Tatapan mengintimidasi itu memperhatikan Mega dari ujung kaki hingga ujung kepala.
“Kamu mau tidur dengan saya?” Rei melipat kedua tangannya, dengan seringai yang begitu menakutkan.
“Apa yang membuatmu percaya diri menawarkan hal tersebut pada saya?” Tanyanya lagi.
“Saya rasa Pak Rei butuh seseorang untuk menghibur dari fase patah hati.”
“Apa aku terlihat seperti itu?”
“Tidak. Hanya saja,” Mega kehabisan kata-kata untuk menjelaskan alasan yang membuatnya nekat menjual diri.
“Saya bisa memuaskan Pak Rei,” Lanjut Mega.
“Benarkah?!” Rei tersenyum merendahkan. “Tapi saya tidak tertarik padamu, kamu bukan tipe saya.” Balasnya.
Rasanya seperti dilempar kotoran tepat di wajahnya sendiri. Mega malu, setelah Rei menolak mentah-mentah tawaran nya padahal Mega sudah membunuh habis rasa malunya di hadapan Rei. Tapi tawarannya tidak membuat lelaki itu tertarik.
“Oh, begitu ya.” Mega menggaruk kepalanya. “Kalau begitu, saya permisi Pak.” Mega bergegas pergi, untuk apa ia berlama-lama di tempat itu apalagi Rei tidak berniat membeli apa yang ditawarkannya. Mega kembali ke kamarnya, dimana ia akan kembali memikirkan cara untuk mendapatkan uang dengan cara cepat. Bisa saja Mega menjual dirinya di beberapa aplikasi online, sayangnya Mega tidak seberani itu. Tapi keberanian akan muncul seiring dengan kondisi yang semakin terdesak.
“Kenapa dia menolak? Apa aku nggak menarik di matanya?” Mega menatap pantulan diri di depan cermin, melihat bentuk tubuhnya.
“Nggak jelek-jelek amat.” Mega memegang bagian-bagian tubuhnya yang memungkinkan lelaki tertarik.
“Ini juga besar.” Usapnya pada dua gundukan gunung kembar miliknya. “Pas lah untuk di pegang.” Lanjutnya. “Lalu apa yang salah? Harusnya dia mau. Atau mungkin aku salah menawarkan diri?” Berbagai pertanyaan terus berputar dalam benaknya, salah satunya cara Mega menawarkan diri.
“Ah,, iya. Mungkin dia tersinggung gara-gara aku bilang patah hati.” Mega ingat, Rei memang mengalami fase patah hati setelah Venus menolak dan lebih memilih kembali bersama Regan mantan suaminya. Mega tahu betul bagaimana perasan Rei untuk Venus, bahkan semenjak Rei masih menjadi seorang penjual kopi, lelaki itu sudah menunjukan rasa sukanya untuk Venus.
Hubungan Mega dan Rei pun sebenarnya bisa dibilang akrab, waktu itu. Mereka sering berinteraksi dan mendapat makanan gratis, sayangnya sikap Rei yang dulu justru berubah setelah insiden beberapa waktu lalu akhirnya terungkap.
Mega menghela lemah, tidak mungkin ia kembali menawarkan dirinya pada Rei untuk yang kedua kalinya. Mau ditaruh dimana muka dan harga dirinya, meski saat ini ia sudah tidak lagi memiliki harga diri. Wanita macam apa yang berani menawarkan dirinya pada atasannya sendiri, selain wanita tidak punya harga diri.
***
Usai membersihkan diri, Mega mendapati ponselnya berdering dan nama Davin muncul di layar ponselnya.
“Iya, Dek. Kenapa?” Tanya Mega, saat sang adik menghubunginya. Davin adalah adik kandung Mega, usianya saat ini baru menginjak dua belas tahun dan masih bersekolah.
“Kak Me dimana?” Tanya Davin.
“Kamu dimana?”
Mega balik bertanya. Davin sekolah di salah satu yayasan, ia hanya pulang sekitar satu bulan sekali. Lokasi sekolah dan rumah cukup berjauhan, hal tersebut sengaja Mega pilih untuk menghindari Davin sering pulang ke rumah.
“Di rumah.” Jawab Davin.
