“Kamu tidak bisa melakukannya Rei! Dia milikku, aku sudah menunggunya sejak lama!” Kekesalan terlihat jelas, meski Rei tidak melihat ekspresi Yana secara langsung.
“Aku mengalami banyak kerugian karenanya! Saat aku akan meminta ganti rugi, kamu justru menggagalkannya.”
Rei masih bersikap tenang, bahkan ia tidak peduli dengan kerugian yang dimaksud Yana.
“Kamu bisa minta ganti rugi dengan meniduri banyak wanita di tempat itu secara bergilir, tanpa harus membayarnya, kan?” Balas Rei. “Ah,, aku lupa. Kamu sudah mencicipi semua wanita yang ada disana.” Sindirnya.
“Rei! Kebalikan wanita itu!”
“Aku sudah membelinya dan sekarang dia jadi milikku.”
“Rei!”
Tidak ingin mendengar keluhan Yana, Rei pun segera mematikan sambungan secara sepihak, lantas melempar ponselnya ke atas tempat tidur. Seharusnya Rei tidak melakukan itu, mengambil sesuatu yang bukan miliknya. Rei tidak pernah berselisih hanya karena wanita penghibur, kecuali dengan saudaranya Regan tentu saja. Venus dan Mega tidak bisa disamakan, dimata Rei kedua wanita itu jelas memiliki perbedaan. Setidaknya itu pandangan Rei saat ini terhadap Mega.
Dimatanya Mega hanya seorang karyawan yang tidak bertanggung jawab dan wanita yang bernasib sial.
Tapi wanita itu justru ada di tempatnya, di rumah yang selama ini ditinggalkan seorang diri. Merasa ada yang salah dengan sikapnya, Rei pun kembali keluar untuk menemui Mega.
Mega berada di sofa dengan selimut tipis menutupi tubuhnya. Wanita itu tengah terlelap setelah mengobati luka di beberapa bagian tubuhnya. Salah satunya bibir.
Entah benar-benar tidur atau hanya pura-pura, Rei tidak tahu. Ia menendang bagian kursi hingga membuat kedua mata Mega terbuka.
“Pak Rei?” Mega langsung membetulkan posisinya, duduk menghadap Rei.
“Ada apa? Saya harus pulang?”
Sejak awal Mega memang sudah tahu kehadirannya tidak disukai Rei, hanya saja ia tetap mengikuti keinginan Rei untuk tetap tinggal.
“Pergi!” Usir Rei.
Mega tidak terlalu terkejut dengan sikap lelaki itu, sebab Rei tidak pernah menunjukan sikap baik padanya. Jangankan setelah kejadian tadi, sebelumnya pun ia selalu bersikap sama.
“Baik.” Mega tidak membantah apalagi memohon untuk tetap tinggal.
“Terima kasih karena sudah menolongku, Pak Rei. Permisi.”
Usai melipat selimut dan menaruhnya di atas sofa, Mega segera bergegas pergi menuju pintu. Ia tidak mengenakan alas kaki, sepatunya tertinggal di kelab, tapi beruntung saat ini ia mengenakan pakaian yang jauh lebih layak meski berukuran sangat besar hingga membuatnya seperti orang-orangan sawah. Tapi Mega tetap bersyukur, setidaknya ia tidak akan terlihat seperti w************n, paling hanya dianggap gembel oleh orang-orang yang melihatnya.
Rei menatap kepergian wanita itu, ada sedikit perasaan tidak rela melihatnya pergi dan akhirnya tubuh wanita itu hilang dibalik pintu. Kedua kakinya nyaris ingin melangkah untuk menghentikannya. Tapi Rei berusaha menahannya.
Ia yakin ada yang salah dengan sikapnya, setelah wanita itu menawarkan dirinya tempo hari. Seperti mengusik hatinya, Mega menimbulkan rasa tidak nyaman dalam hatinya. Rei tidak akan melibatkan diri dengan wanita itu, setelah hari ini ia akan kembali menjalani kehidupan normal seperti biasanya.
