Tama adalah sosok lelaki dewasa. Sikap dan penampilannya sangat mencerminkan lelaki dewasa matang yang sudah sangat siap di ajak ke pelaminan.
“Pakai helm nya.” Tama memberikan satu helm pada Mega.
“Bisa pakainya?” Tanyanya lagi saat Mega kesusahan membuka tali pengikat yang ada di bagian dagu.
“Sedikit sulit karena jarang dipakai, Neli nggak mau naik motor lagi setelah punya mobil.” Senyumnya yang begitu lembut sangat menghipnotis.
Bahkan tanpa segan Tama langsung membantu Mega memakainya. Sedikit canggung, hingga membuat Mega menahan nafas untuk beberapa saat.
“Kamu pakai pakaian siapa? Dan kenapa bibirmu berdarah?” Tama memperhatikan penampilan Mega dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Pinjam punya teman.” Dengan berani, Mega mengatakan seorang yang meminjamkan pakaian adalah temannya. Jika saja orang itu mendengarnya secara langsung, bisa dipastikan lelaki itu akan marah dan tidak terima dianggap teman olehnya.
“Teman? Apakah temanmu sangat kaya? Dari pakaian dan tempatnya tinggal aku yakin dia bukan orang biasa sepertiku.” Tama tersenyum.
“Memang bukan, tapi Kak Tama jauh lebih baik dari dia. Ayo, aku mau pulang.” Ajak Mega. Tidak ingin berlama-lama di tempat itu, Mega pun mengajak Tama untuk segera meninggalkan apartemen tempat tinggal Rei.
Selama perjalanan Tama banyak mengajak Mega bicara. Lelaki itu memang pandai memulai perbincangan, yang membuat Mega sedikit melupakan kejadian yang baru dialaminya beberapa jam lalu. Kejadian mengerikan yang tidak akan pernah Mega lupakan.
“Tawaran aku masih sama, Me. Siapa tahu kamu berubah pikiran.” Ucapnya dengan senyum.
“Tawaran apa, Kak?” Mega pura-pura tidak tahu.
Lampu merah menghentikan laju motor. “Jadi istriku.” Balasnya dengan nada ceria.
Sementara Mega hanya tersenyum seolah menganggap ucapan Tama hanyalah guyonan. Mega tahu lelaki itu serius dengan ucapannya, bahkan sudah berulang kali ia mengatakannya. Lantas apakah Mega tidak tertarik pada sosok Tama?
Tentu saja tertarik.
Memiliki calon suami yang berasal dari keluarga baik-baik lengkap dengan lingkungan hidup yang baik juga adalah sebuah kesempurnaan yang diimpikan Mega. Keluar dari zona penderitaan dengan keluarga berantakan adalah salah satu mimpi terbesar Mega.
Ingin rasanya memiliki seseorang yang bisa membebaskannya dari lingkaran setan yang dibuat oleh ayahnya sendiri. Tapi kenyataannya tidak semudah itu. Jika saja Mega mengiyakan tawaran Tama untuk menikah dengannya, tidak hanya akan semakin menyusahkan hidupnya tapi juga tama.
“Kak Tama belum lupa kan, Ayah pernah malak waktu itu?” Mega mengingatkan kembali saat mereka sempat dekat dan akhirnya Tama menjadi sasaran empuk Rizal untuk memerasnya.
“Nggak lupa, sepuluh juta.” Balas Tama yang membuat Mega meringis.
“Baru dekat sepuluh juta, tunangan seratus juta nanti jadi menantu berapa coba? Bisa aja Kak Tama di hisap habis sama si lintah darat itu.”
Tama terkekeh. “Tapi aku bisa menyelamatkanmu, Me.”
Lampu berubah hijau, bunyi klakson membuat Tama harus segera melajukan kembali motornya.
“Terima kasih,” Lirih Mega
“Tapi aku nggak mau melibatkan Kak Tama di kehidupanku yang masih berantakan ini.”
“Kalau begitu, aku bisa diterima setelah kehidupanmu tertata rapi?”
“Mungkin. Tapi saat itu tiba, aku yakin Kak Tama nggak akan mau lagi nawarin aku jadi istri, karena Kak Tama pasti malu punya istri seperti aku.”
“Kenapa emangnya?”
“Nggak apa-apa. Kak Tama aku pinjam uang sepuluh ribu boleh, aku laper mau beli sate.”