“Kenapa di rumah? Kenapa kamu pulang?!” Sentak Mega, bahkan ia langsung berdiri dari tempat duduknya setelah mendengar jawaban Davin.
“Kak Me bilang, kamu nggak boleh pulang sebelum Kak Me jemput! Kamu nggak denger?!” Sentaknya.
“Kak Me,”
“Sekarang balik lagi ke sekolah, ambil barang yang kamu butuhkan dan segera pergi dari rumah!” Tegas Mega.
“Tapi,”
“Nggak ada tapi-tapian Davin! Cepat pergi!”
“Tapi aku nggak punya uang Kak,” Rengek Davin.
“Kak Me nggak kasih aku uang selama tiga bulan dan setiap harinya aku nggak bisa jaja, buat makan aja aku minta teman.”
Bibir Mega terbuka, kalimat-kalimat yang sudah berada di ujung lidah kembali ditelannya dengan susah payah.
“Davin,”
“Setiap aku mau pulang Kak Me selalu bilang nggak boleh. Aku mau ambil makanan, aku kelaparan Kak.”
Mega memejamkan matanya, menahan sesak yang kini terasa begitu sakit mencekik lehernya.
“Aku mau ambil beras dan mie instan, setelah itu aku akan pergi ke sekolah lagi. Dima Kak Me simpan beras dan mie?” Tanya Davin.
“Tunggu, Kak Me kirim uangnya.” Suara Mega melemah.
“Sekarang cepat pergi dari rumah sebelum ayah datang.”
“Oke.”
“Cepat!”
“Iya.” Panggilan pun terputus, tapi Mega masih memegang erat ponselnya dan menahan tangis.
Selang dua puluh menit, Mega kembali menghubungi Davin, sayangnya ponsel anak itu sudah tidak bisa dihubungi lagi. Perasaan Mega semakin tidak karuan saja, takut hal buruk menimpa Davin. Salah satunya bertemu Ayahnya.
Rizal sudah beberapa kali hendak menjual atau mempekerjakan Davin di salah satu bar, bukan sebagai pelayan tapi sebagai pencuci piring. Lebih parahnya lagi lelaki tua itu pernah membawa Davin ke stasiun untuk mengemis. Rizal tidak akan segan memukul Davin jika anak itu tidak mau menuruti keinginannya dan karena hal itu juga lah yang membuat Mega akhirnya menyekolahkan Davin di salah satu sekolah yang juga menyediakan asrama. Setidaknya di sana Davin aman, meski Mega harus membayar uang sekolah cukup mahal asal Davin selamat ia akan merasa tenang.
Mega semakin khawatir karena ponsel Davin tidak kunjung bisa dihubungi bahkan setelah satu jam berlalu. Mega pun segera menghubungi pihak sekolah, terutama wali kelas yang bertanggung jawab pada Davin.
“Davin izin pulang, sejak sore tadi.” Hanya itu informasi yang didapat Mega setelah menghubungi wali kelas Davin. Bahkan wali kelasnya bilang Davin belum kembali sampai saat ini.
Mega tidak punya pilihan lain, selain menghubungi Rizal,ayahnya. Dalam kesehariannya Mega jarang sekali menghubungi Rizal, karena menghubungi lelaki itu sama saja dengan menambah masalah baru. Tapi Mega harus memastikan keberadaan Davin, ia tidak punya pilihan lain selain menghubungi Rizal.
“Ayah, Davin mana?” Tanya Mega setelah panggilan terhubung.
“Kerja.” Jawab Rizal santai.
“Dimana? Davin masih sangat kecil untuk bekerja, Ayah!” Tegas Mega.
“Banyak anak yang usianya jauh lebih kecil dari dia tapi sudah menghasilkan uang.”
“Dimana davin?” Tanya Mega lagi.
“Jangan ikut campur Mega, kamu hanya perlu kasih Ayah uang untuk melunasi hutang-hutangku pada Burhan. Kenapa buang-buang uang untuk menyekolahkan anak haram itu?”
“Davin bukan anak haram. Dia adikku!”
“Adik? Aku tidak merasa memiliki anak selain kamu, dan ingat Mega, dia bukan anakku! Dia anak haram, hasil perselingkuhan ibumu dan lelaki lain!”