Part 2

1665 Words
Part 2 Nyawa itu lebih penting dibandingkan urusan t***k bengek lainnya. Karena sejatinya pertolongan pertama harus segela terlaksana bagi korban yang membutuhkan. *** Marcello tidak menyangka dengan kejadian hari ini. Adiknya datang dengan berlumuran darah, ditambah lagi wajah seriusnya saat berbicara pada petugas rumah sakitnya. "Siapkan beberapa ambulance, kirim orang untuk ke sana." "Baik, Pak." Marcello ingin sekali bertanya dan semua seakan menyangkut ditenggorokan saat melihat kekasih adiknya datang bersama seorang yang terluka parah. Di mana sebuah benda tumpul menancap di bahu pasien tersebut. Jika melihat benda tersebut, Marcello yakin mereka adalah para pekerja bangunan. Tapi, kenapa Bella ada bersama tukang bangunan? "Tolong siapkan ruang operasi, saya akan tangani ini. Dan kamu, Bella. Jelaskan semuanya nanti. Alden titip adikku." "Siap, Kak." Marcello mendorong pasien yang terluka sangat parah dia juga sudah berpesan pada dokter yang lain, untuk segera membantu orang-orang yang membutuhkan bantuan mereka. "Kita akan melakukan operasi dengan cepat. Seperti biasa, saya tidak mau ada kesalahan sedikit saja!" *** Alexa dan Justin baru keluar dari ruangan operasi setelah memastikan pasien yang mereka tangani sudah diperbolehkan pindah ke ruang perawatan. Niat hati mencari Marcello bersamaan, tapi mereka di kagetkan dengan wanita cantik yang pakaiannya berlumuran darah. Sebagai kekasih dan sahabat Marcello keduanya tahu siapa wanita muda itu. Dia adalah adik bungsu Marcello yang selalu saja banyak masalah. Entah karena terlahir dengan sifat tomboy dan beraninya, adik Marcello itu tidak pernah takut apa pun, bahkan kadang mereka berpikir ada ya perempuan segila adiknya Marcello. "Bella!! Kamu gak apa? Ada yang luka?" tanya Alexa khawatir. Bagaimana pun Bella sudah dia anggap seperti adiknya sendiri. Kalau bocah itu kenapa-kenapa dia juga merasakan sakitnya. Karena tumbuh di lingkungan yang sama, membuat mereka berdua saling mengerti sikap masing-masing. "Kakak sama deh kaya Kak Marcello," kata Bella. "Ini anak di tanya apa jawabnya apa. Itu baju berdarah udah kaya main film pembantaian aja. Kenapa dirimu wahai adik Kakak yang cantik ini." Justin memang selalu suka meledek Bella jika ada Alden di depannya. Dan Alexa sudah biasa akan sikap Justin ini. "Jangan bicara sama om-om!" Alexa tertawa saat Alden malah menarik tubuh Bella ke pelukannya. Astaga Alden, dari kecil tidak pernah berubah sama sekali. Selalu saja over kepada Bella. "Sudah-sudah, aku periksa kondisi kamu ya. Biar Justin cek kondisi Alden. Lagian kalian berdua kok datang bawa pasukan." Pasukan yang Alexa maksud adalah pasien-pasien yang entah datang dari mana. Jika melihat darah yang membasahi tubuh Bella dan Alden, pasti keduanya berada di situasi yang tidak mengenakkan. Walau wajah Bella tenang, Alexa yakin bocah satu itu tengah menahan dirinya untuk tidak menangis di depan mereka semua. "Nunggu Kak El datang aja lah, aku malas mengulang cerita lagi nanti." "Minum dulu, wajah kamu pucat sekali," Kata Alexa sambil memberikan segelas air putih yang Alexa minta pada office girl yang tidak sengaja lewat di depannya. Suasana rumah sakit semakin ramai tatkala beberapa pasien dengan berbagai jenis tiba di sini, Alexa dan Justin belum bisa membantu, karena mereka harus menangani dua pasien yang sangat mereka kenali. "Kalian obati saja mereka dulu, aku dan Bella bisa nanti." Alexa dan Justin berusaha saling berkomunikasi lewat tatapan mata. Di satu sisi mereka merasa tidak enak hati baik pada Bella atau pun kekasihnya. Tapi, melihat pasien semakin berdatangan membuat Alexa memutuskan untuk membantu rekan medisnya