Adakah manusia di dunia ini yang tidak pernah melakukan kesalahan?
Sepertinya tidak ada, sebab nyaris semua manusia pernah melakukannya, baik yang disengaja dalam keadaan sadar atau kesalahan yang tidak dilakukan dengan sadar atau bagian terpaksa.
Mega menatap ke arah Davin, anak itu terisak setelah mengalami kekerasan yang dialaminya. Tidak perlu repot-repot mencari tahu siapa pelakunya, Mega sudah tahu.
“Tidurlah, besok Kak Me antar ke asrama. Ingat, jangan pernah pulang tanpa seizin kak Me. Mengerti?”
Davin yang masih terisak hanya bisa menganggukan kepalanya.
“Kak Me belikan ponsel yang baru.”
Mega mengusap kepala Davin dengan lembut.
“Tapi Kak Me belum bayar uang bulanan dan,”
“Tenang, Kak Me masih punya uang. Sekarang kamu istirahat saja.”
Davin merebahkan tubuhnya di dekat Mega, merapatkan diri pada Mega seolah ingin berlindung pada wanita itu jika sewaktu-waktu Rizal akan kembali memukulnya.
Ya, lelaki itu baru saja memukulnya dengan tongkat kayu. Tanpa belas kasihan, Rizal mengayunkan tongkat tersebut hingga mengenai tubuh Davin. Bisa dipastikan tubuh anak kecil itu akan lebam dan membiru.
Mega sudah mempertaruhkan pekerjaannya untuk melindungi Davin. Ia nekat pulang lebih awal hanya karena ingin memastikan anak itu baik-baik saja. Entah besok atau lusa, dipastikan Mega akan mendapat surat pemecatan untuk yang kedua kalinya. Ia pun harus bersiap untuk kemungkinan terburuk yang akan terjadi, yakin menjadi seorang pengangguran dan berakhir di salah satu kelab untuk menjual diri. .jalan hidupnya sudah terbaca, nyaris tanpa ada pilihan. Pendidikan yang ditempuhnya dengan susah payah dan biaya yang tidak sedikit, tapi kenyataan justru melempar Mega ke lokasi prostitusi yang akan menjadikannya b***k pemuas nafsu. Miris sekali.
Tapi itulah kenyataan pahit yang harus diterima Mega.
Setelah memastikan Davin terlelap, Mega segera keluar dari kamarnya untuk menemui Rizal.
Membuat perhitungan dengan lelaki itu tidak akan menemukan titik terang, Mega dan Davin akan tetap salah dimatanya.
“Jangan pukul Davin lagi,” ucap Mega, saat ia berjalan melewati Rizal yang tengah duduk di sofa depan televisi. Lelaki itu tidak bergeming, tatapannya tertuju pada layar televisi.
“Aku akan menuruti keinginan ayah, menjual diriku pada Burhan asal jangan sakiti Davin.”
Rizal akhirnya menoleh.
“Kamu menyayanginya?” Rizal menyeringai.
“Kamu dan ibumu sama-sama menyedihkan.” Lanjutnya.
Sikap kasar Rizal memang dirasakan Mega setelah pertengkaran hebat sekitar tiga belas tahun lalu, saat Astuti, ibunya Mega hamil.
Rijal yang saat itu pulang ke rumah hanya satu Minggu sekali, marah mendengar kehamilan Astuti. Penolakan itu terjadi.
Rizal tidak mengakui kehamilan yang terjadi pada istrinya, bahkan Rizal menuduh Astuti berselingkuh. Setiap kali Astuti ingin menjelaskan, Rizal dengan tegas menolak dan sejak saat itu pula sikap dan perilakunya berubah drastis.
Rizal berubah menjadi sosok lelaki kasar, pemabuk bahkan sering melakukan penyiksaan terhadap Astuti hingga suatu hari Astuti ditemukan tidak sadarkan diri dengan kondisi memprihatinkan. Darah segar mengalir di sela-sela betisnya, Mega yang saat itu masih berstatus sebagai seorang mahasiswa berusaha menolong sang ibu dengan berteriak meminta bantuan pada tetangga sekitar yang berada di dekat rumahnya. Astuti sempat dilarikan ke rumah sakit, sayangnya nyawanya tidak tertolong tapi Davin berhasil diselamatkan.
“Jaga Davin, Me. Sayangi dia.” Kalimat itu terus terngiang di telinga Mega hingga saat ini. Seperti sebuah janji pada sang ibu, Mega pun rela melakukan apapun untuk melindungi Davin.
“Aku tidak punya pilihan kan, selain menjual diri untuk menutupi hutang ayah dan biaya sekolah Davin. Aku tidak punya pekerjaan lagi,” jelas Mega.
Meski belum mendapat surat pemecatan secara langsung, tapi Mega sudah merasa bahwa dirinya akan dipecat dan tidak akan dipekerjakan lagi karena dianggap tidak profesional.
“Baguslah. Malah lebih baik kalau kalian berdua bekerja sama mencari uang untukku.”
Kedua tangan Mega mengepal.
“Jangan sakiti Davin, aku akan melakukan apapun untuk ayah. Termasuk menjadi b***k nafsu di tempat Burhan.”