Sementara itu, Mega merasa semakin kesulitan setelah menyadari dompet dan tas miliknya tertinggal di kelab. Ia harus pulang, sementara waktu sudah menunjukan pukul dua belas malam. Mega tidak memegang sepeserpun uang. Ia kebingungan harus kemana mencari bantuan atau setidaknya meminjam uang agar bisa pulang.
“Mas, boleh pinjam ponselnya?” Mega memberanikan diri menghampiri salah satu petugas apartemen yang berharga di depan meja resepsionis.
“Saya mau menghubungi teman, sebentar saja.” Mega memohon, agar orang tersebut mau membantunya.
“Mas bisa kasih nomor ponselnya ke saya, nanti saya bayar uang gantiin pulsanya.”
Lelaki itu awalnya menatap Mega ragu, dengan penampilan yang terlihat aneh tentu saja membuat lelaki itu bersikap waspada.
“Sebentar saja, saya nggak akan kabur atau mencuri ponsel kamu. Kalau nggak percaya, selama saya pake ponselnya kamu boleh pegang satu tangan saja sebagai jaminan saya nggak akan lari.” Mega berusaha meyakinkan.
Akhirnya lelaki itu setuju, dengan syarat satu tangan Mega dipegangnya sebagai jaminan dan satu tangan lainnya menggunakan ponsel. Mega tidak memiliki banyak teman, tapi ia ingat salah satu nomor temannya yang cukup dekat. Namanya Nela.
Mega berusaha menghubungi Nela, beruntung nomor ponsel wanita itu masih aktif dan bisa dihubungi.
“Nel, ini gue Mega.” Mega tersenyum lega saat Nela menerima panggilannya.
“Nel, gue lagi ada masalah. Lo bisa bantu gue?”
“Lo jemput gue,” Mega menyebut nama apartemen tempatnya berada, lengkap dengan alamatnya. “Cepetan ya, Nel. Gue lagi kena musibah.”
Panggilan terputus setelah Nela setuju untuk menjemput Mega.
“Saya balikin. Terima kasih untuk bantuannya, nanti saya ganti uangnya. Kamu tulis nomornya saja di kertas, saya ganti pulsanya nanti kalau sudah sampai di rumah.”
Lelaki itu menganggukkan kepalanya, lantas menuliskan sesuatu di atas kertas kecil kalau memberikannya pada Mega.
“Ini nomor saya.”
“Oke. Nanti saya ganti pulsanya.”
Sedikit kecewa karena lelaki itu tidak tulus membantunya, waktu yang digunakan Mega untuk menghubungi Nela tidak lebih dari dua menit yang mungkin tidak akan menghabiskan pulsa dalam jumlah banyak. Tapi Mega tetap merasa bersyukur karena lelaki itu sudah membantunya, Mega akhirnya percaya di dunia ini nggak ada yang benar-benar tulus membantu.
Selang dua puluh menit, akhirnya seseorang sampai. Lelaki bertubuh tinggi, dengan mengenakan sweater hoodie berwarna hitam masuk dari depan pintu lobi utama. Mega mengenali sosok lelaki itu, dia adalah Tama, kakak Nela.
“Kak Tama,” teriak Mega, hingga membuat lelaki itu menoleh.
“Mega,” Tama menghampiri Mega.
“Ngapain kamu disini?” Selidik Tama lengkap dengan tatapan aneh saat melihat penampilan Mega.
“Nanti aku ceritakan kalau sudah sampai di rumah. Ayo.” Ajak Mega, sambil menarik satu tangan Tama.
Keduanya pun bergegas pergi meninggalkan lobi menuju area parkir khusus motor.
“Selamat malam Pak Rei, tamu bapak sudah pergi bersama seseorang.” Ucap si resepsionis, sesaat setelah kepergian Mega dan Tama.
“Benar, dia dijemput seorang lelaki.” lanjutnya.
“Baik, Pak. Selamat malam.” Panggilan terputus secara sepihak.