yang lain bersama Justin yang berlari menyusulnya. "Angkat pelan-pelan," kata Alexa saat seorang pasien berada di depannya muncul. Bahkan keduanya mulai sibuk dengan merawat pasien yang tengah mereka tangani. Sampai sebuah suara teriakan seseorang membuat mereka menghentikan langkah kakinya. "Tolong!!! Sakit!!! Tolong!!!" Baru saja Alexa dan Justin mendekat, Marcello muncul dengan berlari, Marcello meminta kekasihnya dan sahabatnya beserta dokter lain fokus dengan tugas mereka, biarkan masalah lelaki di depannya urusan Marcello. Bayangkan saja, seorang lelaki datang dengan sebuah besi yang menancap di kakinya, sama seperti pasien sebelumnya, Marcello berharap jika pasien di depannya baik-baik saja nanti. "Pindahkan pelan-pelan. Untuk keluarganya apa sudah dihubungi?" tanya Marcello pada suster di sampingnya. "Keluarganya sed--" "Dokter! Hikss...Tolong selamatkan ayah saya. Dia satu-satunya keluarga yang saya miliki." Marcello melihat seorang anak perempuan yang usianya Marcello tebak 10 tahun. Anak perempuan di depannya datang bersama dengan seorang suster yang Marcello yakini, pasti anak buahnya ini mencari keberadaan keluarga si lelaki ini. "Ibu kamu dan kakak kamu di mana?" Tanya Marcello saat melihat anak perempuan di depannya. Karena aneh saja kalau sampai di jemput anak buahnya. Kecuali, jika anak ini memang satu-satunya wali pasien. "Mereka sudah tiada, Dok. Tolong selamatkan ayah saya. Tapi, saya tidak punya uang, Dok. Apa ayah saya tidak bisa di selamatkan?" Marcello menatap perempuan di depannya dengan senyuman kebanggaannya. "Masalah biaya kamu tenang saja, ayah kamu akan saya selamatkan," janji Marcello sambil menghapus jejak air mata anak perempuan di sampingnya. "Terima kasih, Dok." Marcello menatap sekelilingnya mencari keberadaan sang adik. Dan ketemu! Di sebrang sana adiknya tengah terdiam sambil menatap ke arahnya. Ya wajar saja, tempat adiknya berada adalah ruangan terbuka yang dia bisa melihat orang keluar masuk dari pintu depan. "Kamu tunggu sama Kakak yang ada di sana dulu ya, Dokter akan berusaha semaksimal mungkin." "Terima kasih dokter, Hikss." Marcello menganggukan kepalanya. Luka di kaki pria ini tidak terlalu dalam jika dia lihat, dan semoga saja tidak ada infeksi yang mengharuskan lelaki ini cacat. Melihat anaknya yang masih sekolah membuat Marcello iba. "Tuan siap untuk operasi?" Tanya Marcello "Saya siap. Terima kasih, Dok." Entah berapa kali dia mendengar kata terima kasih dari semua pasiennya. Tapi, pasien di depannya malah membuat Marcello tersentuh. Bahkan rasanya jika dia gagal dia akan merasa bersalah sekali. "Tolong cari tahu di mana anak itu sekolah," kata Marcello sebelum di memasuki ruang operasi. "Baik, Dok!" *** Waktu terus berlalu, seorang anak berusia 10 tahun menunggu dengan wajah khawatirnya, suster yang datang bersamanya tadi, berjalan mendekati perempuan tersebut. "Ayah kamu sudah dipindahkan ke ruang perawatan." "Ayah selamat, Suster?! Apa ayah baik-baik saja?" seru anak perempuan tersebut dengan wajah berbinar-binar. "Iya, tap--" "Apa ayah tidak bisa berjalan?" tanya perempuan tersebut dengan nada sendunya. "Kata siapa?" Tanya Marcello yang datang bersama dengan Alexa dan Justin. Sebelum melihat anak dari pasiennya, Marcello memastikan terlebih dahulu kondisinya adakah dampak yang disebabkan dari luka tersebut. Apalagi saat sebuah benda tajam melukai tubuh manusia. Kita tidak akan tahu apalah benda tersebut steril kah atau tidak. "Aku suka nonton di tv kalau ada yang luka kaya gitu nanti bisa tidak bisa jalan." Marcello awalnya juga berpikir hal yang sama. Bahkan saat lepas operasi, Marcello berusaha untuk melihat apakah pasiennya bisa atau