“Terserah. Aku tidak peduli.” Jawabnya dingin. Jawaban yang tidak seharusnya keluar dari bibir seorang ayah pada anak gadisnya.
Saat jalan yang ditempuhnya menemui kebuntuan, saat segala upaya yang dilakukan ya tidak membuahkan hasil, maka hal terakhir yang akan Mega lakukan adalah menerima. Apapun yang terjadi padanya suatu hari nanti, ia akan menjadikan Rizal adakah penyebab utama kehancuran hidupnya.
Lelaki yang berstatus sebagai ayah itu tidak lebih dari seorang penjahat yang ikut andil dalam kehancuran hidupnya.
Mega kembali ke dalam kamar, bahkan ia masih mengenakan setelan kerja sampai saat ini. Setelah sampai di jakarta, hal pertama yang dilakukannya adalah mencari Davin yang saat itu berada di jalan dekat perumahan yang mereka tinggali. Davi dalam keadaan menegaskan dengan banyak luka lebam di wajah dan tangannya. Mega membuka perlahan kaos yang dikenakan Davin, kaos lusuh yang layak disebut sebagai kain lap, tapi dipakai Davin untuk menarik simpati orang-orang. Mega menahan nafas saat melihat beberapa lebam lainnya di tubuh Davin.
Anak sekecil itu harus menanggung semuanya, tanpa perlindungan seorang ibu.
Tanpa sadar, lelehan air mata itu mengalir deras membasahi wajahnya.
“Maafkan Kak Me, Vin. Kak Me janji akan melindungi mu, seperti janji kak Me pada Ibu.” Mega mengusap lembut kepala Davin.
“Nggak apa-apa, Kak Me baik-baik aja.” Ucapnya lagi dengan suara pelan dan terisak.
“Nggak apa-apa, kalau akhirnya Kak me harus melakukan ini. Yang penting kamu selamat dari incaran ayah.”
Mega mengira Davin sudah terlelap dalam tidurnya, nyatanya tubuh kecil itu bergetar dan satu tangan kecilnya memeluk pinggang Mega.
“Davin!” Mega terkejut mengetahui Davin belum tidur yang artinya anak itu mendengar semua ucapannya. Tapi Davin tidak menunjukan wajahnya meski Mega tahu anak sekecil itu pasti sudah mengerti akan kondisi yang dialami mereka berdua saat ini
“Jangan sedih, Kak Me kan melakukan apapun untuk kamu. Tapi janji ya, kamu harus jadi anak yang pintar dan berprestasi. Suatu hari nanti kamu harus mengubah hidup kita,” Mega mengusap lembut kepala Davin.
“Kak Me mungkin gagal dan berakhir menjadi sampah, tapi kamu harus menjadi bintang yang bersinar Vin.”
Samar dan sangat pelan, Davin menganggukan kepalanya.
“Anak pintar.” Pujinya.
Mega yakin dan percaya Davin adalah anak yang baik, entah siapa ayah kandungnya, Mega tidak peduli karena Davin adalah adiknya. Satu-satunya keluarga yang dimilikinya saat ini. Jika hari itu ibunya benar-benar berkhianat sampai akhirnya Davin hadir, Mega tidak akan menyalahkannya, karena setiap manusia pernah melakukan kesalahan bukan?
Termasuk dirinya.
Esok paginya Mega masih memberanikan diri muncul di kantor Mahendra group. Bisa saja kedatangannya menjadi yang terakhir kalinya atau mungkin masih ada kesempatan terakhir yang akan diberikan padanya. Mega sadar, ia bukan siapa-siapa dan hanya sebagai pekerja kelas biasa, jika kesalahan yang dilakukannya dianggap besar maka tidak akan ada kesempatan kedua lagi. Ia akan dipecat.
Mega berjalan menuju ruang kerjanya, meskipun Mega tahu dalam waktu dekat seseorang akan memberikan sebuah surat kematian padanya. Tapi tidak apa-apa. Mega akan membenarkan diri datang untuk yang terakhir kalinya.
Saat pintu lift tertutup, sebuah sepatu mengkilap menahannya hingga pintu tersebut kembali terbuka dimana detik berikutnya Mega melihat Rei masuk ke dalam lift.
Tatapan lelaki itu masih sama seperti biasanya. Tajam dan datar. Kombinasi yang selalu dipertunjukkan Rei pada orang-orang yang dianggap tidak terlalu penting dalam hidupnya. Tatapan tajam dan sinis itu akan berubah saat menjabat Venus. Hanya Venus yang bisa merubah tatapan dan caranya bicara.
“Saya paling tidak suka karyawan yang tidak bertanggung jawab pada pekerjaannya.” Suaranya memecah keheningan.
“Kalau tidak sanggup bekerja di sini silahkan angkat kaki.” Lanjutnya.
Mega tidak perlu mencari tahu siapa orang yang dimaksud Rei, sebab di dalam lift tersebut hanya ada dirinya dan satu lagi asisten pribadi Rei. Tidak mungkin lelaki itu menceramahi asistennya di dalam lift seperti sekarang ini.
“Kemasi barangmu, dan jangan injakan kaki lagi di kantor ini.”
“Baik, Pak Rei.” Jawab Mega dengan menundukkan kepalanya. Dan momen menakutkan itu akhirnya tiba.