“Mana ada sate sepuluh ribu, Me.”
“Ada, sate abang-abang dekat sekolah Nusa dua, sate sama lontong sepuluh ribu.”
Tama terkekeh. “Itu sate-satean. Ayo, kita makan date beneran.” Ajaknya.
Mega tersenyum senang.
Rasanya seperti sedang jalan-jalan malam bersama kekasih, menyusuri jalan ibu kota yang mulai lengang. Angin malam berhembus menyapu wajah Mega, mengikis rasa sakit di wajahnya dan sedikit melupakan kegelisahan yang dirasakannya.
Kebahagiaan yang sangat sederhana bukan?
Tama.bisa memberikan kebahagiaan impian untuknya, tapi lelaki itu akan tersiksa memiliki istri dan mertua seperti Rizal. Mertua yang lebih mirip lintah darat, yang akan menghisapnya sampai mati kehabisan uang.
“Lo kenapa sih Me?” Tanya Nela, setelah Mega sampai di kediamnnya.
“Gue di jual Bokap.”
“Apa?!”
“Jangan teriak!” Mega menutup mulut Neli dengan satu tangannya. “Kak Tama dan orang tua lo ada di luar.”
Nela menganggukan kepalanya, yang membuat Mega melepaskan bekapan tangannya di bibir Nela.
“Serius, Me?” Tanya Nela lagi, dengan tatapan tidak percaya. Anak yang lahir dari keluarga cemara seperti Nela tentu saja tidak percaya dengan pengakuan Mega. Dalam benaknya, orang tua adalah orang yang akan selalu melindungi dan menjaga anaknya tapi tidak semua anak seberuntung Nela, salah satunya Mega.
“Penghasilan lo dari perusahaan Mahendra masih cukup kan untuk menghidupi kalian bertiga?”
“Sangat cukup, kalau Bokap gue nggak mabuk, judi dan main cewek. Tapi lo tau sendiri kan, gimana kelakuan bejatnya.” Mega menghela. “Dan yang lebih parahnya lagi, gue di pecat dari kantor.”
“Hah?! Kenapa?”
Mega menceritakan secara singkat bagaimana awal mula ia di pecat lengkap dengan alasannya hingga akhirnya ia berakhir di kelan milik Burhan.
“Gue di jual.” Ucapnya, setelah bercerita
“Tua bangka yang beli gue hampir aja memperkosa gue. Lihat ini.” Mega menunjukan luka lebam di wajah dan bagian tubuh lainnya. “Ponsel dan semua barang yang ada di dalam tas ada disana, kemungkinan gue nggak bisa ambil lagi.”
“Kalau Atm dan kartu penting lainnya lo bisa urus lagi nanti, yang penting lo selamat.” Nela benar-benar prihatin melihat kondisi Mega.
“Lo punya informasi kerja nggak? Kerja apa aja, jadi asisten rumah tangga juga nggak apa-apa.” Mega sudah berada di fase putus asa. Impian kerja di perusahaan besar akan sirna setelah dua gelar yang dimilikinya. Yakni gelar dipecat secara tidak hormat.
“Gue bantu cari, tapi untuk saat ini lebih baik lo tinggal disini aja. Nggak aman kalau pulang ke rumah.”
“Aman, asal pulang di jam Bokap nggak ada di rumah. Gue butuh pekerjaan secepatnya, Nel. Davin butuh biaya untuk sekolah.”
“Gue pasti bantu semampu gue. Nanti gue juga minta bantuan Bang Tama.”
Mega mengangguk setuju.
“Lagian kenapa lo nolak Abang gue sih, Me? Lo bisa hidup damai di rumah ini atau lo dan Bang Tama bisa cari rumah lain kalau nggak mau tinggal bareng kami.”
“Kasihan Kak Tama punya istri macam gue. Gue udah terlalu banyak berhutang budi sama kalian berdua, masa iya gue nambahin masalah but dia.”
“Tapi Abang gue suka sama lo, Me. Gue yakin dia tulus cinta sama lo.”
Mega menganggukan kepalanya, percaya dengan ucapan Nela. “Gue percaya, tapi hidup gue terlalu berantakan untuk dia yang nyaris sempurna.”
“Alasan lo kayak udah di film-film aja sih!” Ejek Nela.
“Kalau gue mati dan terlahir kembali, gue akan dengan senang hati jadi istri Kak Tama.”
Mega dan Nela tertawa bersama.