tidak menggerakkan kakinya. Walau harus menunggu sampai melupakan sang adik. Ternyata semua perjuangannya gagal. Kaki pasieannya tidak bisa digerakkan. Marcello meminta maaf yang sebesar-besarnya, tapi apa yang dia dapatkan saat itu? Sebuah ucapan terima kasih. Ucapan yang seharusnya tidak Marcello dapatkan. "Dokter pikir kedua Kakak ini meracuni kamu, maafin Dokter ya. Dokter tidak bisa menyembuhkan kaki ayah kamu," Kata Marcello sambil berjongkok di depan anak perempuan tersebut. "Dokter pasti habis nangis ya? Tidak apa Dokter. Masih ada ayah saja saya bersyukur. Apalagi pengobatan ayah ditanggung oleh Dokter. Saya yang harusnya meminta maaf, Dok. Karena Saya tidak bisa membayar biaya rumah sakitnya. Terima kasih Dokter, Terima kasih." air mata anak perempuan di depannya membuat Marcello langsung memeluknya. Baik Alexa, Bella dan suster yang ada di sana, menangis melihat aksi Marcello dan anak perempuan tersebut. Siapa pun akan merasa sedih saat keluarga satu-satunya malah terbaring lemah. Apalagi, usia anak perempuan tersebut masih terbilang muda. "Kok jadi pada nangis, Ana tidak mau semuanya menangis. Dokter harus sembuhkan kedua Kakak itu kasian bajunya penuh darah. Kalau begitu, Ana ke ayah dulu, sampai jumpa!" "Sampai jumpa, Ana." Marcello akan mengingat anak kecil itu selalu. Apalagi dia juga meminta suster tadi untuk mengirimkan biodata anak perempuan bernama Ana tadi. Marcello mau, anak itu mendapatkan beasiswa di Yayasan yang di miliki oleh keluarga Jhonson. Mungkin, dia bisa meminta bantuan Bella untuk mengurus segala keperluan anak tersebut nanti. "Jadi?" Tanya Marcello sekalian meminta peralatan medisnya untuk memeriksa kondisi sang adik kepada Alexa. "Paling adik kamu petakilan, El," Kata Justin yang kini tengah memeriksa Alden. Lelaki yang terluka di punggungnya. Mungkin dia menjadi pahlawan demi melindungi Bella macem drama korea. "Aish Kak Justin ini, emangnya segitunya aku gak bisa diam?" Tanya Bella yang dijawab serentak oleh keempat orang di sana "Iya." "Dilarang berburuk sangka. Aku lagi pemotretan, terus bangunan di samping tempat pemotretan aku tiba-tiba roboh gitulah, aku juga gak ngerti kan alasannya apa. Terus karena kaget, aku lari aja ke sana bantuin orang-orang nah pas bantuin namaynya juga manusia itu pelapon roboh dan menimpa si Alden, aku mah cuka baret dikit aja." Marcello memperhatikan kondisi adiknya dan Alden. "Terus baju kalian?" Tanya Marcello. "Ouh ini, ya karena kita bantuin orang-orang yang terluka tadi, Kak. Udah ah malas aku sama Kakak." "Kakak juga malas sama kamu, datang ke sini terluka mulu. Kapan kamu datang dalam keadaan baik-baik hah?!" semprot Marcello sambil mengobati adiknya. Alexa yang berdiri di antara dua lelaki itu hanya jadi asisten mereka. Tapi, melihat Marcello memarahi adiknya malah menarik tawa Alexa. "Hahaha.. Kamu bilang aja cemburu sama saudara kamu yang lain, El." "Ouh jelas. Dia ke kantor si Acel gak kenapa-kenapa. Terus ke tempat Bian sama Billy juga sama. Giliran ke tempat aku selalu aja terluka. Aish anak ini," keluh Marcello. "Ya wajar dong ini kan rumah sakit jadi aku datang dengan terluka. Kalau mau gak terluka bangun aja kantor lain." mendengar nada ketus adiknya Marcello langsung menyentil dahinya. "Jangan sok jadi pahlawan. Memangnya kamu wonder women?!" "Ouh jelas saya wonder wom--ah sakit Kak!" "Sakitkan? makanya jadi manusia jangan sok kuat!" Marcello benar-benar kesal dengan adiknya. Kapan si adiknya hidup dengan tenang damai seperti dirinya. Aish menyebalkan sekali. "Bodo amat!" ****
Free reading for new users
Scan code to download app
Facebookexpand_more
  • author-avatar
    Writer
  • chap_listContents
  • likeADD