan yang terjalin dengan baik hanya karena uang. Mega merasakan sendiri bagaimana akibatnya sekarang, ia tidak lagi bisa bertemu Venus bahkan Mega harus menerima pil pahit akibat dipecat dari perusahaan yang menjadi sumber penghasilannya selama ini. Mega akan menganggap semua itu sebagai pelajaran hidup, dimana ia tidak akan lagi mengulanginya lagi dan tetap memegang teguh komitmen bernama kesetiaan. Entah pada pasangan atau teman.
Nela membantu Mega merapikan rumah kontrakan barunya. Selain membawa beberapa barang dari kediaman keluarga Nela berupa kipas dan matras untuk digunakan sebagai alas tidur.
“Kayaknya Mamah punya matras yang lebih tebel dari ini, tapi gue lupa naronya dimana. Nanti gue tanyain lagi ya, untuk sementara pakai ini dulu.” Ucap Nela
“Nggak perlu diganti, ini aja udah cukup.”
“Ketipisan Mega, Lo bisa encok pake kasur tipis kayak gini.”
Mega hanya tersenyum saja.
“Abang lagi di perjalanan mau kesini, bawa makanan. Sekalian lihat rumah kosan Lo yang baru.”
Mega hanya menganggukkan kepalanya dan kembali merapikan kamar yang akan menjadi tempat tinggal barunya.
Lingkungan tempat tinggalnya saat ini kebanyakan dihuni oleh ibu rumah tangga. Mega bisa mendengar kegaduhan suara-suara anak kecil setiap paginya. Kegaduhan tersebut dianggap sebagai alam setiap paginya, yang membuat Mega tidak pernah lagi kesiangan. Selain itu, Mega pun merasa kehidupannya jauh lebih berwarna dengan banyaknya penghuni lain dengan segala jenis sifat dan kelakuannya yang terkadang membuat Mega geleng-geleng kepala. Tapi Mega bersyukur mendapatkan tempat tinggal di wilayah padat penduduk, setidaknya ia tidak merasa kesepian meski tidak jarang sedikit terganggu juga.
Pukul sebelas siang, Mega merasa perutnya semakin perih saja. Kondisi keuangan membuatnya terpaksa melewatkan jam sarapan. Uangnya tidak akan cukup sampai gajian nanti, yang diperkirakan sekitar empat hari lagi. Jika orang lain menganggap waktu begitu cepat berlalu, tapi tidak dengan Mega. Ia justru merasakan sebaliknya.
Mega hanya bisa minum air untuk mengganjal rasa lapar, dengan kondisi keuangan yang sangat miris, Mega hanya mampu membeli satu kali makanan dan untuk makan malam ia akan membeli roti dengan harga dua ribu rupiah saja.
“Selamat datang, selamat berbelanja,” sambutan hangat yang selalu diperlihatkannya, tiba-tiba berubah menjadi kengerian saat minat sosok Rizal muncul dibalik pintu utama.
“Ayah,” seketika Mega mundur beberapa langkah.
“Rupanya kamu disini!” Ucap lelaki itu dengan nada tidak bersahabat. Aura kemarahan terlihat jelas di wajahnya.
“Anak durhaka, tidak tahu diuntung!” Lelaki itu berjalan cepat menghampiri Mega dan menarik paksa tubuhnya. Menyeret Mega keluar, dengan mudahnya.
“Jadi kamu bersembunyi disini setelah menghilang malam itu?!” Sentak Rizal.
“Sialan!” Tanpa ampun, Rizal memukul Mega dengan tangan kosong.
“Aku harus membayar kerugian karenamu anak sialan!”
Rizal tidak segan menjambak dan terus memukul Mega.
Alkohol membuat lelaki itu semakin kesetanan. Ia tidak memiliki rasa belas kasihan sedikitpun saat Mega merintih kesakitan.
“Mati saja kamu!” Umpatnya.
Kejadian itu disaksikan oleh Tina, rekan kerja Mega. Tidak tahan melihat rekan kerjanya dianiaya, Tina pun segera berlari membawa tongkat besi yang ditemukannya. Dengan berani, Tina memukul Rizal beberapa kali hingga lelaki itu mengasuh kesakitan.
“Berhenti! Atau saya akan lapor polisi.” Ancam Tina. Sepertinya Rizal semakin tersulut emosi melihat perlawanan Tina. Ia pun hendak menyerang wanita itu tapi Mega sudah terlebih dulu menahannya.
Kesempatan tersebut digunakan Tina untuk kembali memukul Rizal dengan sekuat tenaga, hingga lelaki itu mengasuh kesakitan.
“Jangan pukul ayahku!” Mega menahan tongkang besi, yang hendak di pukulan Tina lagi.
“Lo mau mati?!” Ancam Tina.
“Dia ayahku.”
“Tentu, gue nggak punya ayah gila seperti dia!” Balas Tina lagi. Meskipun Rizal menganiayanya, tapi Mega tetap merasa tidak tega melihat lelaki itu dipukuli Tina.
“Tolong! Ada pencuri!” Teriak Tina yang tentu saja langsung menjadi perhatian orang-orang disekitarnya.
Beberapa orang datang untuk menolong, hal tersebut membuat Rizal ketakutan dihajar masa. Ia pun segera bergegas pergi meninggalkan Mega dan Tina dengan berlalu secepat mungkin sebelum kerumunan semakin banyak dan membahayakan dirinya.
“Malingnya udah pergi.” Balas Mega setelah beberapa orang menghampiri untuk memihak kondisinya.
“Luka di wajahmu harus segera diobati.” Ucap beberapa orang yang melihat luka lebam di wajahnya.
Kerumunan perlahan bubar, beruntung Rizal masih bisa melarikan diri sebelum masa berdatangan semakin banyak.
Mega dan Tina kembali ke dalam minimarket dimana Tina menatap kesal ke arah Mega.
Mega tahu, Tina hanya ingin membantunya karena kasihan.
“Terima kasih sudah membantu,” lirih Mega.
“Maaf sudah membuat kegaduhan.”
Tina tidak merespon, wanita itu justru berlalu begitu saja seolah tidak mendengar ucapan Mega.
Malu dan sedih, dua hal yang dirasakan Mega saat ini. Malu karena sudah membuat kekacauan, sedih karena ayahnya tega memukul dan menghajarnya di depan umum tanpa belas kasihan yang membuat Mega semakin yakin tidak ada lagi rasa sayang yang tersisa di hari Rizal untuknya. Semuanya hilang dibutakan uang dan nafsu.
Hati Mega terasa di iris, menyisakan sesak di d**a dan sakit di beberapa bagian tubuhnya. Tapi Mega harus tetap kuat menerima kenyataan hidupnya yang begitu pahit. Ia kembali berdiri di depan meja kasir seolah tidak terjadi apapun sampai akhirnya sosok yang ditemuinya tadi kembali.
“Pak Rei?” Mega melihat lelaki itu kembali dengan tatapan yang sulit diartikan. Melihat kedatangan lelaki itu tiba-tiba saja air mata yang sejak tadi tertahan, runtuh seketika.
“Ikut denganku, kamu sudah menjadi milikku.” Ucap lelaki itu dengan tatapan dingin dan menyeretnya keluar tanpa menunggu persetujuan Mega.